Ekonomi Global dan Outlook 2015
A
A
A
Bank Dunia merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun 2014 dari 2,8% menjadi 2,6%. Adapun pada 2015 ekonomi global diprediksi tumbuh 3,4%.
Dana Moneter Internasional (IMF) memprediksi ekonomi dunia tahun ini tumbuh di level 3,4% dan tahun depan 3,8%. Proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia 2014 ini lebih tinggi dari realisasi pertumbuhan 2013 yang sebesar 2,6% (versi Bank Dunia) dan 3,2% (versi IMF). Meski proyeksi pertumbuhan 2014 dan 2015 lebih tinggi dari pertumbuhan 2013, proyeksi ini relatif lebih lambat dari perkiraan sebelumnya.
Tertekannya pertumbuhan ekonomi dunia pada 2014 disebabkan masih sulitnya sejumlah kawasan dalam proses pemulihan ekonomi, di samping krisis politik di Ukraina dan Timur Tengah serta munculnya ancaman ebola. Negara-negara dalam Zona Eropa, China, dan Jepang masih belum menemukan formula yang tepat untuk keluar dari tren perlambatan.
Sebagai negara dengan ekonomi terbesar ketiga di dunia, Jepang kini dalam fase resesi akibat krisis utang yang hampir mencapai 200% produk domestik bruto (PDB). Bahkan, Moodys telah menurunkan peringkat kredit Jepang ke level Aa3 dari A1 dan merupakan pertama kali sejak 2011. Di kawasan Eropa, pemulihan juga masih relatif stagnan sehingga Bank Sentral Eropa (ECB) terus mempertahankan stimulus dan suku bunga murah. Pertumbuhan sektor manufaktur dan jasa juga belum menunjukkan perbaikan signifikan di kawasan Eropa.
Sementara itu, ekonomi China sebagai kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia dan kekuatan ekonomi terbesar di Asia juga masih mengalami tekanan serius. Kebijakan rebalancing yang dilakukan China saat ini belum mampu mendorong perbaikan ekonomi negara itu. Bahkan, ekonomi China periode Juli-September 2014 hanya mampu tumbuh 7,3% dan merupakan pertumbuhan terlambat sejak 2009. Kinerja sektor manufaktur China juga menunjukkan pelemahan sepanjang 2014 diikuti oleh stagnannya konsumsi domestik.
Untuk mengantisipasi pelemahan yang berkelanjutan, Bank Sentral China telah menambahkan stimulus likuiditas di pasar keuangan dan menurunkan tingkat suku bunga. Pada saat yang bersamaan, krisis politik di Timur Tengah dan krisis Ukraina yang melibatkan Rusia telah memicu kekhawatiran akan pemulihan pertumbuhan ekonomi di kawasan tersebut.
Sementara itu, ekonomi Amerika Serikat setelah berakhirnya pelonggaran kuantitatif pada periode Juli-September 2014 tercatat tumbuh 3,9% atau lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya 3,5%. Membaiknya sektor konsumsi domestik sebagai penggerak pertumbuhan Amerika dan menyumbang 70% PDB negara itu diperkirakan terus berlanjut pada 2015.
Realita ini telah menghadirkan harapan pemulihan ekonomi global sekaligus ancaman, khususnya bagi negara-negara berkembang mengingat rencana kenaikan suku bunga The Fed di 2015. Dari potret ekonomi global yang dipaparkan di atas, perekonomian nasional tahun 2015 akan dihadapkan pada sejumlah tantangan. Pertama , kenaikan suku bunga The Fed pada pertengahan 2015 akan mendorong potensi aliran modal keluar dari Indonesia.
Pemulihan ekonomi Amerika dan kenaikan suku bunga The Fed akan mendorong para investor global untuk merelokasi modalnya ke Amerika. Pada kondisi ini, ekonomi nasional dihadapkan pada pilihan kenaikan suku bunga acuan dan sejumlah insentif stimulus fiskal untuk menahan potensi aliran modal keluar.
Kedua , pelemahan harga komoditas global yang telah terjadi beberapa waktu ini akibat pelemahan permintaan global, sementara pasokan uang melimpah. Ini tidak hanya terjadi pada komoditas pangan, tetapi juga energi. Hingga akhir 2014, harga minyak dunia diperkirakan berada di level USD70 per barel. Menurunnya harga komoditas global tentu akan memberi sentimen negatif pada neraca perdagangan, mengingat struktur ekspor nasional masih didominasi oleh komoditas.
Beberapakomoditaseksporseperti batu bara, karet, minyak sawit, dan tembaga telah mengalami penurunan hampir 20% sepanjang tahun ini. Ketiga , pelemahan ekonomi zona Eropa, Jepang, dan China berpotensi menaikkan pertumbuhan ekonomi nasional mengingat ketiga kawasan ini merupakan mitra strategis Indonesia baik di sektor perdagangan maupun investasi.
Keempat , pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang mendorong perlunya persiapan yang lebih matang tidak hanya terkait dengan pembangunan infrastruktur, tetapi juga perbaikan kualitas sumber daya manusia (SDM) dan pembenahan neraca perdagangan Indonesia- ASEAN. Kinerja neraca perdagangan Indonesia-ASEAN saat ini masih berada pada posisi defisit USD1,6 miliar periode Januari- Oktober 2014.
Kelima , risiko inflasi pada 2015 akan kembali meningkat pascakenaikan tarif listrik, elpiji, dan BBM. Risiko inflasi ini berpotensi menggerus daya beli masyarakat sehingga konsumsi domestik juga tertekan sepanjang 2015. Dan yang terakhir (keenam ), volatilitas nilai tukar rupiah juga masih relatif tinggi mengingat kenaikan suku bunga TheFed akan mendorong penguatan kurs dolar AS terhadap sejumlah nilai tukar mata uang khususnya negara berkembang seperti Indonesia.
Dengan berbagai kemungkinan di atas, proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional tahun 2015 akan berada di rentang 5,1-5,3% dengan tingkat inflasi berada pada level 7,5-7,8%. Sementara itu, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan berada di level Rp11.8000 hingga Rp12.100 sepanjang 2015.
Neraca transaksi berjalan masih mengalami defisit 2,7-3,0% dari PDB sepanjang 2015 akibat kelanjutan tekanan neraca perdagangan barang dan jasa. Pada 2015, Bank Sentral Indonesia akan kembali menaikkan suku bunga acuannya ke level 8,0- 8,25% untuk mengantisipasi kenaikan suku bunga The Fed di pertengahan 2015.
Kemudian, harga minyak dunia kemungkinan akan tetap berada di bawah USD100 per barel atau tepatnya di kisaran USD75-85 per barel sepanjang 2015. Hal ini mengingat pasokan minyak serpih Amerika yang melimpah dan negara-negara OPEC juga tetap mempertahankan produksi 30 juta barel per hari.
Proyeksi 2015 ini tentunya memerlukan kerja keras bagi pemerintahan Jokowi-JK di tahun 2015. Tantangan ekonomi nasional 2015 relatif lebih kompleks dibanding tahun 2014 yang juga menaikkan risiko ekonomi di dalam negeri.
Dana Moneter Internasional (IMF) memprediksi ekonomi dunia tahun ini tumbuh di level 3,4% dan tahun depan 3,8%. Proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia 2014 ini lebih tinggi dari realisasi pertumbuhan 2013 yang sebesar 2,6% (versi Bank Dunia) dan 3,2% (versi IMF). Meski proyeksi pertumbuhan 2014 dan 2015 lebih tinggi dari pertumbuhan 2013, proyeksi ini relatif lebih lambat dari perkiraan sebelumnya.
Tertekannya pertumbuhan ekonomi dunia pada 2014 disebabkan masih sulitnya sejumlah kawasan dalam proses pemulihan ekonomi, di samping krisis politik di Ukraina dan Timur Tengah serta munculnya ancaman ebola. Negara-negara dalam Zona Eropa, China, dan Jepang masih belum menemukan formula yang tepat untuk keluar dari tren perlambatan.
Sebagai negara dengan ekonomi terbesar ketiga di dunia, Jepang kini dalam fase resesi akibat krisis utang yang hampir mencapai 200% produk domestik bruto (PDB). Bahkan, Moodys telah menurunkan peringkat kredit Jepang ke level Aa3 dari A1 dan merupakan pertama kali sejak 2011. Di kawasan Eropa, pemulihan juga masih relatif stagnan sehingga Bank Sentral Eropa (ECB) terus mempertahankan stimulus dan suku bunga murah. Pertumbuhan sektor manufaktur dan jasa juga belum menunjukkan perbaikan signifikan di kawasan Eropa.
Sementara itu, ekonomi China sebagai kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia dan kekuatan ekonomi terbesar di Asia juga masih mengalami tekanan serius. Kebijakan rebalancing yang dilakukan China saat ini belum mampu mendorong perbaikan ekonomi negara itu. Bahkan, ekonomi China periode Juli-September 2014 hanya mampu tumbuh 7,3% dan merupakan pertumbuhan terlambat sejak 2009. Kinerja sektor manufaktur China juga menunjukkan pelemahan sepanjang 2014 diikuti oleh stagnannya konsumsi domestik.
Untuk mengantisipasi pelemahan yang berkelanjutan, Bank Sentral China telah menambahkan stimulus likuiditas di pasar keuangan dan menurunkan tingkat suku bunga. Pada saat yang bersamaan, krisis politik di Timur Tengah dan krisis Ukraina yang melibatkan Rusia telah memicu kekhawatiran akan pemulihan pertumbuhan ekonomi di kawasan tersebut.
Sementara itu, ekonomi Amerika Serikat setelah berakhirnya pelonggaran kuantitatif pada periode Juli-September 2014 tercatat tumbuh 3,9% atau lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya 3,5%. Membaiknya sektor konsumsi domestik sebagai penggerak pertumbuhan Amerika dan menyumbang 70% PDB negara itu diperkirakan terus berlanjut pada 2015.
Realita ini telah menghadirkan harapan pemulihan ekonomi global sekaligus ancaman, khususnya bagi negara-negara berkembang mengingat rencana kenaikan suku bunga The Fed di 2015. Dari potret ekonomi global yang dipaparkan di atas, perekonomian nasional tahun 2015 akan dihadapkan pada sejumlah tantangan. Pertama , kenaikan suku bunga The Fed pada pertengahan 2015 akan mendorong potensi aliran modal keluar dari Indonesia.
Pemulihan ekonomi Amerika dan kenaikan suku bunga The Fed akan mendorong para investor global untuk merelokasi modalnya ke Amerika. Pada kondisi ini, ekonomi nasional dihadapkan pada pilihan kenaikan suku bunga acuan dan sejumlah insentif stimulus fiskal untuk menahan potensi aliran modal keluar.
Kedua , pelemahan harga komoditas global yang telah terjadi beberapa waktu ini akibat pelemahan permintaan global, sementara pasokan uang melimpah. Ini tidak hanya terjadi pada komoditas pangan, tetapi juga energi. Hingga akhir 2014, harga minyak dunia diperkirakan berada di level USD70 per barel. Menurunnya harga komoditas global tentu akan memberi sentimen negatif pada neraca perdagangan, mengingat struktur ekspor nasional masih didominasi oleh komoditas.
Beberapakomoditaseksporseperti batu bara, karet, minyak sawit, dan tembaga telah mengalami penurunan hampir 20% sepanjang tahun ini. Ketiga , pelemahan ekonomi zona Eropa, Jepang, dan China berpotensi menaikkan pertumbuhan ekonomi nasional mengingat ketiga kawasan ini merupakan mitra strategis Indonesia baik di sektor perdagangan maupun investasi.
Keempat , pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang mendorong perlunya persiapan yang lebih matang tidak hanya terkait dengan pembangunan infrastruktur, tetapi juga perbaikan kualitas sumber daya manusia (SDM) dan pembenahan neraca perdagangan Indonesia- ASEAN. Kinerja neraca perdagangan Indonesia-ASEAN saat ini masih berada pada posisi defisit USD1,6 miliar periode Januari- Oktober 2014.
Kelima , risiko inflasi pada 2015 akan kembali meningkat pascakenaikan tarif listrik, elpiji, dan BBM. Risiko inflasi ini berpotensi menggerus daya beli masyarakat sehingga konsumsi domestik juga tertekan sepanjang 2015. Dan yang terakhir (keenam ), volatilitas nilai tukar rupiah juga masih relatif tinggi mengingat kenaikan suku bunga TheFed akan mendorong penguatan kurs dolar AS terhadap sejumlah nilai tukar mata uang khususnya negara berkembang seperti Indonesia.
Dengan berbagai kemungkinan di atas, proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional tahun 2015 akan berada di rentang 5,1-5,3% dengan tingkat inflasi berada pada level 7,5-7,8%. Sementara itu, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan berada di level Rp11.8000 hingga Rp12.100 sepanjang 2015.
Neraca transaksi berjalan masih mengalami defisit 2,7-3,0% dari PDB sepanjang 2015 akibat kelanjutan tekanan neraca perdagangan barang dan jasa. Pada 2015, Bank Sentral Indonesia akan kembali menaikkan suku bunga acuannya ke level 8,0- 8,25% untuk mengantisipasi kenaikan suku bunga The Fed di pertengahan 2015.
Kemudian, harga minyak dunia kemungkinan akan tetap berada di bawah USD100 per barel atau tepatnya di kisaran USD75-85 per barel sepanjang 2015. Hal ini mengingat pasokan minyak serpih Amerika yang melimpah dan negara-negara OPEC juga tetap mempertahankan produksi 30 juta barel per hari.
Proyeksi 2015 ini tentunya memerlukan kerja keras bagi pemerintahan Jokowi-JK di tahun 2015. Tantangan ekonomi nasional 2015 relatif lebih kompleks dibanding tahun 2014 yang juga menaikkan risiko ekonomi di dalam negeri.
(ars)