Mitos dan Kebijakan Publik

Minggu, 23 November 2014 - 11:23 WIB
Mitos dan Kebijakan...
Mitos dan Kebijakan Publik
A A A
SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Baru-baru ini beredar berita di media massa tentang tes keperawanan bagi calon anggota polisi wanita (polwan). Berita ini langsung memancing reaksi keras dari masyarakat.

Nisha Varia, direktur Asosiasi Hak Asasi Perempuan, menyatakan bahwa Polri telah menggunakan tes keperawanan untuk mendiskriminasi, melakukan kekerasan, dan menghina martabat wanita. Akan tetapi, Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Ronny F Sompie meluruskan berita ini.

“Seleksi dilakukan antara lain pemeriksaan kesehatan secara menyeluruh untuk lelaki dan perempuan, termasuk pemeriksaan organ reproduksi. Tapi bukan tes keperjakaan atau tes keperawanan,” katanya dalam sebuah acara jumpa pers. Masih ada contoh lain yang terkait dengan tes keperawanan ini. Beberapa waktu lalu Dinas Pendidikan Kota Prabumulih, Sumatera Selatan mewacanakan untuk melakukan tes keperawanan terhadap para siswi.

Mereka beralasan hal ini untuk mencegah pergaulan bebas yang makin marak. Usulan tes keperawanan juga pernah disampaikan anggota Komisi III DPRD Provinsi Jambi Bayu Suseno pada 2010. Politikus itu mengusulkan tes keperawanan sebagai syarat penerimaan siswa baru untuk tingkat SLTP dan SLTA.

Tentu saja wacana tes keperawanan ini langsung menjadi kontroversi dan akhirnya hal ini pun batal dilakukan. Aneh bin ajaib, kalau isu tentang tes keperawanan calon polwan itu benar, orang yang paling bodoh pun bisa berpikir bahwa tidak ada hubungannya keperawanan dengan prestasi kerja apa pun, termasuk jadi polwan.

Juga keperawanan (dalam arti sudah pernah berhubungan seks) secara medis tidak ada korelasinya dengan utuh-tidaknya selaput dara. Karena sifat selaput dara yang berbeda-beda, ada wanita yang sudah hamil pun selaput daranya masih utuh, sedangkan wanita lain yang belum pernah berhubungan seks sudah tidak utuh lagi, antara lain karena masturbasi. Begitu juga pelajar.

Disinyalir pelajar-pelajar sekarang sudah terlalu jauh terlibat dalam pergaulan bebas (baca: berhubungan seks di luar nikah). Karena itu, ada anggota-anggota DPRD yang terhormat merasa perlu untuk membuat peraturan agar anak-anak sekolah (yang perempuan) dites perawan.

Maksudnya adalah agar siswisiswi itu dijamin moralitasnya. Padahal bisa saja hari ini dia masih perawan, tetapi besok dia berhubungan seks dengan pacarnya. Selain itu, bagaimana dengan laki-laki? Korupsi, perilaku kriminal, dan pergaulan bebas dilakukan oleh laki-laki juga, bukan hanya oleh perempuan.

Baik polisi laki-laki maupun siswa laki-laki. Bagaimana mengetes keperjakaan mereka? Ilmu kedokteran yang paling canggih sekalipun belum menemukan metode untuk menguji keperjakaan. Begitu juga ilmu psikologi, sampai hari ini belum berhasil menemukan tes uji kebohongan (lie detector) untuk menguji apakah seorang laki-laki sudah ata ubelum pernah berhubungan seks.

Di luar seks, mitos lain yang sering dijadikan acuan untuk membuat kebijakan publik adalah tentang agama. Wakil Ketua Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh Ilham Saputra mengatakan, “Caleg DPRA dan DPRK semua wajib mengikuti uji baca Alquran yang akan dilakukan pada 27-29 Mei 2013 di Asrama Haji,” katanya pada wartawan di sela pendaftaran caleg, Senin (22/4/2013).

“Kalau ada caleg yang tidak bisa baca Alquran, kami akan minta partai untuk menggantinya dengan calon yang lain,” lanjut Ilham. Masih di Aceh. Dalam penerimaan untuk CPNS Kabupaten Simeulue 2014, bahkan untuk calon bupati/wali kota dan anggota legislatif, salah satu syaratnya harus lulus uji baca Alquran.

Sekali lagi, mitos yang mendasarinya adalah bahwa ketakwaan, ketauhidan, atau iman kepada Allah SWT adalah jaminan moral yang baik, dan itu bisa diuji melalui tes baca Alquran. Seakan-akan tingkat keberagamaan seseorang tecermin seratus persen dari kemampuan baca Alqurannya. Ini mitos pertama.

Selain itu, tingkat keberagamaan yang tinggi, juga dimitoskan sebagai palang pintu penghalang untuk perbuatan-perbuatan haram dan maksiat. Ini mitos kedua. Mitos ketiga, seakan-akan kemampuan baca Alquran lebih menjamin keberhasilan dalam tugas daripada pengetahuan tentang UU dan perda serta birokrasi pemerintahan.

Namun faktanya, Kementerian Agama terbukti merupakan kementerian yang paling tinggi rasio korupsinya. Begitu juga partai-partai yang mengusung agama (Islam), terlibat korupsi dan main perempuan.

Itulah sebabnya maka Aceh yang tidak pernah bisa dikalahkan oleh militer Belanda dalam perang Aceh selama 41 tahun (1873-1914), akhirnya takluk kepada Haji Abdul Ghaffar, yang dipercaya sebagai ulama dari Timur Tengah, berkulit putih mulus, berjanggut panjang dan berjubah, yang hafal Alquran dan lancar berbahasa Melayu, Jawa, dan Aceh, padahal dia sebenarnya adalah seorang antropolog Belanda, pakar ilmu etnik Nusantara, ahli Islam, bahkan pernah berhaji, yang bernama Prof Dr Christian Snouck Horgronye.

Menggunakan mitos sebagai rujukan untuk membuat kebijakan publik rupanya sudah umum di negeri ini. Dulu pernah ada mitos bahwa sanak keluarga dan kerabat seorang anggota PKI, semuanya pasti komunis, sehingga pemerintah menutup semua peluang buat mereka (termasuk peluang pendidikan dan pekerjaan di pemerintah).

Beberapa belas tahun yang lalu pernah juga ada kebijakan di lingkungan perguruan- perguruan tinggi negeri untuk memberi tanda bintang pada nama-nama calon mahasiswa yang diduga keturunan Tionghoa, dengan maksud membatasi jumlah mereka yang masuk ke PTN karena dianggap bisa menyaingi mahasiswamahasiswa pribumi.

Mitos-mitos ini sangat berbahaya untuk dijadikan rujukan dalam membuat kebijakan publik, karena mitos tidak pernah berbasis data, tetapi berbasis prasangka, sehingga mitos pasti bukan fakta. Kalau kebijakan publik dibuat berdasarkan prasangka, bisa dibayangkan betapa kacaunya republik ini. Dan ini sudah terlanjur terjadi, salah satunya adalah UU No 44/2008 tentang Pornografi, yang isinya banyak berdasarkan mitos, bukan fakta.
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5341 seconds (0.1#10.140)