Impeachment Itu Supersulit
A
A
A
MOH MAHFUD MD
Guru Besar Hukum Konstitusi
Pertarungan politik antara Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) tak juga berakhir. Kesepakatan damai melalui pembicaraan Pramono Anung yang mewakili KIH dengan Idrus Marham yang mewakili KMP mentah lagi.
Proses perdamaian terhenti karena ada tuntutan baru dari KIH. Padahal sampai saat ini pemerintah belum bisa mengerjakan hal-hal penting, selain dari kunjungan dan membagi-bagi KIS atau KIP. Kebijakan dasar dan arah kementerian-kementerian belum ada yang dirilis karena banyak hal baru yang harus dibicarakan dulu dengan DPR, sedangkan DPR belum bisa bersidang.
Program legislasi nasional (prolegnas), satu daftar rencana tentang UU yang akan dibuat dalam lima tahun ke depan, belum disentuh sama sekali karena prolegnas harus dibuat berdasar kesepakatan antara DPR dan pemerintah. Harus diakui, karena pertarungan politik yang tak kunjung usai, sampai kini DPR dan pemerintah sama-sama belum bisa bekerja dalam arti yang sesungguhnya.
Situasi ini bukan hanya memudarkan kepercayaan publik terhadap KMP dan KIH, bukan hanya menghambat kerja-kerja pemerintah dan DPR, tetapi telah merugikan negara dan rakyat Indonesia secara keseluruhan. Awal pekan ini memang ada secercah harapan ketika dicapai kesepakatan antara KMP dan KIH untuk segera menormalisasi DPR.
Melalui musyawarah antara KIH dan KMP (yang masing-masing diwakili Pramono Anung dan Idrus Marham) dengan disaksikan Ketua DPR Setya Novanto dicapai kesepakatan, kursi pimpinan semua alat kelengkapan DPR akan ditambah sehingga KIH akan memperoleh 21 kursi pimpinan. Semula kita lega bercampur kecewa atas perkembangan itu.
Lega karena DPR akan segera bekerja secara normal, setidak-tidaknya menurut prosedur-prosedur formal. Kecewa karena ternyata keributan besar yang terjadi hanya bersumber dan berujung pada pembagian kursi pimpinan. Kata Radhar Panca Dahana, perebutan kursi pimpinan itu sepertinya tak lebih dari perebutan daging busuk.
Meski perkembangan itu memberi kita rasa lega sekaligus kecewa, tetapi lebih banyak lega daripada kecewanya, sebab ada harapan DPR akan segera bisa bekerja. Tapi setelah Pramono Anung berkonsultasi dengan pimpinan parpol KIH Selasa lalu, kesepakatan itu menjadi agak mentah lagi. Agenda paripurna DPR untuk mengesahkan kesepakatan itu Kamis dua hari lalu batal digelar.
KIH mengajukan tuntutan baru, yaitu pencabutan pasal-pasal di dalam UU MD3 yang bisa melemahkan sistem presidensial. KIH ingin, antara lain, agar Pasal 98 ayat (6) dan Ayat (7) yang membuka peluang bagi komisi-komisi di DPR untuk menggunakan hak interpelasi, hak angket, dan hak mengajukan pendapat (HMP) dicabut melalui revisi atas UU MD3, sebab hak-hak tersebut bisa dipergunakan sebagai pintu masuk untuk melakukan pemakzulan (impeachment) terhadap Presiden/Wapres.
Kita tentu memahami, mengusulkan revisi atau penghapusan pasal bahkan mengganti total sebuah UU adalah hak parpol dan atau anggota-anggotanya di DPR. Kita juga memaklumi jika KIH khawatir nantinya KMP menggunakan pasal-pasal itu untuk menjatuhkan Presiden/Wapres di tengah masa jabatannya.
Tapi haruslah diingat bahwa menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menjatuhkan Presiden/Wapres melalui impeachment itu sangat sulit. Ketentuan mengenai impeachment di dalam UUD 1945 itu dibuat justru untuk mempersulit DPR dan MPR memberhentikan Presiden/Wapres.
Maka itu KMP tidak bisa bermimpi bisa menjatuhkan Presiden secara serampangan, KIH tidak perlu fobia presidennya bisa dijatuhkan dengan mudah. Ada yang mengatakan, pemuatan ketentuan impeachment di dalam UUD 1945 dimaksudkan agar Presiden/Wapres tidak dapat dijatuhkan kecuali ada bom pelanggaran yang luar biasa.
Kalau dulu Bung Karno, Pak Harto, dan Gus Dur dijatuhkan sebagai presiden secara politik semata dan tanpa proses hukum di pengadilan, sekarang ini untuk menjatuhkan Presiden/ Wapres, selain syarat-syarat dan prosedurnya di DPR dan MPR sangat sulit, juga harus melalui proses hukum di Mahkamah Konstitusi (MK).
Selain alasan-alasan untuk menjatuhkan Presiden yang takkan mudah dipenuhi, prosedur pengajuan untuk melakukannya juga sangatlah sulit. Untuk diajukannya pernyataan pendapat DPR bahwa Presiden dan atau Wapres perlu dimakzulkan karena melanggar hukum tertentu, superberat prosedurnya.
Pengajuan itu harus dilakukan dalam Sidang Paripurna DPR yang dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari seluruh anggotanya dan 2/3 dari yang hadir itu harus menyetujui usul dikeluarkannya pendakwaan (impeachment) itu.
Dengan syarat prosedur yang seperti itu hampir dapat dipastikan, kalau tidak ada pelanggaran luar biasa, takkan mungkin ada pemakzulan Presiden/Wapres. Kalau kita menghitung secara matematis, jumlah anggota DPR dari KMP tidak mencapai 2/3 dan jumlah anggota DPR dari KIH sudah lebih dari 1/3 dari seluruh anggota DPR.
Jumlah anggota DPR dari KIH yang terdiri atas PDIP, PKB, NasDem, dan Hanura sudah mencapai 207 orang (dari seluruh anggota DPR yang 560 orang), apalagi kalau ditambah dengan anggota-anggota dari PPP.
Kalau satu sidang paripurna DPR yang akan menyatakan pendapat dengan tendensi memakzulkan Presiden/Wapres tidak disetujui atau bahkan tidak dihadiri anggota-anggota DPR dari KIH, tak mungkin terjadi impeachment. Belum lagi mengenai materi impeachment serta prosedur lanjutannya di MK dan MPR yang juga supersulit.
Guru Besar Hukum Konstitusi
Pertarungan politik antara Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) tak juga berakhir. Kesepakatan damai melalui pembicaraan Pramono Anung yang mewakili KIH dengan Idrus Marham yang mewakili KMP mentah lagi.
Proses perdamaian terhenti karena ada tuntutan baru dari KIH. Padahal sampai saat ini pemerintah belum bisa mengerjakan hal-hal penting, selain dari kunjungan dan membagi-bagi KIS atau KIP. Kebijakan dasar dan arah kementerian-kementerian belum ada yang dirilis karena banyak hal baru yang harus dibicarakan dulu dengan DPR, sedangkan DPR belum bisa bersidang.
Program legislasi nasional (prolegnas), satu daftar rencana tentang UU yang akan dibuat dalam lima tahun ke depan, belum disentuh sama sekali karena prolegnas harus dibuat berdasar kesepakatan antara DPR dan pemerintah. Harus diakui, karena pertarungan politik yang tak kunjung usai, sampai kini DPR dan pemerintah sama-sama belum bisa bekerja dalam arti yang sesungguhnya.
Situasi ini bukan hanya memudarkan kepercayaan publik terhadap KMP dan KIH, bukan hanya menghambat kerja-kerja pemerintah dan DPR, tetapi telah merugikan negara dan rakyat Indonesia secara keseluruhan. Awal pekan ini memang ada secercah harapan ketika dicapai kesepakatan antara KMP dan KIH untuk segera menormalisasi DPR.
Melalui musyawarah antara KIH dan KMP (yang masing-masing diwakili Pramono Anung dan Idrus Marham) dengan disaksikan Ketua DPR Setya Novanto dicapai kesepakatan, kursi pimpinan semua alat kelengkapan DPR akan ditambah sehingga KIH akan memperoleh 21 kursi pimpinan. Semula kita lega bercampur kecewa atas perkembangan itu.
Lega karena DPR akan segera bekerja secara normal, setidak-tidaknya menurut prosedur-prosedur formal. Kecewa karena ternyata keributan besar yang terjadi hanya bersumber dan berujung pada pembagian kursi pimpinan. Kata Radhar Panca Dahana, perebutan kursi pimpinan itu sepertinya tak lebih dari perebutan daging busuk.
Meski perkembangan itu memberi kita rasa lega sekaligus kecewa, tetapi lebih banyak lega daripada kecewanya, sebab ada harapan DPR akan segera bisa bekerja. Tapi setelah Pramono Anung berkonsultasi dengan pimpinan parpol KIH Selasa lalu, kesepakatan itu menjadi agak mentah lagi. Agenda paripurna DPR untuk mengesahkan kesepakatan itu Kamis dua hari lalu batal digelar.
KIH mengajukan tuntutan baru, yaitu pencabutan pasal-pasal di dalam UU MD3 yang bisa melemahkan sistem presidensial. KIH ingin, antara lain, agar Pasal 98 ayat (6) dan Ayat (7) yang membuka peluang bagi komisi-komisi di DPR untuk menggunakan hak interpelasi, hak angket, dan hak mengajukan pendapat (HMP) dicabut melalui revisi atas UU MD3, sebab hak-hak tersebut bisa dipergunakan sebagai pintu masuk untuk melakukan pemakzulan (impeachment) terhadap Presiden/Wapres.
Kita tentu memahami, mengusulkan revisi atau penghapusan pasal bahkan mengganti total sebuah UU adalah hak parpol dan atau anggota-anggotanya di DPR. Kita juga memaklumi jika KIH khawatir nantinya KMP menggunakan pasal-pasal itu untuk menjatuhkan Presiden/Wapres di tengah masa jabatannya.
Tapi haruslah diingat bahwa menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menjatuhkan Presiden/Wapres melalui impeachment itu sangat sulit. Ketentuan mengenai impeachment di dalam UUD 1945 itu dibuat justru untuk mempersulit DPR dan MPR memberhentikan Presiden/Wapres.
Maka itu KMP tidak bisa bermimpi bisa menjatuhkan Presiden secara serampangan, KIH tidak perlu fobia presidennya bisa dijatuhkan dengan mudah. Ada yang mengatakan, pemuatan ketentuan impeachment di dalam UUD 1945 dimaksudkan agar Presiden/Wapres tidak dapat dijatuhkan kecuali ada bom pelanggaran yang luar biasa.
Kalau dulu Bung Karno, Pak Harto, dan Gus Dur dijatuhkan sebagai presiden secara politik semata dan tanpa proses hukum di pengadilan, sekarang ini untuk menjatuhkan Presiden/ Wapres, selain syarat-syarat dan prosedurnya di DPR dan MPR sangat sulit, juga harus melalui proses hukum di Mahkamah Konstitusi (MK).
Selain alasan-alasan untuk menjatuhkan Presiden yang takkan mudah dipenuhi, prosedur pengajuan untuk melakukannya juga sangatlah sulit. Untuk diajukannya pernyataan pendapat DPR bahwa Presiden dan atau Wapres perlu dimakzulkan karena melanggar hukum tertentu, superberat prosedurnya.
Pengajuan itu harus dilakukan dalam Sidang Paripurna DPR yang dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari seluruh anggotanya dan 2/3 dari yang hadir itu harus menyetujui usul dikeluarkannya pendakwaan (impeachment) itu.
Dengan syarat prosedur yang seperti itu hampir dapat dipastikan, kalau tidak ada pelanggaran luar biasa, takkan mungkin ada pemakzulan Presiden/Wapres. Kalau kita menghitung secara matematis, jumlah anggota DPR dari KMP tidak mencapai 2/3 dan jumlah anggota DPR dari KIH sudah lebih dari 1/3 dari seluruh anggota DPR.
Jumlah anggota DPR dari KIH yang terdiri atas PDIP, PKB, NasDem, dan Hanura sudah mencapai 207 orang (dari seluruh anggota DPR yang 560 orang), apalagi kalau ditambah dengan anggota-anggota dari PPP.
Kalau satu sidang paripurna DPR yang akan menyatakan pendapat dengan tendensi memakzulkan Presiden/Wapres tidak disetujui atau bahkan tidak dihadiri anggota-anggota DPR dari KIH, tak mungkin terjadi impeachment. Belum lagi mengenai materi impeachment serta prosedur lanjutannya di MK dan MPR yang juga supersulit.
(bbg)