Pembangunan Hukum
A
A
A
JANEDJRI M GAFFAR
Doktor Ilmu Hukum,
Alumnus PDIH Universitas Diponegoro,
Semarang
Indonesia telah memiliki pemerintahan baru dengan dilantiknya pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden periode 2014-2016.
Kabinet pun telah dibentuk dan mulai menjalankan tugas untuk merealisasikan berbagai program kerja yang telah ditunggutunggu oleh seluruh rakyat. Agenda pembangunan hukum nasional merupakan agenda penting yang harus mendapatkan perhatian karena dua alasan. Pertama, Indonesia adalah negara hukum sehingga semua kebijakan negara harus dituangkan dalam bentuk hukum sebagai dasar keberlakuannya.
Kedua, bidang hukum sendiri yang meliputi aspek pembentukan, pelaksanaan, dan penegakan hukum merupakan salah satu agenda reformasi yang hingga saat ini masih menghadapi berbagai persoalan sehingga memerlukan kerja keras bersama untuk menyelesaikannya. Harapan keberhasilan pembangunan hukum nasional terhadap Presiden sangatlah wajar mengingat kedudukan dan kekuasaan Presiden dalam UUD 1945 cukup kuat sebagai hasil dari penguatan sistem presidensial melalui perubahan UUD 1945.
Kedudukan Presiden Indonesia di bidang hukum bahkan lebih kuat jika dibandingkan dengan Presiden Amerika Serikat. Dalam hal pembentukan hukum, Presiden Indonesia memiliki 50% kekuasaan pembentukan undangundang (UU) karena setiap rancangan UU harus dibahas dan disetujui bersama oleh DPR dan Presiden. Ditambah lagi kekuasaan pembentukan peraturan perundang-undangan di bawah UU ada di bawah kontrol Presiden.
Dalam hal pelaksanaan hukum, seluruh aparat pemerintahan adalah pelaksana aturan hukum. Apa yang dilakukan pemerintah adalah menjalankan aturan hukum yang berlaku. Bahkan di bidang penegakan hukum, Presiden juga memiliki peran penting karena dua lembaga utama penegak hukum, yaitu kepolisian dan kejaksaan, kedudukannya berada di bawah Presiden.
Selain itu, Presiden juga memiliki peran dalam pengisian jabatan lembaga-lembaga lain yang terkait dengan penegakan hukum dan pengadilan seperti pengisian komisioner KPK dan KY, serta memiliki wewenang mengajukan 3 dari 9 hakim konstitusi.
Persoalan Pembangunan Hukum
Sudah jamak diketahui bahwa pembangunan hukum setidaknya harus meliputi tiga subsistem hukum, yaitu substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Untuk dapat menentukan agenda pembangunan hukum, tentu harus diidentifikasi terlebih dahulu persoalan yang ada pada setiap subsistem hukum.
Substansi hukum adalah materi norma hukum, baik yang lahir dalam bentuk peraturan perundangundangan maupun putusan pengadilan. Substansi hukum inilah yang akan dilaksanakan dan ditegakkan, sekaligus sebagai dasar dan acuan dalam pelaksanaan dan penegakan hukum.
Sebagai bagian dari suatu sistem, substansi hukum telah diatur berjenjang dan saling mengait sehingga diharapkan dapat mewujudkan cita hukum dalam mencapai tujuan nasional. Konstitusi sebagai hukum tertinggi menjadi dasar substansi dan keberlakuan seluruh norma hukum yang berlaku. Sebagai suatu sistem norma yang berpuncak pada konstitusi, setiap peraturan perundang-undangan seharusnya saling berkesesuaian secara terarah.
Hal inilah yang belum diwujudkan sehingga pembentukan norma hukum lebih banyak bersifat tambal sulam dan bersifat pragmatis. Akibatnya, tidak jarang dijumpai adanya peraturan perundang-undangan yang saling bertentangan dan tumpang-tindih. Hal ini setidaknya dapat dilihat antara lain dari banyak dan seringnya perubahan dilakukan serta banyaknya permohonan pengujian UU yang diajukan ke MK.
Kita juga belum memiliki kerangka dan arah pengaturan, baik di bidang politik, ekonomi, maupun sosial budaya sehingga perkembangan pembentukan hukum bersifat sporadis dan lebih kuat nuansa pragmatis. Dalam subsistem struktur hukum, masalah yang masih cukup akut adalah penyakit korupsi. Hal inilah yang menjadi sumber lemahnya penegakan hukum dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum.
Upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi memang telah digalakkan, namun belum cukup kuat membersihkan karena perubahan dari aspek tata kelola belum terjadi. Bahkan, saat ini terdapat tantangan baru, yaitu kecenderungan intervensi politik dalam struktur penegak hukum yang dapat menghambat pembenahan aparat penegak hukum.
Dari sisi budaya hukum, persoalan utama yang dihadapi adalah mewujudkan supremasi hukum sebagai salah ciri negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Di era demokrasi, tantangan yang dihadapi supremasi hukum tidak lagi terbatas pada intervensi kekuasaan terhadaplembagapenegakhukum, namun semakin meluas.
Fenomena ketidakpatuhan kepada hukum semakin banyak terjadi dilakukan oleh kelompok masyarakat yang memaksakan kehendak atas dasar kepentingan atau keyakinan tertentu. Supremasi hukum sering kali masih dikalahkan oleh kekuatan massa yang menggunakan ancaman kekerasan.
Di samping ketiga persoalan internal di atas, sepanjang lima tahun mendatang bangsa Indonesia juga menghadapi tantangan baru. Tahun depan bangsa Indonesia akan secara riil masuk dalam masyarakat ekonomi ASEAN (MEA) yang harus diantisipasi dari sisi hukum demi menjaga kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, dan budaya yang berkepribadian.
Arah Pembangunan Hukum
Presiden tentu sudah seharusnya bersama-sama lembaga negara lain menggunakan kekuasaan di bidang hukum untuk menjalankan agenda pembangunan hukum guna menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan garis konstitusi.
Presiden dan DPR sesungguhnya adalah penafsir pertama konstitusi yang memiliki ruang lebih luas, bahkan jika dibandingkan dengan MK sekalipun. Untuk melaksanakan agenda pembentukan substansi hukum yang sesuai dengan garis konstitusi yang utama diperlukan saat ini adalah arah dan kerangka bersama yang jelas dan konsisten tentang sistem yang hendak dibangun.
Karena itu, diperlukan arah dan kerangka sistem politik, sistem ekonomi, dan sistem sosial budaya yang menjadi acuan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan. Arah dan kerangka ini juga sangat penting untuk tetap menjaga kesesuaian hukum nasional dengan cita hukum Pancasila, serta untuk mencegah terjadinya kekacauan, pertentangan, dan tumpang tindih antara produk hukum yang satu dan yang lain.
Di bidang struktur hukum, agenda mewujudkan aparat penegak hukum yang bersih dan profesional perlu dilakukan tidak hanya melalui proses penindakan terhadap pelanggaran, melainkan perlu perubahan dan pelaksanaan organisasi dan tata kelola terhadap lembaga yang berada di bawah Presiden.
Dengan perubahan tersebut diharapkan sistem yang ada dengan sendirinya akan mencegah terjadinya korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Pada saat yang sama, harus dihindari dan dicegah adanya intervensi terhadap kerja profesional di dalam struktur hukum, apalagi terhadap lembaga independen dan lembaga peradilan.
Budaya hukum adalah hasil konstruksi sosial yang berpengaruh dan dipengaruhi oleh subsistem lain. Perubahan budaya harus diarahkan untuk memperkuat tingkat kepatuhan terhadap hukum dan putusan pengadilan. Perubahan budaya hukum ini memerlukan dua hal saja, yaitu keteladanan dan ketegasan.
Artinya kepatuhan terhadap hukum harus ditunjukkan oleh para penyelenggara negara dan elite politik, serta hukum harus ditegakkan secara tegas tanpa pandang bulu. Agenda pembangunan hukum tentu tidak dapat dijalankan hanya oleh pemerintah, tetapi oleh semua lembaga negara dari ketiga cabang kekuasaan negara secara sinergis. Bahkan, agenda ini tetap harus memberi ruang partisipasi yang luas kepada masyarakat sipil sebagai wujud prinsip negara hukum yang demokratis.
Doktor Ilmu Hukum,
Alumnus PDIH Universitas Diponegoro,
Semarang
Indonesia telah memiliki pemerintahan baru dengan dilantiknya pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden periode 2014-2016.
Kabinet pun telah dibentuk dan mulai menjalankan tugas untuk merealisasikan berbagai program kerja yang telah ditunggutunggu oleh seluruh rakyat. Agenda pembangunan hukum nasional merupakan agenda penting yang harus mendapatkan perhatian karena dua alasan. Pertama, Indonesia adalah negara hukum sehingga semua kebijakan negara harus dituangkan dalam bentuk hukum sebagai dasar keberlakuannya.
Kedua, bidang hukum sendiri yang meliputi aspek pembentukan, pelaksanaan, dan penegakan hukum merupakan salah satu agenda reformasi yang hingga saat ini masih menghadapi berbagai persoalan sehingga memerlukan kerja keras bersama untuk menyelesaikannya. Harapan keberhasilan pembangunan hukum nasional terhadap Presiden sangatlah wajar mengingat kedudukan dan kekuasaan Presiden dalam UUD 1945 cukup kuat sebagai hasil dari penguatan sistem presidensial melalui perubahan UUD 1945.
Kedudukan Presiden Indonesia di bidang hukum bahkan lebih kuat jika dibandingkan dengan Presiden Amerika Serikat. Dalam hal pembentukan hukum, Presiden Indonesia memiliki 50% kekuasaan pembentukan undangundang (UU) karena setiap rancangan UU harus dibahas dan disetujui bersama oleh DPR dan Presiden. Ditambah lagi kekuasaan pembentukan peraturan perundang-undangan di bawah UU ada di bawah kontrol Presiden.
Dalam hal pelaksanaan hukum, seluruh aparat pemerintahan adalah pelaksana aturan hukum. Apa yang dilakukan pemerintah adalah menjalankan aturan hukum yang berlaku. Bahkan di bidang penegakan hukum, Presiden juga memiliki peran penting karena dua lembaga utama penegak hukum, yaitu kepolisian dan kejaksaan, kedudukannya berada di bawah Presiden.
Selain itu, Presiden juga memiliki peran dalam pengisian jabatan lembaga-lembaga lain yang terkait dengan penegakan hukum dan pengadilan seperti pengisian komisioner KPK dan KY, serta memiliki wewenang mengajukan 3 dari 9 hakim konstitusi.
Persoalan Pembangunan Hukum
Sudah jamak diketahui bahwa pembangunan hukum setidaknya harus meliputi tiga subsistem hukum, yaitu substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Untuk dapat menentukan agenda pembangunan hukum, tentu harus diidentifikasi terlebih dahulu persoalan yang ada pada setiap subsistem hukum.
Substansi hukum adalah materi norma hukum, baik yang lahir dalam bentuk peraturan perundangundangan maupun putusan pengadilan. Substansi hukum inilah yang akan dilaksanakan dan ditegakkan, sekaligus sebagai dasar dan acuan dalam pelaksanaan dan penegakan hukum.
Sebagai bagian dari suatu sistem, substansi hukum telah diatur berjenjang dan saling mengait sehingga diharapkan dapat mewujudkan cita hukum dalam mencapai tujuan nasional. Konstitusi sebagai hukum tertinggi menjadi dasar substansi dan keberlakuan seluruh norma hukum yang berlaku. Sebagai suatu sistem norma yang berpuncak pada konstitusi, setiap peraturan perundang-undangan seharusnya saling berkesesuaian secara terarah.
Hal inilah yang belum diwujudkan sehingga pembentukan norma hukum lebih banyak bersifat tambal sulam dan bersifat pragmatis. Akibatnya, tidak jarang dijumpai adanya peraturan perundang-undangan yang saling bertentangan dan tumpang-tindih. Hal ini setidaknya dapat dilihat antara lain dari banyak dan seringnya perubahan dilakukan serta banyaknya permohonan pengujian UU yang diajukan ke MK.
Kita juga belum memiliki kerangka dan arah pengaturan, baik di bidang politik, ekonomi, maupun sosial budaya sehingga perkembangan pembentukan hukum bersifat sporadis dan lebih kuat nuansa pragmatis. Dalam subsistem struktur hukum, masalah yang masih cukup akut adalah penyakit korupsi. Hal inilah yang menjadi sumber lemahnya penegakan hukum dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum.
Upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi memang telah digalakkan, namun belum cukup kuat membersihkan karena perubahan dari aspek tata kelola belum terjadi. Bahkan, saat ini terdapat tantangan baru, yaitu kecenderungan intervensi politik dalam struktur penegak hukum yang dapat menghambat pembenahan aparat penegak hukum.
Dari sisi budaya hukum, persoalan utama yang dihadapi adalah mewujudkan supremasi hukum sebagai salah ciri negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Di era demokrasi, tantangan yang dihadapi supremasi hukum tidak lagi terbatas pada intervensi kekuasaan terhadaplembagapenegakhukum, namun semakin meluas.
Fenomena ketidakpatuhan kepada hukum semakin banyak terjadi dilakukan oleh kelompok masyarakat yang memaksakan kehendak atas dasar kepentingan atau keyakinan tertentu. Supremasi hukum sering kali masih dikalahkan oleh kekuatan massa yang menggunakan ancaman kekerasan.
Di samping ketiga persoalan internal di atas, sepanjang lima tahun mendatang bangsa Indonesia juga menghadapi tantangan baru. Tahun depan bangsa Indonesia akan secara riil masuk dalam masyarakat ekonomi ASEAN (MEA) yang harus diantisipasi dari sisi hukum demi menjaga kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, dan budaya yang berkepribadian.
Arah Pembangunan Hukum
Presiden tentu sudah seharusnya bersama-sama lembaga negara lain menggunakan kekuasaan di bidang hukum untuk menjalankan agenda pembangunan hukum guna menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan garis konstitusi.
Presiden dan DPR sesungguhnya adalah penafsir pertama konstitusi yang memiliki ruang lebih luas, bahkan jika dibandingkan dengan MK sekalipun. Untuk melaksanakan agenda pembentukan substansi hukum yang sesuai dengan garis konstitusi yang utama diperlukan saat ini adalah arah dan kerangka bersama yang jelas dan konsisten tentang sistem yang hendak dibangun.
Karena itu, diperlukan arah dan kerangka sistem politik, sistem ekonomi, dan sistem sosial budaya yang menjadi acuan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan. Arah dan kerangka ini juga sangat penting untuk tetap menjaga kesesuaian hukum nasional dengan cita hukum Pancasila, serta untuk mencegah terjadinya kekacauan, pertentangan, dan tumpang tindih antara produk hukum yang satu dan yang lain.
Di bidang struktur hukum, agenda mewujudkan aparat penegak hukum yang bersih dan profesional perlu dilakukan tidak hanya melalui proses penindakan terhadap pelanggaran, melainkan perlu perubahan dan pelaksanaan organisasi dan tata kelola terhadap lembaga yang berada di bawah Presiden.
Dengan perubahan tersebut diharapkan sistem yang ada dengan sendirinya akan mencegah terjadinya korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Pada saat yang sama, harus dihindari dan dicegah adanya intervensi terhadap kerja profesional di dalam struktur hukum, apalagi terhadap lembaga independen dan lembaga peradilan.
Budaya hukum adalah hasil konstruksi sosial yang berpengaruh dan dipengaruhi oleh subsistem lain. Perubahan budaya harus diarahkan untuk memperkuat tingkat kepatuhan terhadap hukum dan putusan pengadilan. Perubahan budaya hukum ini memerlukan dua hal saja, yaitu keteladanan dan ketegasan.
Artinya kepatuhan terhadap hukum harus ditunjukkan oleh para penyelenggara negara dan elite politik, serta hukum harus ditegakkan secara tegas tanpa pandang bulu. Agenda pembangunan hukum tentu tidak dapat dijalankan hanya oleh pemerintah, tetapi oleh semua lembaga negara dari ketiga cabang kekuasaan negara secara sinergis. Bahkan, agenda ini tetap harus memberi ruang partisipasi yang luas kepada masyarakat sipil sebagai wujud prinsip negara hukum yang demokratis.
(bbg)