Koalisi Politik Itu Rapuh
A
A
A
Ketika koalisi partai-partai politik pendukung Prabowo-Hatta yang terdiri atas Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Demokrat, PKS, PPP, PAN, dan PBB dideklarasikan pada 14 Juli lalu dan diklaim sebagai koalisi permanen, banyak kalangan yang menyatakan keraguannya.
Mereka tak percaya bahwa koalisi tersebut akan utuh, solid, dan abadi, setidaknya sampai 2019. Benarlah, dalam perjalanannya kemudian, Partai Demokrat kerap memperlihatkan sikap setengah hati bahwa mereka merupakan bagian yang integral di Koalisi Merah Putih (KMP) itu. Presiden SBY yang juga merupakan ketua umum Partai Demokrat misalnya pada 15 September lalu menyatakan bahwa partainya bukan anggota KMP. Ia mengungkapkan, partai yang dipimpinnya telah menolak tawaran koalisi yang dipimpin Partai Gerindra tersebut.
Tawaran itu diberikan dengan sangat konkret dan jelas. “Partai Demokrat memang diajak kedua kubu dengan cara yang berbeda-beda,” kata SBY dalam wawancara khusus yang diunggah ke media sosial You- Tube (14/9/2014). “Kami punya prinsip dan etika politik sendiri,” kata SBY. Demokrat, menurut SBY, memilih masuk ke wilayah yang konstruktif yaitu menjadi partai penyeimbang dan tak berada baik di kubu pemerintah maupun KMP.
Demokrat memastikan diri akan mendukung jika kebijakan pemerintah Jokowi memihak rakyat. Namun, Demokrat akan menolak dan melawan jika Jokowi-Jusuf Kalla mengeluarkan kebijakan yang menyengsarakan rakyat atau tak realistis. Sikap nonkoalisi SBY tersebut, 3 Oktober lalu, secara konkret dikonfirmasi dengan keluarnya dua perppu sebagai pengganti UU Pilkada (Tidak Langsung) yang sepekan sebelumnya disahkan DPR berdasarkan hasil voting yang dimenangkan kubu KMP.
Dua perppu tersebut tentu dapat dibaca sebagai ketidaksetujuan SBY selaku ketua umum DPP Partai Demokrat. Tak heran jika kemudian Ketua Fraksi Partai Demokrat Edhie Baskoro Yudhoyono langsung menyikapinya secara positif. “Poinnya (perppu itu) adalah untuk kebaikan bangsa. Semua fraksi pasti setuju untuk kebaikan bangsa,” katanya (3/10/2014).
PPP, yang sejak masa kampanye pileg pertengahan Maret lalu telah memperlihatkan kedekatannya dengan Partai Gerindra hingga kemudian menjadi bagian di KMP, akhirnya juga memutuskan untuk menyeberang ke Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang mendukung presiden dan wakil presiden terpilih Jokowi JK pada sidang paripurna pemilihan ketua dan para wakil ketua MPR, 8 Oktober lalu. Terlepas dari motivasi PPP hijrah ke KIH, yang jelas fakta tersebut memperkuat keraguan akan utuh, solid, dan abadinya sebuah koalisi politik. Itulah politik yang selalu dinamis. Itu sebabnya dalam politik nyaris tak ada satu pun hal yang ideal.
Semua serbapraktis karena nilai utamanya memang pragmatisme. Bukan kebaikan dan kebajikan yang menjadi keutamaan dalam politik, melainkan manfaat. Manfaat itu sendiri terutama dicari dan dikejar untuk diri sendiri, baru kemudian untuk kelompok sendiri, dan akhirnya untuk satuan sosial yang lebih luas lagi seperti rakyat.
Begitulah, sudah sejak lama filosof politik Inggris pada abad ke-19 Lord Palmerston berkata begini: “Tak ada kawan dan lawan yang abadi dalam politik karena sesungguhnya yang abadi adalah kepentingan itu sendiri.” Tesis itu benar, bahkan bernilai kekal, sehingga menjadi salah satu adagium dalam literatur ilmu politik. Kali ini mungkin menjadi kawan senasib- sepenanggungan, sebarisan-seperjuangan. Tapi, kali lain bisa jadi beroposisi, menjadi lawan yang berpunggungan.
Kalau perlu, bahkan bisa saling menjegal dan menghancurkan. Atas dasar itu, sulit diterima jika KMP diklaim sebagai koalisi yang permanen. Koalisi bukanlah persahabatan ataupun sejenis hubungan sosial yang minus orientasi laba. Sebaliknya, koalisi adalah pertemuan antarkekuatan politik yang saling mencari keuntungan berdasarkan kepentingan-kepentingan yang diemban setiap kekuatan politik itu.
Maka itu, selama kepentingan antarkekuatan politik itu sama, hubungan pun dapat terus berjalan. Tapi, jika tidak, pelan tapi pasti hubungan mereka akan retak atau bahkan rusak. Dengan begitu, koalisi politik mana pun selalu rapuh. Ia mudah retak dan bahkan rusak kapan saja, bergantung ada atau tiada kepentingan yang mempertemukan kekuatan-kekuatan politik yang berhimpun di dalamnya. Gambaran seperti itu lazim terlihat di pelbagai ajang kontestasi politik rebutan posisi semisal pilkada dan pilpres.
Pada 2012 dalam Pilgub DKI saat menjelang putaran I semua pasangan cagub-cawagub hampir selalu “menyerang” Foke-Nara dalam kampanyekampanye mereka. Masuk ke putaran II setelah kontestannya tinggal Foke-Nara dan Jokowi- Ahok, semua pasangan calon lainnya (kecuali pasangan independen Faisal-Biem dan Adji- Riza) malah berbalik 180 derajat mendukung Foke-Nara. Itulah politik, yang sangat memesona karena menawarkan kekuasaan. Manfaat kekuasaan itu sendiri sangat besar karena membuat pelbagai kepentingan menjadi mudah untuk diraih.
Logika itulah yang menjelaskan kebenaran adagium Lord Palmerston tadi. Logika yang sama juga dapat menjelaskan mengapa makhluk manusia disebut sebagai political animal (Aristoteles) atau zoon politicon (Plato). Memang, umumnya orang cenderung rakus kekuasaan, dan jika kekuasaan itu sudah didapatkan, orang itu ingin mempertahankan dan bahkan memperbesarnya. Pemikir politik lain, Harold Lasswell, pernah mengatakan bahwa politik adalah “siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana”.
Dipadukan dengan adagium Palmerston di atas, tak heranlah jika politik kerap terlihat kompromistik sebagaimana yang diperlihatkan oleh partai- partai yang berkoalisi sebentar ke sini sebentar lagi ke sana. Koalisi politik memang niscaya penuh kompromi dan karena itu tak mungkin tanpa syarat.
VICTOR SILAEN
Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan
Mereka tak percaya bahwa koalisi tersebut akan utuh, solid, dan abadi, setidaknya sampai 2019. Benarlah, dalam perjalanannya kemudian, Partai Demokrat kerap memperlihatkan sikap setengah hati bahwa mereka merupakan bagian yang integral di Koalisi Merah Putih (KMP) itu. Presiden SBY yang juga merupakan ketua umum Partai Demokrat misalnya pada 15 September lalu menyatakan bahwa partainya bukan anggota KMP. Ia mengungkapkan, partai yang dipimpinnya telah menolak tawaran koalisi yang dipimpin Partai Gerindra tersebut.
Tawaran itu diberikan dengan sangat konkret dan jelas. “Partai Demokrat memang diajak kedua kubu dengan cara yang berbeda-beda,” kata SBY dalam wawancara khusus yang diunggah ke media sosial You- Tube (14/9/2014). “Kami punya prinsip dan etika politik sendiri,” kata SBY. Demokrat, menurut SBY, memilih masuk ke wilayah yang konstruktif yaitu menjadi partai penyeimbang dan tak berada baik di kubu pemerintah maupun KMP.
Demokrat memastikan diri akan mendukung jika kebijakan pemerintah Jokowi memihak rakyat. Namun, Demokrat akan menolak dan melawan jika Jokowi-Jusuf Kalla mengeluarkan kebijakan yang menyengsarakan rakyat atau tak realistis. Sikap nonkoalisi SBY tersebut, 3 Oktober lalu, secara konkret dikonfirmasi dengan keluarnya dua perppu sebagai pengganti UU Pilkada (Tidak Langsung) yang sepekan sebelumnya disahkan DPR berdasarkan hasil voting yang dimenangkan kubu KMP.
Dua perppu tersebut tentu dapat dibaca sebagai ketidaksetujuan SBY selaku ketua umum DPP Partai Demokrat. Tak heran jika kemudian Ketua Fraksi Partai Demokrat Edhie Baskoro Yudhoyono langsung menyikapinya secara positif. “Poinnya (perppu itu) adalah untuk kebaikan bangsa. Semua fraksi pasti setuju untuk kebaikan bangsa,” katanya (3/10/2014).
PPP, yang sejak masa kampanye pileg pertengahan Maret lalu telah memperlihatkan kedekatannya dengan Partai Gerindra hingga kemudian menjadi bagian di KMP, akhirnya juga memutuskan untuk menyeberang ke Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang mendukung presiden dan wakil presiden terpilih Jokowi JK pada sidang paripurna pemilihan ketua dan para wakil ketua MPR, 8 Oktober lalu. Terlepas dari motivasi PPP hijrah ke KIH, yang jelas fakta tersebut memperkuat keraguan akan utuh, solid, dan abadinya sebuah koalisi politik. Itulah politik yang selalu dinamis. Itu sebabnya dalam politik nyaris tak ada satu pun hal yang ideal.
Semua serbapraktis karena nilai utamanya memang pragmatisme. Bukan kebaikan dan kebajikan yang menjadi keutamaan dalam politik, melainkan manfaat. Manfaat itu sendiri terutama dicari dan dikejar untuk diri sendiri, baru kemudian untuk kelompok sendiri, dan akhirnya untuk satuan sosial yang lebih luas lagi seperti rakyat.
Begitulah, sudah sejak lama filosof politik Inggris pada abad ke-19 Lord Palmerston berkata begini: “Tak ada kawan dan lawan yang abadi dalam politik karena sesungguhnya yang abadi adalah kepentingan itu sendiri.” Tesis itu benar, bahkan bernilai kekal, sehingga menjadi salah satu adagium dalam literatur ilmu politik. Kali ini mungkin menjadi kawan senasib- sepenanggungan, sebarisan-seperjuangan. Tapi, kali lain bisa jadi beroposisi, menjadi lawan yang berpunggungan.
Kalau perlu, bahkan bisa saling menjegal dan menghancurkan. Atas dasar itu, sulit diterima jika KMP diklaim sebagai koalisi yang permanen. Koalisi bukanlah persahabatan ataupun sejenis hubungan sosial yang minus orientasi laba. Sebaliknya, koalisi adalah pertemuan antarkekuatan politik yang saling mencari keuntungan berdasarkan kepentingan-kepentingan yang diemban setiap kekuatan politik itu.
Maka itu, selama kepentingan antarkekuatan politik itu sama, hubungan pun dapat terus berjalan. Tapi, jika tidak, pelan tapi pasti hubungan mereka akan retak atau bahkan rusak. Dengan begitu, koalisi politik mana pun selalu rapuh. Ia mudah retak dan bahkan rusak kapan saja, bergantung ada atau tiada kepentingan yang mempertemukan kekuatan-kekuatan politik yang berhimpun di dalamnya. Gambaran seperti itu lazim terlihat di pelbagai ajang kontestasi politik rebutan posisi semisal pilkada dan pilpres.
Pada 2012 dalam Pilgub DKI saat menjelang putaran I semua pasangan cagub-cawagub hampir selalu “menyerang” Foke-Nara dalam kampanyekampanye mereka. Masuk ke putaran II setelah kontestannya tinggal Foke-Nara dan Jokowi- Ahok, semua pasangan calon lainnya (kecuali pasangan independen Faisal-Biem dan Adji- Riza) malah berbalik 180 derajat mendukung Foke-Nara. Itulah politik, yang sangat memesona karena menawarkan kekuasaan. Manfaat kekuasaan itu sendiri sangat besar karena membuat pelbagai kepentingan menjadi mudah untuk diraih.
Logika itulah yang menjelaskan kebenaran adagium Lord Palmerston tadi. Logika yang sama juga dapat menjelaskan mengapa makhluk manusia disebut sebagai political animal (Aristoteles) atau zoon politicon (Plato). Memang, umumnya orang cenderung rakus kekuasaan, dan jika kekuasaan itu sudah didapatkan, orang itu ingin mempertahankan dan bahkan memperbesarnya. Pemikir politik lain, Harold Lasswell, pernah mengatakan bahwa politik adalah “siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana”.
Dipadukan dengan adagium Palmerston di atas, tak heranlah jika politik kerap terlihat kompromistik sebagaimana yang diperlihatkan oleh partai- partai yang berkoalisi sebentar ke sini sebentar lagi ke sana. Koalisi politik memang niscaya penuh kompromi dan karena itu tak mungkin tanpa syarat.
VICTOR SILAEN
Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan
(ars)