Over-Expose ISIS
A
A
A
Kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) secara tiba-tiba menjadi isu hangat media massa secara nasional, baik cetak maupun elektronik akhir-akhir ini.
Beragam berita tentang ISIS di media, di satu sisi sejatinya menjadi upaya waspada (warning) terhadap paham yang sudah distempel terlarang oleh pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam). Ekspos berita tentang ISIS dengan demikian menjadi sebentuk kontrol sosial agar masyarakat tidak terpengaruh terhadap paham ini.
Namun di sisi lain, ekspos berlebihan (over-expose) terhadap ISIS justru berdampak sebaliknya. Bukan semata-mata kewaspadaan, melainkan ketertarikan. Alih-alih menjadi kontrol sosial membentengi masyarakat untuk waspada dan berhati-hati, media secara tidak langsung telah ikut memperkenalkan dan menyosialisasi ajaran ISIS, sekaligus memperbesar kuriusitas masyarakat untuk semakin ingin tahu seluk beluk dan gerak-gerik kelompok ini.
Artinya, dengan demikian, over-expose media menjadi pisau bermata dua. Menyebarkan paham sekaligus mengajak masyarakat menyelami ideologi ISIS. Persoalannya, perspektif dan cara pandang (world view) masyarakat tentang relasi agama dan negara berbeda-beda, terutama kaitan khilafah islamiyah yang diembuskan oleh kelompok ini, meski kajian tentang hal tersebut telah lama dituntaskan oleh para ulama Indonesia bahwa ijtihad NKRI dan Pancasila adalah pilihan terbaik bagi bangsa ini.
ISIS sejatinya hanyalah kelompok baru yang hadir karena problematika politik lokal dan dinamika perseteruan ideologis di Irak dan sebagian negara Arab yang secara kultur dan politik sama sekali berbeda dengan konteks Indonesia. Munculnya ISIS di Indonesia dengan demikian, semestinya tidak disikapi secara berlebihan, apalagi melibatkan instrumen ideologis dan dogmatis.
Jika disadari, kelompok ini bukanlah satu-satunya jenis organisasi impor yang hadir di Indonesia. Sebab ada kelompok lain yang mendeklarasikan diri sebagai partai Islam internasional (Hizbut Tahrir) yang, meskipun berbeda corak, namun mempunyai tujuan yang serupa, yakni khilafah islamiyah sebagai ideologi internasionalisme baru.
Faktanya, kelompok ini pun tidak mampu menggeser bangunan kebangsaan Indonesia (NKRI) dan nilai ideologi Pancasila. Dalam bangunan perpolitikan nasional sekalipun, ada pihak yang secara mindset masih mengedepankan simbolisasi Islam dalam konteks negara sebagai bentuk minimalis dari cita-cita khilafah islamiyah.
Meski demikian, NKRI tetaplah utuh dan Pancasila tetap kukuh. Tak hanya ekstrem kanan, isu kemunculan ekstrem kiri (komunisme) pun menjadi bagian tak terpisahkan dari dinamika ke-Indonesiaan. Namun demikian, baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri hanya akan selalu menjadi minoritas tanpa mampu menggeser mainstream kebangsaan kita.
Hal ini telah diyakini sejak lama oleh dua ormas keagamaan terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Saya yakin selama dua ormas terbesar yang saya sebut sebagai fondasi keumatan dan kebangsaan Indonesia ini masih dalam komitmen keindonesiaan, maka ideologi impor manapun tak akan mampu menggoyahkan konstruksi NKRI. Dengan demikian, pemberitaan over-expose atas ISIS hanyalah kekhawatiran berlebihan terhadap kelompok minoritas baru itu.
Over-Expose
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) secara resmi telah mengeluarkan surat edaran kepada lembaga penyiaran berjaringan nasional (televisi swasta nasional) agar tidak lagi menyiarkan secara berlebihan berita tentang ISIS. Keputusan ini diambil didasarkan atas dampak negatif over-expose penyiaran. Surat edaran menegaskan pentingnya media sebagai pilar demokrasi yang niscaya membentengi NKRI dan Pancasila dari ancaman nilai-nilai destruktif-eksternal, yakni dengan meminimalisasi segala pemberitaan over-expose tentang ISIS.
Pertama, over-expose dapat menjadi bentuk lain dari sosialisasi ajaran ISIS. Dalam fungsinya sebagai the windows of reality (McLuhan: 1980), media akan mengungkap setiap fakta. Namun di titik ini, terdapat sekian banyak fakta yang dapat diberitakan sesuai kategori nilai berita (news values) masing-masing. Jikapun fenomena kelompok ISIS dianggap sebagai fakta dengan tingkat news value tinggi, maka ia akan terus diurai, dieksplorasi dan dikabarkan terus-menerus.
Namun demikian, uraian fakta ini kerap diulang dan terus diperdetail, selain untuk menyajikan fakta paling menarik kepada pemirsa, terdapat kepentingan industri dibalik produktivitas berita ISIS, yakni rating-share, iklan, kebutuhan keunikan fakta, dan seterusnya. Pengulangan pemberitaan dan ekspos berlebihan tentang fenomena ISIS harus disadari sebagai sosialisasi gratis bagi kian merebaknya nilai ideologis kelompok ini.
Kedua, over-expose memojokkan dan mendiskreditkan ISIS dapat menimbulkan simpati masyarakat terhadap kelompok ini. Kondisi ini dapat dianalogikan dengan dampak underdog effect dalam pola pencitraan dalam disiplin ilmu komunikasi, yakni munculnya dampak empatik dan emosional dari masyarakat terhadap seseorang atau kelompok tertentu yang diposisikan tidak menguntungkan.
Hal ini semestinya disadari oleh semua pihak, terutama pihak media. Janganlah terlampau membesar-besarkan kelompok kecil bernama ISIS ini. Yang dibutuhkan kini adalah tindakan konkret pemerintah melalui program riil di lapangan, baik melalui konsolidasi antar elemen ulama, tokoh masyarakat, ormas Islam dan seterusnya, hingga program literasi nilai keagamaan inklusif dan seterusnya sebagaimana program-program yang telah dijalankan selama ini oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Kini tinggal bagaimana maksimalisasi program agar dapat dicapai sesuai tujuan dan target grup. Ekspos media tanpa diiringi dengan program riil hanya akan menimbulkan syakwasangka, munculnya kuriusitas publik hingga dampak underdog effect yang justru semakin menguntungkan kelompok yang disinyalir sebagai ekstremis baru ini.
Ketiga, over-expose media mendedahkan kondisi baru media, terutama televisi, bahwa transparansi informasi dalam segala hal telah melampaui ambang batas normal sebuah pemberitaan menuju keadaan yang disebut Baudrillard (1987: 135) sebagai ekstasi komunikasi (The Ecstasy of Communication). Maknanya, hampir seluruh dimensi kehidupan masyarakat dituntun oleh logika objektivisme kapitalistik yang menawarkan keterbukaan, kebaruan, perubahan dan percepatan konstan.
Dalam keadaan demikian, isu ISIS mendapatkan momentumnya, setelah masyarakat jenuh dengan tarik ulur isu politik nasional yang sedemikian riuh dan emosional. Over-expose atas pemberitaan kelompok ISIS diposisikan sebagai obyek untuk senantiasa mencari kebaruan. Kebaruan inilah yang kerap tidak disadari telah menggantikan nilai kearifan dan kebijaksanaan dalam pemberitaan media.
Segenap elemen bangsa ini segera menyadari bahwa apapun fakta yang disajikan, apabila diekspos terlampau berlebihan, maka akan mengakibatkan dampak negatif terhadap publik. Media semestinya tak semata-mata mencari kebaruan dan keunikan sebuah fakta, namun sekaligus mencari makna dibalik berita yang akan dipublikasikan.
Dengan demikian, media akan benar-benar berfungsi sebagai pilar keempat demokrasi Indonesia, yang santun, berkeadaban, objektif, dan edukatif.
DANANG SONGGO BUWONO
Komisioner KPI Pusat
Beragam berita tentang ISIS di media, di satu sisi sejatinya menjadi upaya waspada (warning) terhadap paham yang sudah distempel terlarang oleh pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam). Ekspos berita tentang ISIS dengan demikian menjadi sebentuk kontrol sosial agar masyarakat tidak terpengaruh terhadap paham ini.
Namun di sisi lain, ekspos berlebihan (over-expose) terhadap ISIS justru berdampak sebaliknya. Bukan semata-mata kewaspadaan, melainkan ketertarikan. Alih-alih menjadi kontrol sosial membentengi masyarakat untuk waspada dan berhati-hati, media secara tidak langsung telah ikut memperkenalkan dan menyosialisasi ajaran ISIS, sekaligus memperbesar kuriusitas masyarakat untuk semakin ingin tahu seluk beluk dan gerak-gerik kelompok ini.
Artinya, dengan demikian, over-expose media menjadi pisau bermata dua. Menyebarkan paham sekaligus mengajak masyarakat menyelami ideologi ISIS. Persoalannya, perspektif dan cara pandang (world view) masyarakat tentang relasi agama dan negara berbeda-beda, terutama kaitan khilafah islamiyah yang diembuskan oleh kelompok ini, meski kajian tentang hal tersebut telah lama dituntaskan oleh para ulama Indonesia bahwa ijtihad NKRI dan Pancasila adalah pilihan terbaik bagi bangsa ini.
ISIS sejatinya hanyalah kelompok baru yang hadir karena problematika politik lokal dan dinamika perseteruan ideologis di Irak dan sebagian negara Arab yang secara kultur dan politik sama sekali berbeda dengan konteks Indonesia. Munculnya ISIS di Indonesia dengan demikian, semestinya tidak disikapi secara berlebihan, apalagi melibatkan instrumen ideologis dan dogmatis.
Jika disadari, kelompok ini bukanlah satu-satunya jenis organisasi impor yang hadir di Indonesia. Sebab ada kelompok lain yang mendeklarasikan diri sebagai partai Islam internasional (Hizbut Tahrir) yang, meskipun berbeda corak, namun mempunyai tujuan yang serupa, yakni khilafah islamiyah sebagai ideologi internasionalisme baru.
Faktanya, kelompok ini pun tidak mampu menggeser bangunan kebangsaan Indonesia (NKRI) dan nilai ideologi Pancasila. Dalam bangunan perpolitikan nasional sekalipun, ada pihak yang secara mindset masih mengedepankan simbolisasi Islam dalam konteks negara sebagai bentuk minimalis dari cita-cita khilafah islamiyah.
Meski demikian, NKRI tetaplah utuh dan Pancasila tetap kukuh. Tak hanya ekstrem kanan, isu kemunculan ekstrem kiri (komunisme) pun menjadi bagian tak terpisahkan dari dinamika ke-Indonesiaan. Namun demikian, baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri hanya akan selalu menjadi minoritas tanpa mampu menggeser mainstream kebangsaan kita.
Hal ini telah diyakini sejak lama oleh dua ormas keagamaan terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Saya yakin selama dua ormas terbesar yang saya sebut sebagai fondasi keumatan dan kebangsaan Indonesia ini masih dalam komitmen keindonesiaan, maka ideologi impor manapun tak akan mampu menggoyahkan konstruksi NKRI. Dengan demikian, pemberitaan over-expose atas ISIS hanyalah kekhawatiran berlebihan terhadap kelompok minoritas baru itu.
Over-Expose
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) secara resmi telah mengeluarkan surat edaran kepada lembaga penyiaran berjaringan nasional (televisi swasta nasional) agar tidak lagi menyiarkan secara berlebihan berita tentang ISIS. Keputusan ini diambil didasarkan atas dampak negatif over-expose penyiaran. Surat edaran menegaskan pentingnya media sebagai pilar demokrasi yang niscaya membentengi NKRI dan Pancasila dari ancaman nilai-nilai destruktif-eksternal, yakni dengan meminimalisasi segala pemberitaan over-expose tentang ISIS.
Pertama, over-expose dapat menjadi bentuk lain dari sosialisasi ajaran ISIS. Dalam fungsinya sebagai the windows of reality (McLuhan: 1980), media akan mengungkap setiap fakta. Namun di titik ini, terdapat sekian banyak fakta yang dapat diberitakan sesuai kategori nilai berita (news values) masing-masing. Jikapun fenomena kelompok ISIS dianggap sebagai fakta dengan tingkat news value tinggi, maka ia akan terus diurai, dieksplorasi dan dikabarkan terus-menerus.
Namun demikian, uraian fakta ini kerap diulang dan terus diperdetail, selain untuk menyajikan fakta paling menarik kepada pemirsa, terdapat kepentingan industri dibalik produktivitas berita ISIS, yakni rating-share, iklan, kebutuhan keunikan fakta, dan seterusnya. Pengulangan pemberitaan dan ekspos berlebihan tentang fenomena ISIS harus disadari sebagai sosialisasi gratis bagi kian merebaknya nilai ideologis kelompok ini.
Kedua, over-expose memojokkan dan mendiskreditkan ISIS dapat menimbulkan simpati masyarakat terhadap kelompok ini. Kondisi ini dapat dianalogikan dengan dampak underdog effect dalam pola pencitraan dalam disiplin ilmu komunikasi, yakni munculnya dampak empatik dan emosional dari masyarakat terhadap seseorang atau kelompok tertentu yang diposisikan tidak menguntungkan.
Hal ini semestinya disadari oleh semua pihak, terutama pihak media. Janganlah terlampau membesar-besarkan kelompok kecil bernama ISIS ini. Yang dibutuhkan kini adalah tindakan konkret pemerintah melalui program riil di lapangan, baik melalui konsolidasi antar elemen ulama, tokoh masyarakat, ormas Islam dan seterusnya, hingga program literasi nilai keagamaan inklusif dan seterusnya sebagaimana program-program yang telah dijalankan selama ini oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Kini tinggal bagaimana maksimalisasi program agar dapat dicapai sesuai tujuan dan target grup. Ekspos media tanpa diiringi dengan program riil hanya akan menimbulkan syakwasangka, munculnya kuriusitas publik hingga dampak underdog effect yang justru semakin menguntungkan kelompok yang disinyalir sebagai ekstremis baru ini.
Ketiga, over-expose media mendedahkan kondisi baru media, terutama televisi, bahwa transparansi informasi dalam segala hal telah melampaui ambang batas normal sebuah pemberitaan menuju keadaan yang disebut Baudrillard (1987: 135) sebagai ekstasi komunikasi (The Ecstasy of Communication). Maknanya, hampir seluruh dimensi kehidupan masyarakat dituntun oleh logika objektivisme kapitalistik yang menawarkan keterbukaan, kebaruan, perubahan dan percepatan konstan.
Dalam keadaan demikian, isu ISIS mendapatkan momentumnya, setelah masyarakat jenuh dengan tarik ulur isu politik nasional yang sedemikian riuh dan emosional. Over-expose atas pemberitaan kelompok ISIS diposisikan sebagai obyek untuk senantiasa mencari kebaruan. Kebaruan inilah yang kerap tidak disadari telah menggantikan nilai kearifan dan kebijaksanaan dalam pemberitaan media.
Segenap elemen bangsa ini segera menyadari bahwa apapun fakta yang disajikan, apabila diekspos terlampau berlebihan, maka akan mengakibatkan dampak negatif terhadap publik. Media semestinya tak semata-mata mencari kebaruan dan keunikan sebuah fakta, namun sekaligus mencari makna dibalik berita yang akan dipublikasikan.
Dengan demikian, media akan benar-benar berfungsi sebagai pilar keempat demokrasi Indonesia, yang santun, berkeadaban, objektif, dan edukatif.
DANANG SONGGO BUWONO
Komisioner KPI Pusat
(mhd)