Bubur Panas dan Pengendalian BBM
A
A
A
ANDA pernah makan bubur di kawasan Cikini, Jakarta? Dulu, menjelang tengah malam, kala pikiran jenuh dengan pekerjaan yang bertimbun, sementara perut lapar minta diisi, dari Kampus Salemba saya sering mampir makan bubur di daerah Cikini atau Hayam Wuruk-Kota.
Panasnya bubur bisa membuat perut kita hangat. Energi kita serasa pulih dan kita bisa kembali bekerja hingga lewat tengah malam. Padahal, namanya juga bubur, airnya lebih banyak dari berasnya. Tapi, makan bubur panas tidak bisa dengan sekali serbu. Lidah bisa terbakar. Itu sebabnya saat makan bubur, kita memulai dengan pinggirnya terlebih dahulu. Baru setelah panasnya berkurang, kita mulai bergerak ke tengah. Strategi makan bubur panas seperti ini menginspirasi banyak kalangan.
Contohnya, produsen sepatu merek lokal yang ingin menggarap pasar di kota-kota besar. Meski begitu, mereka tidak langsung menyerbu mal-mal di sejumlah kota. Kalau itu yang dilakukan, mereka akan langsung berhadapan dengan para kompetitor yang lebih dulu hadir. Kompetitor pasti akan melawan dan balik menekan mereka. Maka itu, si produsen sepatu lokal mulai dengan menggarap pasar-pasar di daerah pinggiran terlebih dahulu. Setelah solid, baru mereka perlahan-lahan bergerak ke tengah kota. Masuk ke mal-mal dan pusat-pusat perbelanjaan.
Sepanjang musim libur Lebaran kemarin, ketika berjalan ke beberapa mal yang ada di Jakarta, saya lihat produk sepatu tersebut dijajakan di mal-mal. Kelihatannya produk sepatu tersebut diterima pasar. Itulah berkah dari strategi makan bubur panas. Strategi serupa diterapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Misalnya, sebelum menjerat salah satu tokoh puncak suatu partai yang terlibat perkara korupsi, KPK mulai dengan menahan beberapa bawahannya. Akhirnya setelah cukup bukti, KPK pun menahan sang tokoh tersebut.
Teman-teman di KPK menyebutnya sebagai ”strategi membakar obat nyamuk.” Agak mirip dengan makan bubur, obat nyamuk selalu terbakar dari bagian luar, perlahan-lahan (kalau tidak basah) akhirnya sampai pada kepalanya. Langkah KPK menuai pujian. Semula banyak kalangan menilai KPK takut dan menerapkan strategi tebang pilih dalam pemberantasan korupsi. Sejak itu anggapan tersebut langsung gugur.
Pengendalian BBM
Awal Agustus 2014 pemerintah menerapkan kebijakan pengendalian konsumsi bahan bakar minyak( BBM). Saya agak ragu dengan efektivitas dari kebijakan ini. Bangsa kita senang berburu barang murah. Jadi, kalau di Jakarta Pusat tak ada solar bersubsidi, mereka tak akan segan-segan mencari ke tempat lain. Meski begitu, bagi saya, pengendalian BBM ini sebuah langkah yang maju. Setidak-tidaknya kita mau lebih berdisiplin. Dulu kalau kuota konsumsi BBM terlampaui, kita tenang-tenang saja. Kini tidak. Kita mulai tak ingin kuota terlampaui. Saya berharap langkah pengendalian konsumsi BBM kali ini akan menjadi contoh lain dari strategi makan bubur panas.
Pengendalian adalah bagian pinggiran bubur. Jika langkah ini tidak memicu aksi penolakan yang masif, saya berharap pemerintah berani bergerak ke tengah yakni berani menaikkan harga BBM. Buat saya, subsidi BBM jelas subsidi salah sasaran. Mayoritas penikmatnya justru mereka yang tidak berhak untuk memperoleh subsidi. Menurut survei Bank Dunia pada 2012, para pemilik mobil mengonsumsi BBM bersubsidi 10 kali lipat lebih banyak dari pemilik sepeda motor. Satu unit mobil per minggu bisa menghabiskan 50 liter BBM bersubsidi, sementara sepeda motor hanya lima liter. Apalagi kini ada banyak LCGC yang harganya hanya Rp90 jutaan.
Penumpang kereta api saja sudah mulai beralih ke mobil pribadi, membuat lalu lintas mudik memanjang 2,5 kali dari lama perjalanan biasa. Bagaimana tahun depan? Mungkin yang tahun ini bisa ditempuh 12 jam akan menjadi 25 jam dan seterusnya. Saat ini selisih harga BBM bersubsidi dengan nonsubsidi bisa mencapai Rp4.500. Dengan selisih tersebut, para pemilik mobil menikmati subsidi Rp11,7 juta per tahun, sementara pemilik sepeda motor hanya Rp1,17 juta. Bagaimana dengan yang tidak memiliki mobil atau sepeda motor?
Mereka sama sekali tidak menikmati subsidi. Padahal, mereka inilah sebetulnya yang paling berhak menerima subsidi. Adanya BBM bersubsidi juga membuat kita boros. Di banyak kompleks perumahan tidak sedikit warganya mengendarai mobil hanya untuk pergi ke minimarket yang jaraknya mungkin tak sampai 1 kilometer, bukan berjalan kaki yang lebih sehat.
Di jalan raya kita lihat mobil dengan kapasitas delapan kursi hanya terisi satu-dua orang. Selebihnya kosong. Juga saat parkir, sebagian kita karena tak tahan panas, memilih menghidupkan mobil dan AC-nya. Lalu, karena ngantuk, kita tertidur dan baru terbangun satu-dua jam kemudian. Masih banyak perilaku boros energi lain yang dipicu murahnya harga BBM. Mungkin kalau harga BBM dua-tiga kali lebih mahal, perilaku semacam itu bisa kita tekan.
Opportunity Cost
Bagi saya, kenaikan harga BBM bukan hanya soal APBN. Ini soal keberanian kita untuk berubah. Kondisi sudah berubah, tetapi kita belum mau berubah. Ini celaka. Pada masa jayanya kita mampu memproduksi minyak mentah hingga 1,6 juta barel per hari (bph), sementara tingkat konsumsinya baru berkisar 400.000-500.000 bph. Kini volume produksi kita tinggal separuhnya, sekitar 800.000-an bph, sementara tingkat konsumsi kita sudah mencapai 1,4 juta bph.
Kondisi sudah berubah, tapi perilaku kita masih belum berubah baik di tataran individual maupun kolektif. Perilaku masyarakat yang boros BBM itu seakan mendapat "dukungan penuh” dari pemerintah dengan menyediakan BBM bersubsidi. Dalam ilmu ekonomi kita mengenal konsep opportunity cost. Artinya, ada peluang yang hilang karena kita memilih untuk mengalokasikan sumber daya ke suatu pilihan tertentu. Dalam konteks ini misalnya selama 2013 kita memilih mengalokasikan Rp193,8 triliun untuk subsidi BBM. Apa peluang yang hilang akibat keputusan itu?
Dengan biaya sebesar itu, sebetulnya kita bisa membangun ribuan tower rumah susun untuk rakyat, jalan-jalan, dan pelabuhan di pulau terpencil, sekolah TK untuk rakyat yang berkualitas, menyelesaikan pembangunan monorel yang kini terbengkalai, dan seterusnya. Menurut kajian, total panjang monorel dari Bekasi-Jakarta dan Cibubur- Jakarta mencapai 43,56 kilometer.
Jika biaya pembangunan monorel USD20 juta per kilometer, total dana untuk membangun monorel sepanjang itu mencapai USD871,2 juta atau setara Rp8,45 triliun. Ini tak sampai 5% dari total dana untuk subsidi BBM pada 2013.
RHENALD KASALI
Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
Panasnya bubur bisa membuat perut kita hangat. Energi kita serasa pulih dan kita bisa kembali bekerja hingga lewat tengah malam. Padahal, namanya juga bubur, airnya lebih banyak dari berasnya. Tapi, makan bubur panas tidak bisa dengan sekali serbu. Lidah bisa terbakar. Itu sebabnya saat makan bubur, kita memulai dengan pinggirnya terlebih dahulu. Baru setelah panasnya berkurang, kita mulai bergerak ke tengah. Strategi makan bubur panas seperti ini menginspirasi banyak kalangan.
Contohnya, produsen sepatu merek lokal yang ingin menggarap pasar di kota-kota besar. Meski begitu, mereka tidak langsung menyerbu mal-mal di sejumlah kota. Kalau itu yang dilakukan, mereka akan langsung berhadapan dengan para kompetitor yang lebih dulu hadir. Kompetitor pasti akan melawan dan balik menekan mereka. Maka itu, si produsen sepatu lokal mulai dengan menggarap pasar-pasar di daerah pinggiran terlebih dahulu. Setelah solid, baru mereka perlahan-lahan bergerak ke tengah kota. Masuk ke mal-mal dan pusat-pusat perbelanjaan.
Sepanjang musim libur Lebaran kemarin, ketika berjalan ke beberapa mal yang ada di Jakarta, saya lihat produk sepatu tersebut dijajakan di mal-mal. Kelihatannya produk sepatu tersebut diterima pasar. Itulah berkah dari strategi makan bubur panas. Strategi serupa diterapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Misalnya, sebelum menjerat salah satu tokoh puncak suatu partai yang terlibat perkara korupsi, KPK mulai dengan menahan beberapa bawahannya. Akhirnya setelah cukup bukti, KPK pun menahan sang tokoh tersebut.
Teman-teman di KPK menyebutnya sebagai ”strategi membakar obat nyamuk.” Agak mirip dengan makan bubur, obat nyamuk selalu terbakar dari bagian luar, perlahan-lahan (kalau tidak basah) akhirnya sampai pada kepalanya. Langkah KPK menuai pujian. Semula banyak kalangan menilai KPK takut dan menerapkan strategi tebang pilih dalam pemberantasan korupsi. Sejak itu anggapan tersebut langsung gugur.
Pengendalian BBM
Awal Agustus 2014 pemerintah menerapkan kebijakan pengendalian konsumsi bahan bakar minyak( BBM). Saya agak ragu dengan efektivitas dari kebijakan ini. Bangsa kita senang berburu barang murah. Jadi, kalau di Jakarta Pusat tak ada solar bersubsidi, mereka tak akan segan-segan mencari ke tempat lain. Meski begitu, bagi saya, pengendalian BBM ini sebuah langkah yang maju. Setidak-tidaknya kita mau lebih berdisiplin. Dulu kalau kuota konsumsi BBM terlampaui, kita tenang-tenang saja. Kini tidak. Kita mulai tak ingin kuota terlampaui. Saya berharap langkah pengendalian konsumsi BBM kali ini akan menjadi contoh lain dari strategi makan bubur panas.
Pengendalian adalah bagian pinggiran bubur. Jika langkah ini tidak memicu aksi penolakan yang masif, saya berharap pemerintah berani bergerak ke tengah yakni berani menaikkan harga BBM. Buat saya, subsidi BBM jelas subsidi salah sasaran. Mayoritas penikmatnya justru mereka yang tidak berhak untuk memperoleh subsidi. Menurut survei Bank Dunia pada 2012, para pemilik mobil mengonsumsi BBM bersubsidi 10 kali lipat lebih banyak dari pemilik sepeda motor. Satu unit mobil per minggu bisa menghabiskan 50 liter BBM bersubsidi, sementara sepeda motor hanya lima liter. Apalagi kini ada banyak LCGC yang harganya hanya Rp90 jutaan.
Penumpang kereta api saja sudah mulai beralih ke mobil pribadi, membuat lalu lintas mudik memanjang 2,5 kali dari lama perjalanan biasa. Bagaimana tahun depan? Mungkin yang tahun ini bisa ditempuh 12 jam akan menjadi 25 jam dan seterusnya. Saat ini selisih harga BBM bersubsidi dengan nonsubsidi bisa mencapai Rp4.500. Dengan selisih tersebut, para pemilik mobil menikmati subsidi Rp11,7 juta per tahun, sementara pemilik sepeda motor hanya Rp1,17 juta. Bagaimana dengan yang tidak memiliki mobil atau sepeda motor?
Mereka sama sekali tidak menikmati subsidi. Padahal, mereka inilah sebetulnya yang paling berhak menerima subsidi. Adanya BBM bersubsidi juga membuat kita boros. Di banyak kompleks perumahan tidak sedikit warganya mengendarai mobil hanya untuk pergi ke minimarket yang jaraknya mungkin tak sampai 1 kilometer, bukan berjalan kaki yang lebih sehat.
Di jalan raya kita lihat mobil dengan kapasitas delapan kursi hanya terisi satu-dua orang. Selebihnya kosong. Juga saat parkir, sebagian kita karena tak tahan panas, memilih menghidupkan mobil dan AC-nya. Lalu, karena ngantuk, kita tertidur dan baru terbangun satu-dua jam kemudian. Masih banyak perilaku boros energi lain yang dipicu murahnya harga BBM. Mungkin kalau harga BBM dua-tiga kali lebih mahal, perilaku semacam itu bisa kita tekan.
Opportunity Cost
Bagi saya, kenaikan harga BBM bukan hanya soal APBN. Ini soal keberanian kita untuk berubah. Kondisi sudah berubah, tetapi kita belum mau berubah. Ini celaka. Pada masa jayanya kita mampu memproduksi minyak mentah hingga 1,6 juta barel per hari (bph), sementara tingkat konsumsinya baru berkisar 400.000-500.000 bph. Kini volume produksi kita tinggal separuhnya, sekitar 800.000-an bph, sementara tingkat konsumsi kita sudah mencapai 1,4 juta bph.
Kondisi sudah berubah, tapi perilaku kita masih belum berubah baik di tataran individual maupun kolektif. Perilaku masyarakat yang boros BBM itu seakan mendapat "dukungan penuh” dari pemerintah dengan menyediakan BBM bersubsidi. Dalam ilmu ekonomi kita mengenal konsep opportunity cost. Artinya, ada peluang yang hilang karena kita memilih untuk mengalokasikan sumber daya ke suatu pilihan tertentu. Dalam konteks ini misalnya selama 2013 kita memilih mengalokasikan Rp193,8 triliun untuk subsidi BBM. Apa peluang yang hilang akibat keputusan itu?
Dengan biaya sebesar itu, sebetulnya kita bisa membangun ribuan tower rumah susun untuk rakyat, jalan-jalan, dan pelabuhan di pulau terpencil, sekolah TK untuk rakyat yang berkualitas, menyelesaikan pembangunan monorel yang kini terbengkalai, dan seterusnya. Menurut kajian, total panjang monorel dari Bekasi-Jakarta dan Cibubur- Jakarta mencapai 43,56 kilometer.
Jika biaya pembangunan monorel USD20 juta per kilometer, total dana untuk membangun monorel sepanjang itu mencapai USD871,2 juta atau setara Rp8,45 triliun. Ini tak sampai 5% dari total dana untuk subsidi BBM pada 2013.
RHENALD KASALI
Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
(hyk)