Partisipasi Penyandang Disabilitas dalam Politik 2014
A
A
A
PEMILIHAN umum (pemilu) merupakan hajat besar sebagai perwujudan demokrasi di Indonesia. Ini merupakan momen penting di mana bangsa Indonesia paling tidak untuk lima tahun ke depan akan ditentukan.
Untuk itu, dalam pemilu partisipasi publik menjadi sangat dibutuhkan karena dengan begitu suara publik mampu menentukan wakil-wakilnya yang akan menentukan nasib masyarakat untuk masa depan. Agar pemilu benar-benar tempat publik dan semua berpartisipasi proses berjalannya pesta demokrasi ini haruslah dapat diakses oleh siapa pun, dari golongan apa pun itu, termasuk mereka yang selama ini terpinggirkan dalam kehidupan masyarakat seperti penyandang disabilitas.
Usaha memenuhi hak suara penyandang disabilitas pun sudah diperjuangkan dalam pemilu- pemilu sebelumnya. Berbagai masukan perihal aksesibilitas bagi penyandang disabilitas dalam pemilu sudah dilayangkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hasilnya, aksesibilitas bagi penyandang disabilitas dalam Pemilu 2014 menjadi isu yang cukup diperhatikan.
Banyak lembaga masyarakat di Indonesia maupun lembaga internasional mendorong agar pemilu tahun ini lebih ramah terhadap penyandang disabilitas dengan memberikan fasilitas yang bisa diakses seperti tempat pemungutan suara yang ramah kursi roda, lembar suara berhuruf Braille dan seterusnya. Terlebih lagi populasi penyandang disabilitas di Indonesia cukuplah tinggi, yakni sekitar 35 juta lebih (WHO 2011).
Suara Penyandang Disabilitas
Alasan melibatkan penyandang disabilitas sangatlah berarti. Berdasarkan temuan The Asia Fodation, mereka 35% lebih tidak mempunyai akses ke pemilu atau tidak paham akan pemilu. Artinya 35% dari penyandang disabilitas yang memiliki hak suara tidak mampu menggunakan hak suaranya dalam Pemilu 2014.
Meskipun begitu, ada hal yang jauh lebih penting dari sekedar aksesibilitas dalam pemilu bagi penyandang disabilitas, yakni seberapa jauh pemilu ini dapat memberikan manfaat bagi penyandang disabilitas. Dapat dirunut pula seberapa kuatkah isu disabilitas akan disuarakan oleh para calon wakil rakyat maupun pemimpin negeri ini menyuarakan isu disabilitas. Isu disabilitas dalam pemilu terkait bagaimana para wakil rakyat nantinya menyuarakan isu disabilitas dan seberapa kuatkah disabilitas akan menjadi isu penting dalam kebijakan pemerintah di negeri ini.
Hal demikian jauh lebih berarti bagi penyandang disabilitas dari sekadar fasilitas yang mudah diakses dalam pemilihan umum, terlebih lagi temuan The Asia Fondation menyebut masyarakat enggan memilih pemimpin yang mempunyai disabilitas 76,9% dari masyarakat tidak akan memilih pemimpin dengan disabilitas. Itu artinya kepentingan mereka agar lebih tersuarakan dalam pemerintahan akan sulit diperjuangkan. Bisa disimpulkan bahwa stigma masyarakat dalam Pemilu tahun ini ialah kurang percaya akan kemampuan penyandang disabilitas.
Stigma buruk dan ketidakberdayaan penyandang disabilitas masihlah melekat dalam masyarakat sehingga enggan untuk memilih penyandang disabilitas sebagai pemimpin mereka. Jika dikaitkan dengan terjadinya perubahan dalam masyarakat dengan keikutsertaannya dalam dunia politik, maka pandangan masyarakat yang tidak akan memilih difabel sebagai pemimpin mereka ini akan berseberangan dengan usaha mewujudkan implementasi penegakan hak-hak penyandang disabilitas.
Hal yang demikian ternyata diresapi oleh penyandang disabilitas, reproduksi ketidakbisaan penyandang disabilitas dalam kepemimpinan pun menjadi ”kebenaran” bagi penyandang disabilitas itu sendiri sehingga penyandang disabilitas sendiri pun mempercayainya. Hal ini dapat dilihat pada hasil survei yang menunjukkan bahwa 42% penyandang disabilitas tidak akan memilih pemimpin yang memiliki disabilitas, 36,7% bersedia memilih dan 21,3% menolak menjawab.
Di sisi lain, sekalipun ketidakpercayaan yang diberikan pada mereka atas kepemimpinan, penyandang disabilitas sendiri menilai bahwa demokrasi merupakan jalan yang terbaik sebagai jalan untuk pemerintahan. Masih berpijak pada data yang dikeluarkan oleh The Asia Foundation, 68,1% penyandang disabilitas setuju bahwa demokrasi adalah sistem yang baik, 22,22% sangat setuju, sisanya, 9,7%, tidak tahu.
Perihal pentingnya pemilu pada tahun ini, beranjak pada survei yang dilakukan oleh Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD) Universitas Brawijaya, 38,24% mengatakan sangat penting, dan 41,10% penting, 5,88% tidak penting, 2, 94% sangat tidak penting, dan 11,78% tidak tahu. Artinya, 91,18% penyandang disabilitas menyatakan mencoblos dalam Pemilu 2014 dan 8,8% yang tidak menyatakan tidak berpartisipasi.
Lantas apakah motivasi penyandang disabilitas tersebut terlibat dalam pemilu? 8,82% menjawab tidak tahu, 82,35% agar kebijakan untuk mereka lebih baik, 5,88% dikarenakan mendapat imbalan uang, dan 2,94% dikarenakan ikut-ikutan. Dengan demikian, harapan penyandang disabilitas pada pemilu kali ini sangatlah tinggi bagi perubahan nasib mereka. Akan tetapi, data menunjukkan bahwa penyandang disabilitas sangat pesimistis atas apa yang dihasilkan oleh pemilu kali ini.
Sejumlah 32,35% merasa bahwa tidak akan terwakili pada pilihan-pilihan mereka, 17,65% sangat tidak terwakili, 11,76% merasa sangat terwakili, 26,47% merasa terwakili, 2,94% tidak tahu, dan 8,82% enggan menjawab. Dengan demikian, pada prinsipnya harapan tinggi yang diberikan bagi penyandang disabilitas pada pemilu kali ini tetap saja dianggap sebagai pesta yang menghasilkan orang-orang yang tidak cukup mewakili mereka.
Isu Disabilitas
Pemilu merupakan pintu harapan bagi penyandang disabilitas sebagai momen perubahan atas kebijakan yang lebih berpihak kepada mereka. Tampaknya, pesimisme penyandang disabilitas dapat dibenarkan, setidaknya dapat dibaca dari semua platform partai politik. Tidak ditemui, dari sekian partai, yang menjadikan disabilitas sebagai program utama dalam kampanye.
Lagipula, absennya penyandang disabilitas sebagai calon legeslatif serta tidak adanya ketentuan dari Komisi Pemilihan Umum untuk mendudukan penyandang disabilitas sebagai anggota legeslatif, sebagaimana yang diberikan pada perempuan, semakin meneguhkan bahwa suara kaum minoritas terbesar di negeri ini tak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.
Bahkan pada pemilihan presiden dan wakil presiden juga demikian. Di tangan dua pasang calon yang telah mendaftarkan diri sebagai calon presiden dan wakil presiden,Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK, isu disabilitas juga tak begitu tampak dalam visi-dan misi mereka yang diserahkan ke KPU. Minimnya isu disabilitas dalam pemilu kali semakin meneguhkan kondisi penyandang disabilitas yang selama ini terus termarginalisasi dalam kehidupan masyarakat.
Mereka harus menanggung beban stereotipe buruk, banyaknya fasilitas publik yang tidak terakses, banyaknya tindakan diskriminatif seperti akses pendidikan, akses pekerjaan, dan yang paling dekat adalah ditolaknya mereka sebagai peserta ujian masuk perguruan tinggi negeri.
Jika mayoritas masyarakat Indonesia tidak menghendaki pemimpinya adalah dari kelompok penyandang disabilitas dan minim sekali isu disabilitas dalam berbagai program mereka yang terlibat pemilu, dan tidak adanya ketentuan kuota bagi penyandang disabilitas dalam pemilu 2014, lantas bagaimana suara disabilitas akan sampai di parlemen dan eksekutif? Di manakah fungsi demokrasi sebagai instrumen paling rasional untuk suara rakyat?
SLAMET THOHARI
Dosen Sosiologi Universitas Brawijaya, Sekretaris Pusat Studi dan Layanan Disabilitas Universitas Brawijaya, Alumni Disability Studies, University of Hawaii at Manoa
Untuk itu, dalam pemilu partisipasi publik menjadi sangat dibutuhkan karena dengan begitu suara publik mampu menentukan wakil-wakilnya yang akan menentukan nasib masyarakat untuk masa depan. Agar pemilu benar-benar tempat publik dan semua berpartisipasi proses berjalannya pesta demokrasi ini haruslah dapat diakses oleh siapa pun, dari golongan apa pun itu, termasuk mereka yang selama ini terpinggirkan dalam kehidupan masyarakat seperti penyandang disabilitas.
Usaha memenuhi hak suara penyandang disabilitas pun sudah diperjuangkan dalam pemilu- pemilu sebelumnya. Berbagai masukan perihal aksesibilitas bagi penyandang disabilitas dalam pemilu sudah dilayangkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hasilnya, aksesibilitas bagi penyandang disabilitas dalam Pemilu 2014 menjadi isu yang cukup diperhatikan.
Banyak lembaga masyarakat di Indonesia maupun lembaga internasional mendorong agar pemilu tahun ini lebih ramah terhadap penyandang disabilitas dengan memberikan fasilitas yang bisa diakses seperti tempat pemungutan suara yang ramah kursi roda, lembar suara berhuruf Braille dan seterusnya. Terlebih lagi populasi penyandang disabilitas di Indonesia cukuplah tinggi, yakni sekitar 35 juta lebih (WHO 2011).
Suara Penyandang Disabilitas
Alasan melibatkan penyandang disabilitas sangatlah berarti. Berdasarkan temuan The Asia Fodation, mereka 35% lebih tidak mempunyai akses ke pemilu atau tidak paham akan pemilu. Artinya 35% dari penyandang disabilitas yang memiliki hak suara tidak mampu menggunakan hak suaranya dalam Pemilu 2014.
Meskipun begitu, ada hal yang jauh lebih penting dari sekedar aksesibilitas dalam pemilu bagi penyandang disabilitas, yakni seberapa jauh pemilu ini dapat memberikan manfaat bagi penyandang disabilitas. Dapat dirunut pula seberapa kuatkah isu disabilitas akan disuarakan oleh para calon wakil rakyat maupun pemimpin negeri ini menyuarakan isu disabilitas. Isu disabilitas dalam pemilu terkait bagaimana para wakil rakyat nantinya menyuarakan isu disabilitas dan seberapa kuatkah disabilitas akan menjadi isu penting dalam kebijakan pemerintah di negeri ini.
Hal demikian jauh lebih berarti bagi penyandang disabilitas dari sekadar fasilitas yang mudah diakses dalam pemilihan umum, terlebih lagi temuan The Asia Fondation menyebut masyarakat enggan memilih pemimpin yang mempunyai disabilitas 76,9% dari masyarakat tidak akan memilih pemimpin dengan disabilitas. Itu artinya kepentingan mereka agar lebih tersuarakan dalam pemerintahan akan sulit diperjuangkan. Bisa disimpulkan bahwa stigma masyarakat dalam Pemilu tahun ini ialah kurang percaya akan kemampuan penyandang disabilitas.
Stigma buruk dan ketidakberdayaan penyandang disabilitas masihlah melekat dalam masyarakat sehingga enggan untuk memilih penyandang disabilitas sebagai pemimpin mereka. Jika dikaitkan dengan terjadinya perubahan dalam masyarakat dengan keikutsertaannya dalam dunia politik, maka pandangan masyarakat yang tidak akan memilih difabel sebagai pemimpin mereka ini akan berseberangan dengan usaha mewujudkan implementasi penegakan hak-hak penyandang disabilitas.
Hal yang demikian ternyata diresapi oleh penyandang disabilitas, reproduksi ketidakbisaan penyandang disabilitas dalam kepemimpinan pun menjadi ”kebenaran” bagi penyandang disabilitas itu sendiri sehingga penyandang disabilitas sendiri pun mempercayainya. Hal ini dapat dilihat pada hasil survei yang menunjukkan bahwa 42% penyandang disabilitas tidak akan memilih pemimpin yang memiliki disabilitas, 36,7% bersedia memilih dan 21,3% menolak menjawab.
Di sisi lain, sekalipun ketidakpercayaan yang diberikan pada mereka atas kepemimpinan, penyandang disabilitas sendiri menilai bahwa demokrasi merupakan jalan yang terbaik sebagai jalan untuk pemerintahan. Masih berpijak pada data yang dikeluarkan oleh The Asia Foundation, 68,1% penyandang disabilitas setuju bahwa demokrasi adalah sistem yang baik, 22,22% sangat setuju, sisanya, 9,7%, tidak tahu.
Perihal pentingnya pemilu pada tahun ini, beranjak pada survei yang dilakukan oleh Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD) Universitas Brawijaya, 38,24% mengatakan sangat penting, dan 41,10% penting, 5,88% tidak penting, 2, 94% sangat tidak penting, dan 11,78% tidak tahu. Artinya, 91,18% penyandang disabilitas menyatakan mencoblos dalam Pemilu 2014 dan 8,8% yang tidak menyatakan tidak berpartisipasi.
Lantas apakah motivasi penyandang disabilitas tersebut terlibat dalam pemilu? 8,82% menjawab tidak tahu, 82,35% agar kebijakan untuk mereka lebih baik, 5,88% dikarenakan mendapat imbalan uang, dan 2,94% dikarenakan ikut-ikutan. Dengan demikian, harapan penyandang disabilitas pada pemilu kali ini sangatlah tinggi bagi perubahan nasib mereka. Akan tetapi, data menunjukkan bahwa penyandang disabilitas sangat pesimistis atas apa yang dihasilkan oleh pemilu kali ini.
Sejumlah 32,35% merasa bahwa tidak akan terwakili pada pilihan-pilihan mereka, 17,65% sangat tidak terwakili, 11,76% merasa sangat terwakili, 26,47% merasa terwakili, 2,94% tidak tahu, dan 8,82% enggan menjawab. Dengan demikian, pada prinsipnya harapan tinggi yang diberikan bagi penyandang disabilitas pada pemilu kali ini tetap saja dianggap sebagai pesta yang menghasilkan orang-orang yang tidak cukup mewakili mereka.
Isu Disabilitas
Pemilu merupakan pintu harapan bagi penyandang disabilitas sebagai momen perubahan atas kebijakan yang lebih berpihak kepada mereka. Tampaknya, pesimisme penyandang disabilitas dapat dibenarkan, setidaknya dapat dibaca dari semua platform partai politik. Tidak ditemui, dari sekian partai, yang menjadikan disabilitas sebagai program utama dalam kampanye.
Lagipula, absennya penyandang disabilitas sebagai calon legeslatif serta tidak adanya ketentuan dari Komisi Pemilihan Umum untuk mendudukan penyandang disabilitas sebagai anggota legeslatif, sebagaimana yang diberikan pada perempuan, semakin meneguhkan bahwa suara kaum minoritas terbesar di negeri ini tak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.
Bahkan pada pemilihan presiden dan wakil presiden juga demikian. Di tangan dua pasang calon yang telah mendaftarkan diri sebagai calon presiden dan wakil presiden,Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK, isu disabilitas juga tak begitu tampak dalam visi-dan misi mereka yang diserahkan ke KPU. Minimnya isu disabilitas dalam pemilu kali semakin meneguhkan kondisi penyandang disabilitas yang selama ini terus termarginalisasi dalam kehidupan masyarakat.
Mereka harus menanggung beban stereotipe buruk, banyaknya fasilitas publik yang tidak terakses, banyaknya tindakan diskriminatif seperti akses pendidikan, akses pekerjaan, dan yang paling dekat adalah ditolaknya mereka sebagai peserta ujian masuk perguruan tinggi negeri.
Jika mayoritas masyarakat Indonesia tidak menghendaki pemimpinya adalah dari kelompok penyandang disabilitas dan minim sekali isu disabilitas dalam berbagai program mereka yang terlibat pemilu, dan tidak adanya ketentuan kuota bagi penyandang disabilitas dalam pemilu 2014, lantas bagaimana suara disabilitas akan sampai di parlemen dan eksekutif? Di manakah fungsi demokrasi sebagai instrumen paling rasional untuk suara rakyat?
SLAMET THOHARI
Dosen Sosiologi Universitas Brawijaya, Sekretaris Pusat Studi dan Layanan Disabilitas Universitas Brawijaya, Alumni Disability Studies, University of Hawaii at Manoa
(nfl)