Kelapa Sawit, Deforestasi, dan Orang Utan
A
A
A
HINGGA kini masih hangat dibahas isu mengenai kerusakan hutan Indonesia (deforestasi) dan orang utan. Kedua isu tersebut dikaitkan dengan perkebunan sawit, di mana ada semacam tuduhan bahwa sawitlah penyebab deforestasi dan terbunuhnya (berkurangnya) orang utan di Indonesia.
Pertanyaannya, apakah benar bahwa perkebunan kelapa sawit adalah penyebab (utama) kerusakan hutan di Indonesia dan matinya orang utan? Deforestasi sendiri masih ditafsirkan beragam.
Ini disebabkan perbedaan pengertian hutan dengan kawasan hutan. Publik sering kurang memahami perbedaan hutan dengan kawasan hutan sehingga sering meng-gebyah-uyah (menggeneralisasi) bahwa kebun sawit menyebabkan berkurangnya hutan Indonesia.
Menurut UU 41/1999 tentang Kehutanan, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
Menurut Forest Resources Assessment (FRA, 2000), hutan adalah lahan dengan luasan minimal 0,5 ha dengan tutupan vegetasi pohon (tree crown cover) minimal 10%, ketinggian pepohonan minimal 5 m. Kawasan hutan, menurut UU 41/ 1999, adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Secara gampang bisa dijelaskan bahwa hutan adalah pohon-pohonnya, sedangkan kawasan hutan adalah status legal wilayahnya.
Sebagai kawasan hutan, kita mengenal antara lain hutan lindung, hutan konservasi, hutan produksi, dan hutan produksi terbatas. Hutan produksi konversi (HPK) adalah kawasan hutan eks HPH (log over forest) yang sebenarnya sudah direlakan untuk diubah fungsinya menjadi kegunaan nonkehutanan guna menopang kegiatan pembangunan.
Deforestasi selama ini didefinisikan sebagai penebangan pepohonan (hutan) yang diubah peruntukannya menjadi bukan hutan. Padahal sebenarnya esensi dari deforestasi adalah perubahan (konversi) kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan.
Data hutan Indonesia yang katanya 133 juta ha adalah kawasan hutan bukan hutan dalam arti luasan vegetasinya walaupun data Kementerian Kehutanan (2011) mencatat bahwa dari 133 juta ha kawasan hutan, sekitar 40 juta ha di antaranya sudah tidak berhutan (degraded ).
Sudah menjadi keniscayaan bahwa sebagai negara berkembang, di mana pemerintah harus menyediakan ruang untuk pertambahan penduduk serta aktivitas pemenuhan kebutuhan hidupnya, kawasan hutan produksi konversi adalah cadangan untuk menjawab kebutuhan tersebut.
Perubahan fungsi kawasan hutan produksi konversi hanyalah masalah waktu dan lokasi di mana prioritas pembangunan dilakukan sesuai prosedur pelepasan kawasan hutan yang diatur undang-undang.
Dalam kaitan dengan perkebunan kelapa sawit, konsesi lahan yang diberikan pemerintah (daerah) adalah berstatus area penggunaan lain (APL) atau ada yang menyebut kawasan budi daya nonkehutanan (KBNK) atau kadang-kadang hutan produksi konversi (HPK). Baik APL ataupun KBNK adalah bukan kawasan hutan.
Perusahaan yang mendapat izin konsesi di kawasan HPK harus memproses izin pelepasan kawasan hutan kepada menteri kehutanan. Tanpa izin pelepasan kawasan hutan, status hak lahan tidak akan bisa menjadi HGU (hak guna usaha).
Sesuai UU, tidak mungkin pemerintah memberikan izin konsesi di hutan produksi, apalagi hutan lindung dan hutan konservasi. Karena itu, sangatlah tidak relevan jika ekspansi kebun kelapa sawit dikaitkan dengan deforestasi.
Ekspansi perkebunan kelapa sawit berkaitan dengan kawasan hutan, bukan dengan hutannya. Masalahnya, di beberapa kasus ada bukan kawasan hutan yang masih berhutan (berpohon). Karena ketidaksamaan definisi sebagaimana disebutkan di atas, ekspansi penanaman sawit di lahan seperti ini dikategorikan sebagai deforestasi.
Memang demikianlah menurut peraturan perundangan di Indonesia bahwa penebangan vegetasi di areal bukan kawasan hutan adalah bukan suatu pelanggaran. Namun, penebangan hutan (pohon) di areal bukan kawasan hutan tetap dianggap deforestasi oleh kalangan LSM lingkungan karena mereka hanya melihatnya dari aspek fisik (citra satelit), di mana yang tadinya tutupan vegetasi (berwarna hijau) berubah menjadi tidak hijau atau menjadi (hijau) kebun sawit.
Demikian juga dengan masalah orang utan, sangat tidak relevan bahwa perkebunan kelapa sawit dituduh menjadi penyebab matinya orang utan. Orang utan tidak ada hubungannya dengan perkebunan kelapa sawit.
Sekali lagi, mengacu pada UU Kehutanan, habitat orang utan adalah kawasan hutan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah yakni kawasan hutan konservasi di mana di dalamnya termasuk taman nasional dan suaka marga satwa untuk melindungi keanekaragaman hayati tertentu termasuk orang utan. Adanya kasus orang utan ”lari” atau ”ditemukan” di perkebunan sawit boleh jadi karena hutan konservasi yang menjadi habitatnya sudah rusak.
Dengan demikian, persoalan deforestasi maupun orang utan adalah persoalan tata ruang. Pokok persoalan yang kita hadapi adalah ketidakjelasan dan atau kebelumtuntasan masalah tata ruang ini.
Tuntutan pembangunan akibat pertambahan penduduk mendorong percepatan pemekaran wilayah, tetapi penyesuaian tata ruangnya tidak sinkron. Dengan begitu, suatu areal yang menurut tata ruang provinsi/ pemerintah daerah bukan kawasan hutan, menurut pemerintah pusat adalah kawasan hutan.
Ketika industri mendapatkan izin konsesi lahan dari pemerintah daerah untuk melakukan aktivitas pembangunan, tiba-tiba dituduh oleh pemerintah pusat bahwa industri tersebut melanggar peraturan. Industri menjadi bingung karena pemerintah sendiri tidak satu bahasa, padahal bagi industri yang dibutuhkan adalah kepastian hukum dari satu pemerintah, bukan pemerintah yang berbeda-beda.
Kerusakan hutan memang telah menjadi rahasia umum. Persoalannya ada pada masalah pengelolaan kawasan hutan. Batas kawasan hutan tidak jelas atau masyarakat sulit membedakan mana kawasan hutan dan mana bukan kawasan hutan.
Perubahan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan bukan monopoli perkebunan kelapa sawit. Menurut studi World Growth (2010), perambahan kawasan hutan terbesar justru dilakukan oleh masyarakat miskin yang ingin membuka ladang guna memenuhi kebutuhan pangan dan mata pencaharian mereka. Ini sangat mungkin karena kawasan hutan tidak jelas batasnya dan tidak dijaga, apalagi lokasinya nun jauh di sana.
JOKO SUPRIYONO
Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI)
Pertanyaannya, apakah benar bahwa perkebunan kelapa sawit adalah penyebab (utama) kerusakan hutan di Indonesia dan matinya orang utan? Deforestasi sendiri masih ditafsirkan beragam.
Ini disebabkan perbedaan pengertian hutan dengan kawasan hutan. Publik sering kurang memahami perbedaan hutan dengan kawasan hutan sehingga sering meng-gebyah-uyah (menggeneralisasi) bahwa kebun sawit menyebabkan berkurangnya hutan Indonesia.
Menurut UU 41/1999 tentang Kehutanan, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
Menurut Forest Resources Assessment (FRA, 2000), hutan adalah lahan dengan luasan minimal 0,5 ha dengan tutupan vegetasi pohon (tree crown cover) minimal 10%, ketinggian pepohonan minimal 5 m. Kawasan hutan, menurut UU 41/ 1999, adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Secara gampang bisa dijelaskan bahwa hutan adalah pohon-pohonnya, sedangkan kawasan hutan adalah status legal wilayahnya.
Sebagai kawasan hutan, kita mengenal antara lain hutan lindung, hutan konservasi, hutan produksi, dan hutan produksi terbatas. Hutan produksi konversi (HPK) adalah kawasan hutan eks HPH (log over forest) yang sebenarnya sudah direlakan untuk diubah fungsinya menjadi kegunaan nonkehutanan guna menopang kegiatan pembangunan.
Deforestasi selama ini didefinisikan sebagai penebangan pepohonan (hutan) yang diubah peruntukannya menjadi bukan hutan. Padahal sebenarnya esensi dari deforestasi adalah perubahan (konversi) kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan.
Data hutan Indonesia yang katanya 133 juta ha adalah kawasan hutan bukan hutan dalam arti luasan vegetasinya walaupun data Kementerian Kehutanan (2011) mencatat bahwa dari 133 juta ha kawasan hutan, sekitar 40 juta ha di antaranya sudah tidak berhutan (degraded ).
Sudah menjadi keniscayaan bahwa sebagai negara berkembang, di mana pemerintah harus menyediakan ruang untuk pertambahan penduduk serta aktivitas pemenuhan kebutuhan hidupnya, kawasan hutan produksi konversi adalah cadangan untuk menjawab kebutuhan tersebut.
Perubahan fungsi kawasan hutan produksi konversi hanyalah masalah waktu dan lokasi di mana prioritas pembangunan dilakukan sesuai prosedur pelepasan kawasan hutan yang diatur undang-undang.
Dalam kaitan dengan perkebunan kelapa sawit, konsesi lahan yang diberikan pemerintah (daerah) adalah berstatus area penggunaan lain (APL) atau ada yang menyebut kawasan budi daya nonkehutanan (KBNK) atau kadang-kadang hutan produksi konversi (HPK). Baik APL ataupun KBNK adalah bukan kawasan hutan.
Perusahaan yang mendapat izin konsesi di kawasan HPK harus memproses izin pelepasan kawasan hutan kepada menteri kehutanan. Tanpa izin pelepasan kawasan hutan, status hak lahan tidak akan bisa menjadi HGU (hak guna usaha).
Sesuai UU, tidak mungkin pemerintah memberikan izin konsesi di hutan produksi, apalagi hutan lindung dan hutan konservasi. Karena itu, sangatlah tidak relevan jika ekspansi kebun kelapa sawit dikaitkan dengan deforestasi.
Ekspansi perkebunan kelapa sawit berkaitan dengan kawasan hutan, bukan dengan hutannya. Masalahnya, di beberapa kasus ada bukan kawasan hutan yang masih berhutan (berpohon). Karena ketidaksamaan definisi sebagaimana disebutkan di atas, ekspansi penanaman sawit di lahan seperti ini dikategorikan sebagai deforestasi.
Memang demikianlah menurut peraturan perundangan di Indonesia bahwa penebangan vegetasi di areal bukan kawasan hutan adalah bukan suatu pelanggaran. Namun, penebangan hutan (pohon) di areal bukan kawasan hutan tetap dianggap deforestasi oleh kalangan LSM lingkungan karena mereka hanya melihatnya dari aspek fisik (citra satelit), di mana yang tadinya tutupan vegetasi (berwarna hijau) berubah menjadi tidak hijau atau menjadi (hijau) kebun sawit.
Demikian juga dengan masalah orang utan, sangat tidak relevan bahwa perkebunan kelapa sawit dituduh menjadi penyebab matinya orang utan. Orang utan tidak ada hubungannya dengan perkebunan kelapa sawit.
Sekali lagi, mengacu pada UU Kehutanan, habitat orang utan adalah kawasan hutan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah yakni kawasan hutan konservasi di mana di dalamnya termasuk taman nasional dan suaka marga satwa untuk melindungi keanekaragaman hayati tertentu termasuk orang utan. Adanya kasus orang utan ”lari” atau ”ditemukan” di perkebunan sawit boleh jadi karena hutan konservasi yang menjadi habitatnya sudah rusak.
Dengan demikian, persoalan deforestasi maupun orang utan adalah persoalan tata ruang. Pokok persoalan yang kita hadapi adalah ketidakjelasan dan atau kebelumtuntasan masalah tata ruang ini.
Tuntutan pembangunan akibat pertambahan penduduk mendorong percepatan pemekaran wilayah, tetapi penyesuaian tata ruangnya tidak sinkron. Dengan begitu, suatu areal yang menurut tata ruang provinsi/ pemerintah daerah bukan kawasan hutan, menurut pemerintah pusat adalah kawasan hutan.
Ketika industri mendapatkan izin konsesi lahan dari pemerintah daerah untuk melakukan aktivitas pembangunan, tiba-tiba dituduh oleh pemerintah pusat bahwa industri tersebut melanggar peraturan. Industri menjadi bingung karena pemerintah sendiri tidak satu bahasa, padahal bagi industri yang dibutuhkan adalah kepastian hukum dari satu pemerintah, bukan pemerintah yang berbeda-beda.
Kerusakan hutan memang telah menjadi rahasia umum. Persoalannya ada pada masalah pengelolaan kawasan hutan. Batas kawasan hutan tidak jelas atau masyarakat sulit membedakan mana kawasan hutan dan mana bukan kawasan hutan.
Perubahan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan bukan monopoli perkebunan kelapa sawit. Menurut studi World Growth (2010), perambahan kawasan hutan terbesar justru dilakukan oleh masyarakat miskin yang ingin membuka ladang guna memenuhi kebutuhan pangan dan mata pencaharian mereka. Ini sangat mungkin karena kawasan hutan tidak jelas batasnya dan tidak dijaga, apalagi lokasinya nun jauh di sana.
JOKO SUPRIYONO
Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI)
(nfl)