Menakar Efek Domino Kampanye Hitam
A
A
A
KAMPANYE dalam sistem demokrasi elektoral merupakan sebuah fase yang sangat penting di belahan bumi mana pun di dunia ini sepanjang suatu negara penyelenggara pemilu tersebut menganut sistem demokrasi. Kampanye politik selalu merujuk pada kampanye pada pemilihan umum.
Kampanye politik adalah sebuah upaya yang terorganisasi bertujuan untuk memengaruhi proses pengambilan keputusan para pemilih. Idealnya, sebuah kampanye yang baik itu kampanye yang menginformasikan keunggulan yang dimiliki partai atau tokoh yang menjadi kontestan dalam pemilu tersebut serta mampu memberikan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat.
Jika merujuk makna kampanye dalam UU No 8/ 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD maupun UU No 42/2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden hanya dikenal pemaknaan positif terhadap kampanye yaitu pada intinya adalah kegiatan untuk meyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program peserta pemilu atau pasangan calon.
Kedua regulasi pemilu tersebut tak membuat klasifikasi kampanye berdasarkan rujukan teoretis maupun kontekstual yang lazimnya membedakan antara kampanye putih/positif, kampanye negatif (negative campaign) dan kampanye hitam (black campaign). Dalam perspektif teoretis maupun kontekstual, kampanye negatif memiliki perbedaan dengan kampanye hitam. Kampanye hitam biasanya hanya tuduhan tidak berdasarkan fakta dan merupakan fitnah. Sementara kampanye negatif adalah pengungkapan fakta kekurangan mengenai suatu calon atau partai.
Maka itu, kampanye negatif bagaimanapun tetap memiliki unsur positif. Baik UU Pemilu Legislatif maupun UU Pilpres hanya membedakan antara kampanye yang mengandung unsur pidana atau tidak, tak ada eksplorasi mengenai tipologi kampanye negatif maupun kampanye hitam.
Limitasi maupun restriksi dalam pelaksanaan kampanye dalam dua regulasi tersebut memang diatur secara cukup detail dalam Pasal 41 UU Pilpres misalnya pengaturan mengenai beberapa larangan untuk: mempersoalkan dasar negara Pancasila, Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia; melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/ atau pasangan calon yang lain; menghasut dan mengadudomba perseorangan atau masyarakat; mengganggu ketertiban umum dan beberapa larangan lain.
Terdapat beberapa ketentuan yang memberikan ancaman pidana terdapat praktik- praktik kampanye yang dikategorikan mengandung unsur pidana. Dengan demikian, dalam sistem pemilu di Indonesia hanya dikenal tipologi kampanye yang legal dan ilegal.
Parameter untuk mengukur legalitas kampanye yang dilakukan para kontestan dalam pemilu yang diatur pada kedua regulasi tersebut digunakan parameter administratif dan pidana. Kampanye hitam nyaris selalu muncul saat menjelang ada pemilihan seorang pemimpin.
Dari tingkat yang paling rendah seperti ketua RT, RW, kemudian di level pemerintahan mulai kelurahan, kecamatan, bupati/ wali kota, gubernur, menteri, sampai presiden. Kampanye hitam bahkan sering terjadi di lingkungan organisasi swasta. Jadi dia mencakup berbagai bidang seperti ekonomi, sosial politik, hankam, tak terkecuali budaya.
Kampanye hitam ditujukan untuk mendiskreditkan kontestan lawan dan sekaligus dimaksudkan untuk bisa mendongkrak pihak lain. Biasanya, pemunculannya menunggu momentum dan kondisi yang tepat. Caranya halus, tapi sungguh keji. Tak heran bila kaisar sehebat Napoleon pun pernah mengaku lebih takut pada katakata (gosip) ketimbang moncong meriam. Kampanye hitam masih dianggap efektif oleh beberapa pihak karena mampu memengaruhi nilai elektoral musuh politik.
Namun, kampanye hitam (black campaign) sejatinya merupakan manifestasi dari ketidakpercayaan diri pelakunya. Kampanye hitam itu justru menunjukkan kelemahan pelaku/ inisiatornya karena mereka tak cukup percaya diri akan keunggulan diri sendiri sehingga alih-alih menunjukkan kelebihan dirinya untuk meyakinkan calon pemilihnya yang mereka cari justru adalah kelemahan lawan. Melihat pada latar belakang munculnya kampanye hitam tersebut, praktik kampanye hitam sebenarnya justru bisa menjadi senjata makan tuan.
Masyarakat yang kini sudah semakin cerdas dalam memilih sudah bisa menilai bahwa subjek dan objek yang dijadikan bahan dalam kampanye hitam adalah sesuatu yang memang sengaja dibuat (by design) dan justru bisa menimbulkan simpati pada korban.
Akibat itu, hasil yang dicapai dari sebuah kampanye hitam seringkali sesuatu yang sebaliknya (a contrario) dari maksud yang ingin dicapai para pelaku atau inisiatornya karena justru bisa menaikkan posisi elektoral pihak yang menjadi korban dalam kampanye hitam karena pengaruh psikologi politik ”simpati pada korban kampanye hitam”. Di Amerika Serikat Obama paling sering menjadi korban kampanye hitam.
Dari soal agama, kewarganegaraannya yang diragukan karena pernah memiliki ayah tiri warga negara Indonesia, bahkan biografinya yang pernah menempuh pendidikan sekolah dasar negeri di Menteng, Jakarta Pusat di Indonesia yang notabene merupakan negeri yang pernah didera terorisme akut, tak luput menjadi bahan eksploitasi dalam kampanye hitam.
Namun, yang terjadi justru posisi elektoral Obama meningkat pesat karena psikologi politik ”simpati pada korban” yang akhirnya justru turut menjadi faktor yang berpengaruh dalam keterpilihannya sebagai Presiden AS. Kampanye hitam juga memiliki efek domino yang perlu diperhitungkan.
Memanasnya suhu politik yang tak terkendali akibat kampanye hitam yang tak ditangani secara cepat dan tepat oleh aparat penegak hukum bisa berpotensi membelah secara tajam afiliasi politik publik yang memiliki efek keretakan relasi sosial politik dan bahkan bisa berdampak secara ekonomi.
Situasi politik tak terkendali akan berpengaruh terhadap kepercayaan pasar yang bisa memiliki dampak ekonomi domestik. Di sisi lain, pada masa kampanye karena kerasnya kontestasi antar (pendukung) kandidat bisa menimbulkan kerawanan sosial di aras konstituen akar rumput.
Bukan tak mungkin, jika tak ada kedewasaan dalam berpolitik pada kandidat yang berkontestasi, situasi terbelah di aras akar rumput tersebut bisa berlanjut pasca- pemilu. Di titik ini, penanganan konflik sosial menjadi sulit dilakukan karena dipicu oleh eskalasi ketidakpuasan politik pasca pemilu akibat panasnya suhu politik yang berimbas ke aras akar rumput.
Efek domino kampanye hitam yang tak tertangani dengan baik justru akan mencoreng kredibilitas demokrasi elektoral sebagai esensi negara hukum demokratis yang telah susah payah dibangun dan dikukuhkan dalam konstitusi reformasi.
DR W RIAWAN TJANDRA SH MHUM
Pengajar Hukum Kenegaraan Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Kampanye politik adalah sebuah upaya yang terorganisasi bertujuan untuk memengaruhi proses pengambilan keputusan para pemilih. Idealnya, sebuah kampanye yang baik itu kampanye yang menginformasikan keunggulan yang dimiliki partai atau tokoh yang menjadi kontestan dalam pemilu tersebut serta mampu memberikan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat.
Jika merujuk makna kampanye dalam UU No 8/ 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD maupun UU No 42/2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden hanya dikenal pemaknaan positif terhadap kampanye yaitu pada intinya adalah kegiatan untuk meyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program peserta pemilu atau pasangan calon.
Kedua regulasi pemilu tersebut tak membuat klasifikasi kampanye berdasarkan rujukan teoretis maupun kontekstual yang lazimnya membedakan antara kampanye putih/positif, kampanye negatif (negative campaign) dan kampanye hitam (black campaign). Dalam perspektif teoretis maupun kontekstual, kampanye negatif memiliki perbedaan dengan kampanye hitam. Kampanye hitam biasanya hanya tuduhan tidak berdasarkan fakta dan merupakan fitnah. Sementara kampanye negatif adalah pengungkapan fakta kekurangan mengenai suatu calon atau partai.
Maka itu, kampanye negatif bagaimanapun tetap memiliki unsur positif. Baik UU Pemilu Legislatif maupun UU Pilpres hanya membedakan antara kampanye yang mengandung unsur pidana atau tidak, tak ada eksplorasi mengenai tipologi kampanye negatif maupun kampanye hitam.
Limitasi maupun restriksi dalam pelaksanaan kampanye dalam dua regulasi tersebut memang diatur secara cukup detail dalam Pasal 41 UU Pilpres misalnya pengaturan mengenai beberapa larangan untuk: mempersoalkan dasar negara Pancasila, Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia; melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/ atau pasangan calon yang lain; menghasut dan mengadudomba perseorangan atau masyarakat; mengganggu ketertiban umum dan beberapa larangan lain.
Terdapat beberapa ketentuan yang memberikan ancaman pidana terdapat praktik- praktik kampanye yang dikategorikan mengandung unsur pidana. Dengan demikian, dalam sistem pemilu di Indonesia hanya dikenal tipologi kampanye yang legal dan ilegal.
Parameter untuk mengukur legalitas kampanye yang dilakukan para kontestan dalam pemilu yang diatur pada kedua regulasi tersebut digunakan parameter administratif dan pidana. Kampanye hitam nyaris selalu muncul saat menjelang ada pemilihan seorang pemimpin.
Dari tingkat yang paling rendah seperti ketua RT, RW, kemudian di level pemerintahan mulai kelurahan, kecamatan, bupati/ wali kota, gubernur, menteri, sampai presiden. Kampanye hitam bahkan sering terjadi di lingkungan organisasi swasta. Jadi dia mencakup berbagai bidang seperti ekonomi, sosial politik, hankam, tak terkecuali budaya.
Kampanye hitam ditujukan untuk mendiskreditkan kontestan lawan dan sekaligus dimaksudkan untuk bisa mendongkrak pihak lain. Biasanya, pemunculannya menunggu momentum dan kondisi yang tepat. Caranya halus, tapi sungguh keji. Tak heran bila kaisar sehebat Napoleon pun pernah mengaku lebih takut pada katakata (gosip) ketimbang moncong meriam. Kampanye hitam masih dianggap efektif oleh beberapa pihak karena mampu memengaruhi nilai elektoral musuh politik.
Namun, kampanye hitam (black campaign) sejatinya merupakan manifestasi dari ketidakpercayaan diri pelakunya. Kampanye hitam itu justru menunjukkan kelemahan pelaku/ inisiatornya karena mereka tak cukup percaya diri akan keunggulan diri sendiri sehingga alih-alih menunjukkan kelebihan dirinya untuk meyakinkan calon pemilihnya yang mereka cari justru adalah kelemahan lawan. Melihat pada latar belakang munculnya kampanye hitam tersebut, praktik kampanye hitam sebenarnya justru bisa menjadi senjata makan tuan.
Masyarakat yang kini sudah semakin cerdas dalam memilih sudah bisa menilai bahwa subjek dan objek yang dijadikan bahan dalam kampanye hitam adalah sesuatu yang memang sengaja dibuat (by design) dan justru bisa menimbulkan simpati pada korban.
Akibat itu, hasil yang dicapai dari sebuah kampanye hitam seringkali sesuatu yang sebaliknya (a contrario) dari maksud yang ingin dicapai para pelaku atau inisiatornya karena justru bisa menaikkan posisi elektoral pihak yang menjadi korban dalam kampanye hitam karena pengaruh psikologi politik ”simpati pada korban kampanye hitam”. Di Amerika Serikat Obama paling sering menjadi korban kampanye hitam.
Dari soal agama, kewarganegaraannya yang diragukan karena pernah memiliki ayah tiri warga negara Indonesia, bahkan biografinya yang pernah menempuh pendidikan sekolah dasar negeri di Menteng, Jakarta Pusat di Indonesia yang notabene merupakan negeri yang pernah didera terorisme akut, tak luput menjadi bahan eksploitasi dalam kampanye hitam.
Namun, yang terjadi justru posisi elektoral Obama meningkat pesat karena psikologi politik ”simpati pada korban” yang akhirnya justru turut menjadi faktor yang berpengaruh dalam keterpilihannya sebagai Presiden AS. Kampanye hitam juga memiliki efek domino yang perlu diperhitungkan.
Memanasnya suhu politik yang tak terkendali akibat kampanye hitam yang tak ditangani secara cepat dan tepat oleh aparat penegak hukum bisa berpotensi membelah secara tajam afiliasi politik publik yang memiliki efek keretakan relasi sosial politik dan bahkan bisa berdampak secara ekonomi.
Situasi politik tak terkendali akan berpengaruh terhadap kepercayaan pasar yang bisa memiliki dampak ekonomi domestik. Di sisi lain, pada masa kampanye karena kerasnya kontestasi antar (pendukung) kandidat bisa menimbulkan kerawanan sosial di aras konstituen akar rumput.
Bukan tak mungkin, jika tak ada kedewasaan dalam berpolitik pada kandidat yang berkontestasi, situasi terbelah di aras akar rumput tersebut bisa berlanjut pasca- pemilu. Di titik ini, penanganan konflik sosial menjadi sulit dilakukan karena dipicu oleh eskalasi ketidakpuasan politik pasca pemilu akibat panasnya suhu politik yang berimbas ke aras akar rumput.
Efek domino kampanye hitam yang tak tertangani dengan baik justru akan mencoreng kredibilitas demokrasi elektoral sebagai esensi negara hukum demokratis yang telah susah payah dibangun dan dikukuhkan dalam konstitusi reformasi.
DR W RIAWAN TJANDRA SH MHUM
Pengajar Hukum Kenegaraan Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta
(nfl)