Economics of Speed vs Birokrasi
A
A
A
DI depan mata, setiap hari kita menyaksikan bekerjanya ilmu yang disebut economics of speed atau ekonomi berbasis kecepatan. Dunia kita memang kian bergegas. Semua mau serba cepat. Cepat berangkat, cepat sampai. Ini berimplikasi luas, baik bagi kehidupan, pelayanan umum, kebahagiaan maupun kegiatan usaha.
Tak banyak orang tahu, kepiting-kepiting yang pagi hari ditangkap para nelayan di sepanjang pantai di Indonesia, esok paginya sudah harus sampai di Kota Pudong, Shanghai, China. Siang atau malam harinya, kepiting-kepiting itu sudah menjadi sup yang lezat di berbagai rumah makan seperti Minghao Seafood, Han Tong, Fook Lam Moon atau Zhen De Hao Seafood Restaurant.
Di China, kepiting adalah menu favorit pengganti sirip ikan hiu. Pemicunya? Kecaman dari kalangan penyayang binatang yang menolak penangkapan ikan hiu secara besar-besaran hanya untuk diambil siripnya saja. Maka, sebagai gantinya, restoran-restoran di sana mulai memperkenalkan sup kepiting. Rasanya ternyata enak juga. Sejak itu ekspor kepiting kita ke China naik terus. Belakangan ini permintaannya tumbuh sampai 94%. Sayang tak semua permintaan itu bisa kita penuhi.
Penyebabnya, kepiting-kepiting yang kita ekspor kebanyakan hasil tangkapan, bukan hasil budi daya. Jadi sangat tergantung musim. Kalau musim baik, hasil tangkapan meningkat, ekspor pun naik, dan sebaliknya. Dalam kondisi begitu pun nilai ekspor kepiting kita bisa mencapai triliunan rupiah per tahun. Misalnya, pada semester I 2013, nilainya mencapai USD198 juta atau kira-kira Rp2,25 triliun. Dengan angka itu, kita layak disebut eksportir kepiting terbesar di dunia.
Apa faktor pendukung yang membuat ekspor kepiting kita terus meningkat? Salah satunya angkutan kargo udara. Berkat angkutan ini, kita bisa mengirim kepiting lebih cepat ke China. Kepiting, sebagaimana barang-barang perishable lainnya yang cepat rusak, harus cepat sampai ke negara tujuan. Kita pun punya banyak produk perishable lain. Ada udang, ikan tuna, dan ikan napoleon. Anggrek kita juga potensial untuk diekspor dan hanya angkutan udara yang bisa melayaninya. Begitulah economics of speed yang mungkin akan mengalahkan economics of scale.
Birokrasi
Sayangnya, kendati besar manfaatnya, membangunnya tidak mudah. Musuh utamanya sungguh serius: birokrasi alias benang kusut pemerintahan. Bagaimana bisa? Anda yang kerap berurusan dengan birokrasi tentu memahami betul karakter dan kultur kerja dari para pegawai negeri sipil (PNS) kita. Selain pasif, mereka amat reaktif, bukan antisipatif. Mereka lebih suka dilayani ketimbang melayani.
Menunggu perintah, bukan proaktif. Suka menunda-nunda pekerjaan, bukannya menyelesaikan lebih cepat. Cara mereka bekerja seakan sudah menjadi aksioma : kalau bisa diperlambat, mengapaharus dipercepat? Gampang ditebak, di situ tersembunyi motif transaksional.
Betul, saya setuju, tak semua PNS kita seperti itu. Ada juga di antara mereka yang benar kerjanya. Namun, tak bisa disangkal, sebagian besar mereka masih berperilaku seperti tadi. Maka, akibatnya PNS kita tidak menjadi aset, tapi liabilities . Mereka adalah bagian dari masalah, bukan solusi.
Padahal jumlah PNS kita masih akan ditambah terus. Menurut data Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara/Reformasi Birokrasi, jumlah PNS kita pada awal tahun 2013 mencapai 4,5 juta. Jadi, sebenarnya jumlah ini masih sedikit bila harus melayani seluruh penduduk Indonesia yang jumlahnya 240-an juta. Jadi, satu PNS melayani lebih dari 50 orang. Anda bisa bayangkan ruwetnya kondisi kita. Sudah jumlah sedikit, kualitasnya pun pas-pasan kalau tidak mau dibilang under qualified.
Ditambah lagi role model-nya jarang ada. Maka, tak aneh kalau banyak urusan yang kalau sudah masuk ke dalam mesin birokrasi akhirnya malah macet. Atau, kalaupun jalan, lambat sekali. Kalau mau cepat, tahu sendirilah caranya. Itu sebabnya saya menyebut lawan utama economics of speed adalah birokrasi.
Reformasi
Kita tentu tak bisa membiarkan urusan ini jadi berlarutlarut. Harus ada yang berani melakukan breakthrough. Atau, kita rela membiarkan negara kita kian jauh tertinggal dari negara-negara lain. Investor tak mau datang. Wisatawan enggan berkunjung. Produk-produk kita tidak kompetitif lagi di pasar ekspor.
Bahkan mungkin di pasar dalam negeri pun produkproduk kita kalah bersaing dengan produk-produk impor. Cobalah Anda pergi ke pusat-pusat perbelanjaan. Di sana Anda akan menemukan jeruk mandarin dijual dengan harga Rp17.000/kg, sementara jeruk medan Rp19.000/kg. Akibatnya jeruk medan kita tak kunjung laku. Bagi saya, jelas kita akan tertinggal jika tidak mengadopsi prinsip-prinsip dari economics of speed.
Ada banyak hal yang mesti dilakukan dan kuncinya ada pada peremajaan struktur, pengguntingan terhadap simpul-simpul yang kusut, lalu menyambungnya kembali sebagai rajutan baru yang lebih simpel. Karena kusut, kita jadi tak bergerak ke mana-mana. Untuk maju bukan merancang kerja parsial, tetapi harus terintegrasi. Istilah manajemennya harus aligned (vertikal-horizontal) dan harus ada engagement. A rtinya harus dimanaj, disinergikan, dipimpin, dan dimonitor. Bukan didiamkan.
Menyangkut masalah birokrasi, reformasi adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Memang di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, upaya ini sudah dilakukan. Misalnya dengan memberi tugas tambahan dari Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara untuk melakukan reformasi birokrasi.
Meski begitu saya lihat masih banyak pekerjaan yang masih harus diselesaikan. Saya menilai pekerjaan mereformasi birokrasi adalah pekerjaan raksasa yang tak mungkin ditangani satu kementerian. Bukan apa-apa, organisasi birokrasi kita sudah lama macet.
Ibarat mesin, ia sudah berkarat. Maka, upaya mereformasi birokrasi membutuhkan upaya yang lebih keras. Ibaratnya membutuhkan tuas yang lebih kuat untuk mengungkit batu besar yang sudah terlalu lama tidak bergerak. Kalau tuasnya terlalu kecil, pekerjaannya bisa terlalu lama atau kalau dipaksakan bukan tidak mungkin malah tuasnya yang patah.
Tak pelak lagi, pekerjaan mereformasi birokrasi ini harus dipimpin langsung oleh presiden atau setidak-tidaknya wakil presiden. Inilah kelak pekerjaan besar yang sudah menunggu presiden atau wakil presiden terpilih.
RHENALD KASALI
Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
Tak banyak orang tahu, kepiting-kepiting yang pagi hari ditangkap para nelayan di sepanjang pantai di Indonesia, esok paginya sudah harus sampai di Kota Pudong, Shanghai, China. Siang atau malam harinya, kepiting-kepiting itu sudah menjadi sup yang lezat di berbagai rumah makan seperti Minghao Seafood, Han Tong, Fook Lam Moon atau Zhen De Hao Seafood Restaurant.
Di China, kepiting adalah menu favorit pengganti sirip ikan hiu. Pemicunya? Kecaman dari kalangan penyayang binatang yang menolak penangkapan ikan hiu secara besar-besaran hanya untuk diambil siripnya saja. Maka, sebagai gantinya, restoran-restoran di sana mulai memperkenalkan sup kepiting. Rasanya ternyata enak juga. Sejak itu ekspor kepiting kita ke China naik terus. Belakangan ini permintaannya tumbuh sampai 94%. Sayang tak semua permintaan itu bisa kita penuhi.
Penyebabnya, kepiting-kepiting yang kita ekspor kebanyakan hasil tangkapan, bukan hasil budi daya. Jadi sangat tergantung musim. Kalau musim baik, hasil tangkapan meningkat, ekspor pun naik, dan sebaliknya. Dalam kondisi begitu pun nilai ekspor kepiting kita bisa mencapai triliunan rupiah per tahun. Misalnya, pada semester I 2013, nilainya mencapai USD198 juta atau kira-kira Rp2,25 triliun. Dengan angka itu, kita layak disebut eksportir kepiting terbesar di dunia.
Apa faktor pendukung yang membuat ekspor kepiting kita terus meningkat? Salah satunya angkutan kargo udara. Berkat angkutan ini, kita bisa mengirim kepiting lebih cepat ke China. Kepiting, sebagaimana barang-barang perishable lainnya yang cepat rusak, harus cepat sampai ke negara tujuan. Kita pun punya banyak produk perishable lain. Ada udang, ikan tuna, dan ikan napoleon. Anggrek kita juga potensial untuk diekspor dan hanya angkutan udara yang bisa melayaninya. Begitulah economics of speed yang mungkin akan mengalahkan economics of scale.
Birokrasi
Sayangnya, kendati besar manfaatnya, membangunnya tidak mudah. Musuh utamanya sungguh serius: birokrasi alias benang kusut pemerintahan. Bagaimana bisa? Anda yang kerap berurusan dengan birokrasi tentu memahami betul karakter dan kultur kerja dari para pegawai negeri sipil (PNS) kita. Selain pasif, mereka amat reaktif, bukan antisipatif. Mereka lebih suka dilayani ketimbang melayani.
Menunggu perintah, bukan proaktif. Suka menunda-nunda pekerjaan, bukannya menyelesaikan lebih cepat. Cara mereka bekerja seakan sudah menjadi aksioma : kalau bisa diperlambat, mengapaharus dipercepat? Gampang ditebak, di situ tersembunyi motif transaksional.
Betul, saya setuju, tak semua PNS kita seperti itu. Ada juga di antara mereka yang benar kerjanya. Namun, tak bisa disangkal, sebagian besar mereka masih berperilaku seperti tadi. Maka, akibatnya PNS kita tidak menjadi aset, tapi liabilities . Mereka adalah bagian dari masalah, bukan solusi.
Padahal jumlah PNS kita masih akan ditambah terus. Menurut data Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara/Reformasi Birokrasi, jumlah PNS kita pada awal tahun 2013 mencapai 4,5 juta. Jadi, sebenarnya jumlah ini masih sedikit bila harus melayani seluruh penduduk Indonesia yang jumlahnya 240-an juta. Jadi, satu PNS melayani lebih dari 50 orang. Anda bisa bayangkan ruwetnya kondisi kita. Sudah jumlah sedikit, kualitasnya pun pas-pasan kalau tidak mau dibilang under qualified.
Ditambah lagi role model-nya jarang ada. Maka, tak aneh kalau banyak urusan yang kalau sudah masuk ke dalam mesin birokrasi akhirnya malah macet. Atau, kalaupun jalan, lambat sekali. Kalau mau cepat, tahu sendirilah caranya. Itu sebabnya saya menyebut lawan utama economics of speed adalah birokrasi.
Reformasi
Kita tentu tak bisa membiarkan urusan ini jadi berlarutlarut. Harus ada yang berani melakukan breakthrough. Atau, kita rela membiarkan negara kita kian jauh tertinggal dari negara-negara lain. Investor tak mau datang. Wisatawan enggan berkunjung. Produk-produk kita tidak kompetitif lagi di pasar ekspor.
Bahkan mungkin di pasar dalam negeri pun produkproduk kita kalah bersaing dengan produk-produk impor. Cobalah Anda pergi ke pusat-pusat perbelanjaan. Di sana Anda akan menemukan jeruk mandarin dijual dengan harga Rp17.000/kg, sementara jeruk medan Rp19.000/kg. Akibatnya jeruk medan kita tak kunjung laku. Bagi saya, jelas kita akan tertinggal jika tidak mengadopsi prinsip-prinsip dari economics of speed.
Ada banyak hal yang mesti dilakukan dan kuncinya ada pada peremajaan struktur, pengguntingan terhadap simpul-simpul yang kusut, lalu menyambungnya kembali sebagai rajutan baru yang lebih simpel. Karena kusut, kita jadi tak bergerak ke mana-mana. Untuk maju bukan merancang kerja parsial, tetapi harus terintegrasi. Istilah manajemennya harus aligned (vertikal-horizontal) dan harus ada engagement. A rtinya harus dimanaj, disinergikan, dipimpin, dan dimonitor. Bukan didiamkan.
Menyangkut masalah birokrasi, reformasi adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Memang di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, upaya ini sudah dilakukan. Misalnya dengan memberi tugas tambahan dari Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara untuk melakukan reformasi birokrasi.
Meski begitu saya lihat masih banyak pekerjaan yang masih harus diselesaikan. Saya menilai pekerjaan mereformasi birokrasi adalah pekerjaan raksasa yang tak mungkin ditangani satu kementerian. Bukan apa-apa, organisasi birokrasi kita sudah lama macet.
Ibarat mesin, ia sudah berkarat. Maka, upaya mereformasi birokrasi membutuhkan upaya yang lebih keras. Ibaratnya membutuhkan tuas yang lebih kuat untuk mengungkit batu besar yang sudah terlalu lama tidak bergerak. Kalau tuasnya terlalu kecil, pekerjaannya bisa terlalu lama atau kalau dipaksakan bukan tidak mungkin malah tuasnya yang patah.
Tak pelak lagi, pekerjaan mereformasi birokrasi ini harus dipimpin langsung oleh presiden atau setidak-tidaknya wakil presiden. Inilah kelak pekerjaan besar yang sudah menunggu presiden atau wakil presiden terpilih.
RHENALD KASALI
Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
(nfl)