Memutihkan korupsi
A
A
A
ADA fakta yang menggidikkan yang tampaknya membuat kita hampir frustrasi, yakni korupsi bukan hanya tidak bisa diberantas, melainkan semakin menggila dan meluas. Kalau dulu korupsi terjadi pada tingkat implementasi APBN dalam bentuk proyek-proyek, sekarang korupsi terjadi sejak penyusunan rancangan APBN.
Oknum pemerintah dan anggota DPR bekerja sama melakukan korupsi saat pembahasan Rancangan UU-APBN. Sudah banyak yang dijatuhi hukuman dan sedang diproses dalam kasus ini. Kalau dulu pada umumnya korupsi dengan miliaran atau ratusan juta rupiah sudah sangat menghebohkan, sekarang ini korupsi yang menghebohkan hanya korupsi yang mencapai ratusan miliar dan triliunan. Korupsi miliaran atau ratusan juta sudah dianggap berita biasa dan kita bersikap permisif atasnya.
Kalau dulu korupsi dilakukan secara kolutif oleh pengusaha hitam dan pejabat-pejabat pemerintahan (eksekutif), sekarang ini korupsi sudah dilakukan secara hampir merata oleh para pejabat di lingkungan legislatif, yudikatif, tingkat pusat, dan daerah. Semakin banyak kita meributkan korupsi, semakin banyak pula korupsi terjadi. Hampir tak ada lini kecil pun di negeri ini yang bebas korupsi. Eksekutif degan segala birokrasinya busuk, legislatif sangat kotor, yudikatif belepotan mafia. Kita sudah membuat berbagai UU yang mengatur secara lebih keras upaya memerangi korupsi tetapi korupsi terus mengganas.
Secara kelembagaan, kita sudah membentuk lembaga-lembaga baru seperti Komisi Yudisial, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Pemberantasan Korupsi, tetapi korupsi semakin menggurita dan semakin kencang membelit leher-leher kita. Salah satu masalah utama yang kita hadapi dalam upaya pemberantasan korupsi ini adalah penyanderaan oleh kasus-kasus masa lalu, yakni kasus korupsi peninggalan Orde Baru yang masih membelit kita. Tepatnya, kita tersandera oleh kasus-kasus dan orang-orang masa lalu sehingga kita tidak bisa bergerak maju.
Kita terjebak ke dalam benang kusut korupsi yang tak jelas ujung dan pangkalnya. Ketika melakukan reformasi pada tahun 1998, kita bertekad memerangi korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), tetapi kita tidak berani memutus hubungan dengan ”kasus dan orang-orang” korupsi pada masa lalu. Orang-orang yang diberi tugas memerangi korupsi adalah juga orang-orang yang pernah terjerat korupsi pada zaman Orde Baru. Akibatnya, korupsi tak terselesaikan karena ketika pejabat-pejabat itu akan menyelesaikan korupsi mereka pun terancam oleh korupsi-korupsinya sendiri. Celakanya, banyak sekali pejabat yang kemudian tetap menjadi pejabat dengan cara koruptif dan kolutif pula.
Banyak orang menjadi pejabat karena menyuap sehingga sesudah menjadi pejabat bukan memerangi korupsi, melainkan membuat korupsi-korupsi baru. Terasa sekali, kita tersandera oleh korupsi-korupsi dan koruptor masa lalu maupun korupsi dan koruptor-koruptor baru yang masih bercokol di berbagi institusi kenegaraan atau pemerintahan kita. Saat kita akan membongkar kasus korupsi kerap muncul hambatan, misalnya, yang terancam terkena tindakan mengungkit-ungkit kasus lama supaya dibongkar lebih dulu. Bisa juga pejabat yang harus menegakkan hukum atas kasus korupsi justru menghambat karena dirinya sendiri adalah bagian dari korupsi itu.
Jadi, kita seperti tersandera dan terjebak dalam situasi maju tak bisa, mundur tak mungkin. Kalau begitu apa yang harus kita lakukan? Jawabannya, putuskan hubungan dengan korupsi masa lalu. Kita harus mengakhiri penaganan kasus-kasus lama itu secepatnya agar bisa memulai dengan langkah-langkah baru. Kalau begini-begini terus, bergerak tanpa kemajuan, berarti kita sedang membiarkan negara ini menuju kehancurannya karena digerogoti oleh korupsi-korupsi yang terus berkembang biak secara ganas. Belajar dari pengalaman negara- negara lain, seperti sering saya kemukakan di berbagai forum, ada dua pilihan kebijakan untuk memutus hubungan dengan masa lalu agar kita bisa memulai langkah-langkah baru.
Pertama, larangan menduduki jabatan publik melalui lustration policy (kebijakan lustrasi) bagi kelompok orang tertentu; Kedua, pemutihan kesalahan masa lalu (national pardon), tetapi diancam dengan hukuman sangat berat jika melakukan korupsi setelah pemutihan. Melalui kebijakan lustrasi, kita bisa membuat undang-undang yang melarang orang-orang tertentu yang terlibat dalam politik dan pemerintahan masa lalu untuk menduduki jabatan publik. Misalnya ada yang dilarang menduduki jabatan politik dan pemerintahan untuk selamanya atau untuk waktu tertentu, bergantung pada tingkat kesalahan dan posisinya di masa lalu.
Sangat mungkin kebijakan lustrasi sulit dilakukan karena UU-nya memerlukan persetujuan dari orang-orang yang akan terkena lustrasi itu. Oleh sebab itu, ada pilihan kedua yakni pemutihan. Dengan pemutihan dimaksudkan bahwa korupsi-korupsi masa lalu dinyatakan ditutup tanpa pengadilan karena diampuni atau diputihkan. Sang koruptor diberi pengampunan dengan keleluasaan, boleh mengembalikan atau tidak mengembalikan harta-harta hasil korupsinya.
Setelah itu, terhitung hari diundangkannya pemutihan itu, jika yang bersangkutan melakukan korupsi bisa dijatuhi hukuman terberat, termasuk hukuman mati seperti di China. Pemutihan seperti ini bisa juga diterapkan pada kasuskasus pelanggaran HAM di masa lalu, seperti yang dilakukan oleh Nelson Mandela di Afrika Selatan melalui pembentukan Komisi Kebenaran dan rekonsiliasi. Kita harus bergerak maju untuk membangun Indonesia baru. Tak bisa kita selalu dalam posisi terkunci di jalan buntu seperti sekarang ini.
MOH MAHFUD MD
Guru Besar Hukum Konstitusi
Oknum pemerintah dan anggota DPR bekerja sama melakukan korupsi saat pembahasan Rancangan UU-APBN. Sudah banyak yang dijatuhi hukuman dan sedang diproses dalam kasus ini. Kalau dulu pada umumnya korupsi dengan miliaran atau ratusan juta rupiah sudah sangat menghebohkan, sekarang ini korupsi yang menghebohkan hanya korupsi yang mencapai ratusan miliar dan triliunan. Korupsi miliaran atau ratusan juta sudah dianggap berita biasa dan kita bersikap permisif atasnya.
Kalau dulu korupsi dilakukan secara kolutif oleh pengusaha hitam dan pejabat-pejabat pemerintahan (eksekutif), sekarang ini korupsi sudah dilakukan secara hampir merata oleh para pejabat di lingkungan legislatif, yudikatif, tingkat pusat, dan daerah. Semakin banyak kita meributkan korupsi, semakin banyak pula korupsi terjadi. Hampir tak ada lini kecil pun di negeri ini yang bebas korupsi. Eksekutif degan segala birokrasinya busuk, legislatif sangat kotor, yudikatif belepotan mafia. Kita sudah membuat berbagai UU yang mengatur secara lebih keras upaya memerangi korupsi tetapi korupsi terus mengganas.
Secara kelembagaan, kita sudah membentuk lembaga-lembaga baru seperti Komisi Yudisial, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Pemberantasan Korupsi, tetapi korupsi semakin menggurita dan semakin kencang membelit leher-leher kita. Salah satu masalah utama yang kita hadapi dalam upaya pemberantasan korupsi ini adalah penyanderaan oleh kasus-kasus masa lalu, yakni kasus korupsi peninggalan Orde Baru yang masih membelit kita. Tepatnya, kita tersandera oleh kasus-kasus dan orang-orang masa lalu sehingga kita tidak bisa bergerak maju.
Kita terjebak ke dalam benang kusut korupsi yang tak jelas ujung dan pangkalnya. Ketika melakukan reformasi pada tahun 1998, kita bertekad memerangi korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), tetapi kita tidak berani memutus hubungan dengan ”kasus dan orang-orang” korupsi pada masa lalu. Orang-orang yang diberi tugas memerangi korupsi adalah juga orang-orang yang pernah terjerat korupsi pada zaman Orde Baru. Akibatnya, korupsi tak terselesaikan karena ketika pejabat-pejabat itu akan menyelesaikan korupsi mereka pun terancam oleh korupsi-korupsinya sendiri. Celakanya, banyak sekali pejabat yang kemudian tetap menjadi pejabat dengan cara koruptif dan kolutif pula.
Banyak orang menjadi pejabat karena menyuap sehingga sesudah menjadi pejabat bukan memerangi korupsi, melainkan membuat korupsi-korupsi baru. Terasa sekali, kita tersandera oleh korupsi-korupsi dan koruptor masa lalu maupun korupsi dan koruptor-koruptor baru yang masih bercokol di berbagi institusi kenegaraan atau pemerintahan kita. Saat kita akan membongkar kasus korupsi kerap muncul hambatan, misalnya, yang terancam terkena tindakan mengungkit-ungkit kasus lama supaya dibongkar lebih dulu. Bisa juga pejabat yang harus menegakkan hukum atas kasus korupsi justru menghambat karena dirinya sendiri adalah bagian dari korupsi itu.
Jadi, kita seperti tersandera dan terjebak dalam situasi maju tak bisa, mundur tak mungkin. Kalau begitu apa yang harus kita lakukan? Jawabannya, putuskan hubungan dengan korupsi masa lalu. Kita harus mengakhiri penaganan kasus-kasus lama itu secepatnya agar bisa memulai dengan langkah-langkah baru. Kalau begini-begini terus, bergerak tanpa kemajuan, berarti kita sedang membiarkan negara ini menuju kehancurannya karena digerogoti oleh korupsi-korupsi yang terus berkembang biak secara ganas. Belajar dari pengalaman negara- negara lain, seperti sering saya kemukakan di berbagai forum, ada dua pilihan kebijakan untuk memutus hubungan dengan masa lalu agar kita bisa memulai langkah-langkah baru.
Pertama, larangan menduduki jabatan publik melalui lustration policy (kebijakan lustrasi) bagi kelompok orang tertentu; Kedua, pemutihan kesalahan masa lalu (national pardon), tetapi diancam dengan hukuman sangat berat jika melakukan korupsi setelah pemutihan. Melalui kebijakan lustrasi, kita bisa membuat undang-undang yang melarang orang-orang tertentu yang terlibat dalam politik dan pemerintahan masa lalu untuk menduduki jabatan publik. Misalnya ada yang dilarang menduduki jabatan politik dan pemerintahan untuk selamanya atau untuk waktu tertentu, bergantung pada tingkat kesalahan dan posisinya di masa lalu.
Sangat mungkin kebijakan lustrasi sulit dilakukan karena UU-nya memerlukan persetujuan dari orang-orang yang akan terkena lustrasi itu. Oleh sebab itu, ada pilihan kedua yakni pemutihan. Dengan pemutihan dimaksudkan bahwa korupsi-korupsi masa lalu dinyatakan ditutup tanpa pengadilan karena diampuni atau diputihkan. Sang koruptor diberi pengampunan dengan keleluasaan, boleh mengembalikan atau tidak mengembalikan harta-harta hasil korupsinya.
Setelah itu, terhitung hari diundangkannya pemutihan itu, jika yang bersangkutan melakukan korupsi bisa dijatuhi hukuman terberat, termasuk hukuman mati seperti di China. Pemutihan seperti ini bisa juga diterapkan pada kasuskasus pelanggaran HAM di masa lalu, seperti yang dilakukan oleh Nelson Mandela di Afrika Selatan melalui pembentukan Komisi Kebenaran dan rekonsiliasi. Kita harus bergerak maju untuk membangun Indonesia baru. Tak bisa kita selalu dalam posisi terkunci di jalan buntu seperti sekarang ini.
MOH MAHFUD MD
Guru Besar Hukum Konstitusi
(hyk)