Kabinet bayangan

Rabu, 07 Mei 2014 - 07:24 WIB
Kabinet bayangan
Kabinet bayangan
A A A
SAAT ini perbincangan mengenai koalisi partai terkait terutama dengan pelaksanaan pemilihan presiden (pilpres) semakin hangat. Tawar menawar politik makin intens dilakukan oleh partai-partai.

Sehubungan dengan itu, idealnya, pengumuman kesepakatan berkoalisi tidak saja terhenti pada soal partai mana saja yang akan bergabung dalam koalisi dan figur kandidat presiden dan wakil presiden yang akan, namun juga menyentuh, setidaknya, kisi-kisi bakal calon menteri yang akan mengisi kabinet.

Sebagai parameter
Dalam sistem presidensialisme, seorang presiden sebagai kepala pemerintahan memiliki kekuasaan penuh untuk menentukan komposisi kabinet yang akan dipimpinnya. Ketepatan seorang presiden dalam memilih figur-figur yang meyakinkan dalam membangun kabinet menjadi salah satu kunci yang akan turut membawa keberhasilan seorang presiden.

Beberapa presiden AS yang berhasil, misalnya, dikenal sebagai orang-orang yang mampu membangun sebuah kabinet yang berkualitas. Di antara mereka memang terbantu oleh karisma dan kecerdasannya. Namun dalam melaksanakan pemerintahan, tak pelak presiden-presiden AS terbaik memang dibantu oleh sebuah kabinet yang cemerlang.

Kemampuan meramu orang-orang terbaik kerap menjadi salah satu kisah menarik yang diangkat dalam sejarah politik di AS. Salah satunya adalah karya Doris K. Goodwin yang berjudul The Team of Rivals: The Political Genius of Abraham Lincoln (2005), yang menceritakan kecerdikan Lincoln dalam meramu orang-orang yang saling bertentangan, dan bahkan menentang dirinya, untuk dapat bahu-membahu dan bekerja sama menghasilkan sederetan prestasi pemerintah yang luar biasa.

Pilihan atas figur-figur yang akan menjabat dalam posisi kabinet sesungguhnya merupakan situasi objektif yang dapat dinilai oleh khalayak dalam menilai kualitas pemerintahan pada umumnya, khususnya kualitas kepemimpinan seorang presiden.

Bagaimana racikan kabinet seorang kandidat presiden dapat menjadi salah satu bahan pertimbangan bagi khalayak dalam memilih. Dalam kaitan dengan kampanye pilpres, dengan demikian, adalah hal yang penting jika sebuah susunan kabinet seorang kandidat atau umum dikenal di Indonesia sebagai ”kabinet bayangan” dapat sejak dini ditampilkan.

Arti penting kabinet bayangan
Istilah kabinet bayangan atau shadow cabinet—yakni ”susunan kabinet” yang dibentuk oleh kalangan oposisi di parlemen—secara luas lebih dikenal dalam sistem parlementer. Istilah itu dalam konteks sistem presidensial jelas tidak terlaludikenalistilah tersebut.

Untuk itu, istilah kabinet bayangan dalam tulisan ini lebih mengacu pada kisi-kisi kabinet yang akan dibentuk oleh seorang calon presiden manakala terpilih. Kisi-kisi ini tentu saja dapat berupa sebuah jajaran kabinet yang utuh dan lengkap atau sekadar penyampaian pada posisi-posisi menteri strategis.

Meski bukan merupakan sebuah kewajiban, ada beberapa hal yang menyebabkan kabinet bayangan menjadi penting, di mana dapat memberikan beberapa hal positif baik bagi masyarakat maupun bagi kandidat presiden itu sendiri.

Dalam konteks kebaikan bagi rakyat, hal ini terkait dengan persoalan transparansi publik, yang diharapkan dapat membantu rakyat untuk membuat perhitungan dan penilaian tentang kualitas dan masa depan pemerintahan masing-masing kandidat. Dari situ keputusan yang diambil oleh masyarakat banyak akan lebih objektif, karena tidak melulu didasari pada pencitraan individual kandidat presiden semata.

Rakyat tidak lagi membeli kucing dalam karung, karena mereka telah sejak dini mendapat bayangan atau perkiraan, meski bersifat kasar, tentang probabilitas kualitas pemerintahan masing-masing kandidat presiden.

Dalam jangka panjang, penyampaian kabinet bayangan akan menjadi pendidikan politik bagi masyarakat untuk lebih jeli dan kritis lagi dalam menjatuhkan pilihannya pada seorang kandidat presiden. Dan di ujung itu semua, masyarakat diharapkan akan lebih sadar untuk dapat memahami adanya korelasi antara pilihan figur kabinet dengan kondisi kehidupan bangsa di kemudian hari.

Sementara bagi kandidat presiden, penyampaian sejak dini kabinet yang akan dibentuknya merupakan pembuktian awal atas sebuah cita-cita ideal atau alternatif pemerintahan yang ingin dibangunnya.

Pilihan figur-figur yang akan membantu dirinya menjadi penanda kesungguhan akan pelaksanaan idealisme dan pembentukan model pemerintahan ideal yang dijanjikannya. Masyarakat tentu akan bertanya-tanya jika ada figurfigur yang tidak sejalan dengan cita-cita atau visi yang selama ini disampaikan oleh seorang kandidat presiden masuk dalam jajaran kabinetnya.

Di sinilah sebenarnya ujian dari konsistensi seorang capres itu langsung diperlihatkan dan diuji kepada masyarakat secara langsung. Di sisi lain, penyampaian kabinet juga akan memperlihatkan seberapa besar komitmen partai-partai peserta koalisi untuk memberikan yang terbaik bagi masyarakat.

Partai-partai tentu akan sedapat mungkin menyesuaikan figurfigur yang diajukan dengan karakteristik, visi dan misi yang ingin diemban oleh seorang presiden. Tidak hanya karena mereka adalah pucuk pimpinan partai semata.

Pertimbangan lain
Bagi sebagian kalangan, penyampaian jajaran kabinet lengkap atau setidaknya pada posisi-posisi strategis yang telah terbentuk sejak masa kampanye sesungguhnya berpotensi menutupi peluang masuknya kekuatan politik tambahan, yang sebetulnya dapat meluaskan dukungan seorang kandidat presiden.

Dengan kata lain, jumlah dukungan partai-partai yang mungkin saja berkoalisi pasca pilpres, dengan imbalan posisi menteri, sebagaimana yang selama ini cenderung terjadi, akan berkurang bahkan nihil. Situasi ini pada gilirannya berpotensi merugikan bagi kandidat itu sendiri, karena akan menyurutkan dukungan bagi presiden di parlemen dan menciptakan ”presiden minoritas”.

Namun demikian, situasi sedemikian sesungguhnya tidak perlu terlalu dirisaukan, mengingat pengalaman beberapa negara yang dicatat oleh Jose A. Cheibub dalam bukunya Presidentialism, Parliamentarism and Democracy (2007) menunjukkan kebanyakan ”presiden minoritas” tetap dapat melanjutkan pemerintahannya dengan relatif baik hingga masa jabatannya berakhir.

Di samping itu, sudah saatnya seorang presiden bahkan sejak masa kandidasinya didorong untuk memiliki karakter, dengan memaparkan kabinet yang akan dibentuknya. Hal ini tidak saja untuk juga mengurangi politik transaksional- negatif pascapilpres, namun agar masyarakat tidak lagi menilai dalam gelap atas pemerintahan yang akan memimpinnya kelak.

FIRMAN NOOR
Peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI, Staf Pengajar Departemen Ilmu Politik
Universitas Indonesia (UI)
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6429 seconds (0.1#10.140)