Pesawat untuk Presiden
A
A
A
USAI Pemilu Legislatif (Pileg) pada 9 April 2014 lalu, masyarakat kita punya bahan gunjingan baru: Pesawat kepresidenan. Untung, pesawat itu datang pasca pileg.
Jika sebelumnya, bukan tak mungkin pesawat itu dijadikan bahan kampanye partai-partai politik. Semasa kampanye, apa pun sah dijadikan bahan untuk menyerang pihak lain. Pesawat kepresidenan jenis Boeing Business Jet 2 (BBJ2) seri 737-800 dibeli dengan harga Rp820 miliar dan dilengkapi berbagai fasilitas standar untuk kepala negara. Misalnya, ruang-ruang rapat VVIP, tempat tidur, dan kamar mandi. Pesawat mampu menampung 67 penumpang.
Ukuran ini bagus untuk membatasi rombongan kepala negara. Maklum, ke mana pun presiden pergi, yang mau ikut banyak sekali. Sudah ada menteri, wartawan, dan paspampres, ada pula anggota parlemen, baik yang pendukung maupun yang gemar mengkritik. Kadang ada pula kerabat pejabat, pengusaha, danaktivisyangikutdiajak. Totalnya bisa dua ratusan orang sekali jalan. Kini pesawat itu disimpan di Bandara Halim Perdanakusuma.
Pilot untuk mengemudikan pesawat ini berasal dari TNI Angkatan Udara (TNI AU). Lalu, untuk perawatannya juga dikelola TNI AU dan PT Garuda Indonesia Tbk. Kembali ke soal gunjingan tadi, kita bisa tersenyum-senyum sendiri atau malah lelah mendengarnya. Nadanya terbagi dalam dua kelompok: yang pro dan kontra. Mereka yang pro berpendapat, Indonesia adalah negara besar. Saat ini kita menempati peringkat ke-17 negara terbesar di dunia dan pada 2030 diproyeksikan naik posisi keenam.
Sebagai negara besar, wajar jika kita memiliki pesawat kepresidenan. Selain itu, dengan memiliki pesawat sendiri, Istana juga akan menghemat anggaran Rp114 miliar per tahun. Selama ini jika melakukan kunjungan entah ke dalam atau ke luar negeri, presiden dan rombongannya menyewa pesawat dari Garuda Indonesia.
Biaya sewanya, itu tadi, Rp114 miliar per tahun. Dengan memiliki pesawat sendiri, Istana tak perlu lagi mengalokasikan biaya sewa. Entahlah kalau ternyata rombongan lain harus ikut dengan menyewa pesawat ekstra lagi.
Dengan harga pesawat Rp820 miliar, jika penghematan Istana yang Rp114 miliar dialokasikan untuk mencicil biaya pembelian pesawat kepresidenan, berarti hanya dalam tempo tujuh tahun dua bulan cicilan tersebut sudah lunas. Garuda Indonesia juga tak perlu repot mengalokasikan pesawat untuk rombongan presidenatauwakilpresiden. Semua pesawatnya bisa dialokasikan untuk kepentingan komersial.
Beberapa kritik
Itulah antara lain argumentasi dari kelompok yang pro. Bagaimana dengan yang kontra? Mereka menganggap Indonesia belum layak memiliki pesawat kepresidenan sendiri. Masih banyak rakyat miskin. Saking miskinnya, Bank Dunia menghitung masih ada 40 juta rakyat Indonesia yang belum memiliki jamban dengan sanitasi yang layak.
Bagaimana mungkin di tengah kemiskinan yang masih mendera, presiden atau wakilnya bepergian dengan pesawat sendiri, yang mewah lagi. Alasan yang lain, frekuensi perjalanan presiden dan wakil presiden ke luar negeri belum terlalu tinggi.
Untuk apa memiliki pesawat sendiri? Kalau frekuensinya sudah seperti Presiden Amerika Serikat, yang per tahun bisa menghabiskan ratusan hari perjalanan dinas, baru kita layak memiliki pesawat kepresidenan.
Jangan-jangan dengan pesawat ini, kelak kepala negara kita malah rajin bepergian ke luar negeri? Ini bisa merepotkan, kita ingat, dulu mantan Presiden Abdurrahman Wahid pernah dikritik habis-habisan karena terlalu sering bepergian ke luar negeri. Padahal, kepada saya mendiang Gus Dur pernah mengatakan, itu dilakukan demi menjaga keutuhan RI yang nyaris diacak-acak dunia internasional.
Kritik lainnya, pesawat itu hanya bisa menjangkau sejumlah kota di Indonesia sebab tidak banyak bandara kita yang landasannya siap didarati pesawat jenis Boeing 737-800. Kritik yang agak keterlaluan, menurut saya, adalah mengaitngaitkannya dengan pengalaman Madagaskar atau warnanya yang agak biru.
Presiden Madagaskar Marc Ravalomanana pada 2009 disebut-sebut terjungkal dari jabatannya karena memaksa membeli pesawat jenis yang sama, padahal saat itu kondisi keuangan negaranya sedang tidak memungkinkan. Tapi, harap maklum, kondisi Indonesia jelas berbeda dengan Madagaskar.
Demikian juga soal warna yang dikait-kaitkan mirip lambang partai presiden. Untunglah para capres menepisnya sehingga isu warna berhenti. Apakah setiap ganti kepala negara warna dasar harus diganti? Kita sudah pusing melihat rumahrumah adat kantor bupati dan gubernur diganti-ganti warnanya ketika partai penguasa berganti, bukan?
Helikopter kepresidenan
Saya sebetulnya tidak keberatan kita memiliki pesawat kepresidenan. Namun, yang saya tunggu-tunggu bukan jenis BBJ2, melainkan helikopter. Alasannya begini. Pertama, selama ini kalau ada acara di Ibu Kota dan sekitarnya, presiden atau wakil presiden dan rombongannya selalu melalui jalan darat. Sebelum rombongan lewat, banyak ruas jalan yang terpaksa ditutup sehingga menyebabkan kemacetan yang luar biasa di sana-sini.
Kalau memakai helikopter, ini tentu tidak terjadi. Kalau negara kita memiliki helikopter kepresidenan, saya kira itu bukan kemewahan, melainkan untuk memperlancar mobilitasnya. Kita tahu, banyak eksekutif profesional dan pemilik perusahaan di negara ini yang memiliki helikopter sendiri untuk menyiasati kemacetan. Kedua, helikopternya sebaiknya dibeli dari PT Dirgantara Indonesia (DI).
Jangan impor. BUMN strategis ini sudah mampu membuat helikopter sendiri. Bahkan untuk helikopter canggih jenis EC 725 Cougar dari Amerika Serikat, desain bodi dan pembuatannya dikerjakan PT DI. Helikopter lain buatan PT DI, jenis Dauphin, juga dipakai Badan SAR Nasional untuk menangani berbagai kondisi darurat dan bencana di Tanah Air. Dengan membeli helikopter buatan PT DI, selain mengangkat reputasi PT DI, juga menghemat pengeluaran devisa.
Ketiga, selama berada di udara, presiden atau wakil presiden kita bisa melihat wajah sebagian wilayah Indonesia dengan lebih lengkap, tak tertutup awan. Mereka jadi tahu apa benar Indonesia sudah bebas dari kampung-kampung kumuh yang kalau di atas kertas harusnya sudah? Demikian juga akan tampak mana kawasan perkotaan yang sudah tertata rapi serta mana sungai yang bersih dan yang penuh sampah.
Atau, kalau terbang di wilayah udara Kalimantan, bisa melihat mana hutan yang masih hijau dan mana yang sudah gundul dan banyak lubang galian tambang. Ini semacam blusukan dari udara. Kalau melalui jalan darat, lokasi-lokasi tadi kurang terlihat.
Bahkan ada sebagian pemerintah daerah yang malah menutupi kumuhnya daerah mereka dengan pagar seng. Kita tunggu kapan presiden atau wakil presiden terpilih memesan helikopter. Sebaiknya kita tidak lagi menjadikannya sebagai bahan gunjingan.
RHENALD KASALI
Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
Jika sebelumnya, bukan tak mungkin pesawat itu dijadikan bahan kampanye partai-partai politik. Semasa kampanye, apa pun sah dijadikan bahan untuk menyerang pihak lain. Pesawat kepresidenan jenis Boeing Business Jet 2 (BBJ2) seri 737-800 dibeli dengan harga Rp820 miliar dan dilengkapi berbagai fasilitas standar untuk kepala negara. Misalnya, ruang-ruang rapat VVIP, tempat tidur, dan kamar mandi. Pesawat mampu menampung 67 penumpang.
Ukuran ini bagus untuk membatasi rombongan kepala negara. Maklum, ke mana pun presiden pergi, yang mau ikut banyak sekali. Sudah ada menteri, wartawan, dan paspampres, ada pula anggota parlemen, baik yang pendukung maupun yang gemar mengkritik. Kadang ada pula kerabat pejabat, pengusaha, danaktivisyangikutdiajak. Totalnya bisa dua ratusan orang sekali jalan. Kini pesawat itu disimpan di Bandara Halim Perdanakusuma.
Pilot untuk mengemudikan pesawat ini berasal dari TNI Angkatan Udara (TNI AU). Lalu, untuk perawatannya juga dikelola TNI AU dan PT Garuda Indonesia Tbk. Kembali ke soal gunjingan tadi, kita bisa tersenyum-senyum sendiri atau malah lelah mendengarnya. Nadanya terbagi dalam dua kelompok: yang pro dan kontra. Mereka yang pro berpendapat, Indonesia adalah negara besar. Saat ini kita menempati peringkat ke-17 negara terbesar di dunia dan pada 2030 diproyeksikan naik posisi keenam.
Sebagai negara besar, wajar jika kita memiliki pesawat kepresidenan. Selain itu, dengan memiliki pesawat sendiri, Istana juga akan menghemat anggaran Rp114 miliar per tahun. Selama ini jika melakukan kunjungan entah ke dalam atau ke luar negeri, presiden dan rombongannya menyewa pesawat dari Garuda Indonesia.
Biaya sewanya, itu tadi, Rp114 miliar per tahun. Dengan memiliki pesawat sendiri, Istana tak perlu lagi mengalokasikan biaya sewa. Entahlah kalau ternyata rombongan lain harus ikut dengan menyewa pesawat ekstra lagi.
Dengan harga pesawat Rp820 miliar, jika penghematan Istana yang Rp114 miliar dialokasikan untuk mencicil biaya pembelian pesawat kepresidenan, berarti hanya dalam tempo tujuh tahun dua bulan cicilan tersebut sudah lunas. Garuda Indonesia juga tak perlu repot mengalokasikan pesawat untuk rombongan presidenatauwakilpresiden. Semua pesawatnya bisa dialokasikan untuk kepentingan komersial.
Beberapa kritik
Itulah antara lain argumentasi dari kelompok yang pro. Bagaimana dengan yang kontra? Mereka menganggap Indonesia belum layak memiliki pesawat kepresidenan sendiri. Masih banyak rakyat miskin. Saking miskinnya, Bank Dunia menghitung masih ada 40 juta rakyat Indonesia yang belum memiliki jamban dengan sanitasi yang layak.
Bagaimana mungkin di tengah kemiskinan yang masih mendera, presiden atau wakilnya bepergian dengan pesawat sendiri, yang mewah lagi. Alasan yang lain, frekuensi perjalanan presiden dan wakil presiden ke luar negeri belum terlalu tinggi.
Untuk apa memiliki pesawat sendiri? Kalau frekuensinya sudah seperti Presiden Amerika Serikat, yang per tahun bisa menghabiskan ratusan hari perjalanan dinas, baru kita layak memiliki pesawat kepresidenan.
Jangan-jangan dengan pesawat ini, kelak kepala negara kita malah rajin bepergian ke luar negeri? Ini bisa merepotkan, kita ingat, dulu mantan Presiden Abdurrahman Wahid pernah dikritik habis-habisan karena terlalu sering bepergian ke luar negeri. Padahal, kepada saya mendiang Gus Dur pernah mengatakan, itu dilakukan demi menjaga keutuhan RI yang nyaris diacak-acak dunia internasional.
Kritik lainnya, pesawat itu hanya bisa menjangkau sejumlah kota di Indonesia sebab tidak banyak bandara kita yang landasannya siap didarati pesawat jenis Boeing 737-800. Kritik yang agak keterlaluan, menurut saya, adalah mengaitngaitkannya dengan pengalaman Madagaskar atau warnanya yang agak biru.
Presiden Madagaskar Marc Ravalomanana pada 2009 disebut-sebut terjungkal dari jabatannya karena memaksa membeli pesawat jenis yang sama, padahal saat itu kondisi keuangan negaranya sedang tidak memungkinkan. Tapi, harap maklum, kondisi Indonesia jelas berbeda dengan Madagaskar.
Demikian juga soal warna yang dikait-kaitkan mirip lambang partai presiden. Untunglah para capres menepisnya sehingga isu warna berhenti. Apakah setiap ganti kepala negara warna dasar harus diganti? Kita sudah pusing melihat rumahrumah adat kantor bupati dan gubernur diganti-ganti warnanya ketika partai penguasa berganti, bukan?
Helikopter kepresidenan
Saya sebetulnya tidak keberatan kita memiliki pesawat kepresidenan. Namun, yang saya tunggu-tunggu bukan jenis BBJ2, melainkan helikopter. Alasannya begini. Pertama, selama ini kalau ada acara di Ibu Kota dan sekitarnya, presiden atau wakil presiden dan rombongannya selalu melalui jalan darat. Sebelum rombongan lewat, banyak ruas jalan yang terpaksa ditutup sehingga menyebabkan kemacetan yang luar biasa di sana-sini.
Kalau memakai helikopter, ini tentu tidak terjadi. Kalau negara kita memiliki helikopter kepresidenan, saya kira itu bukan kemewahan, melainkan untuk memperlancar mobilitasnya. Kita tahu, banyak eksekutif profesional dan pemilik perusahaan di negara ini yang memiliki helikopter sendiri untuk menyiasati kemacetan. Kedua, helikopternya sebaiknya dibeli dari PT Dirgantara Indonesia (DI).
Jangan impor. BUMN strategis ini sudah mampu membuat helikopter sendiri. Bahkan untuk helikopter canggih jenis EC 725 Cougar dari Amerika Serikat, desain bodi dan pembuatannya dikerjakan PT DI. Helikopter lain buatan PT DI, jenis Dauphin, juga dipakai Badan SAR Nasional untuk menangani berbagai kondisi darurat dan bencana di Tanah Air. Dengan membeli helikopter buatan PT DI, selain mengangkat reputasi PT DI, juga menghemat pengeluaran devisa.
Ketiga, selama berada di udara, presiden atau wakil presiden kita bisa melihat wajah sebagian wilayah Indonesia dengan lebih lengkap, tak tertutup awan. Mereka jadi tahu apa benar Indonesia sudah bebas dari kampung-kampung kumuh yang kalau di atas kertas harusnya sudah? Demikian juga akan tampak mana kawasan perkotaan yang sudah tertata rapi serta mana sungai yang bersih dan yang penuh sampah.
Atau, kalau terbang di wilayah udara Kalimantan, bisa melihat mana hutan yang masih hijau dan mana yang sudah gundul dan banyak lubang galian tambang. Ini semacam blusukan dari udara. Kalau melalui jalan darat, lokasi-lokasi tadi kurang terlihat.
Bahkan ada sebagian pemerintah daerah yang malah menutupi kumuhnya daerah mereka dengan pagar seng. Kita tunggu kapan presiden atau wakil presiden terpilih memesan helikopter. Sebaiknya kita tidak lagi menjadikannya sebagai bahan gunjingan.
RHENALD KASALI
Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
(nfl)