Bencana yang menumbuhkan bangsa
A
A
A
KEINDAHAN alam Indonesia yang tak tepermanai dan kekayaan alam yang berlimpah ruah sungguh merupakan karunia selaksa surga. Sangat naif rasanya apabila menafikannya meski sebagai bangsa acapkali kita lupa menjaganya dengan bijaksana.
Namun, kita tidak bisa mendustai realita bahwa negeri ini berada di kawasan cincin api (ring of fire) yang selalu bergejolak. Negeri ini bahkan menjadi tempat pertemuan lempeng kulit bumi yang dinamis yakni Eurasia, Indo-Australia, dan Pasifik.
Negeri ini juga negara besar dengan gugus kepulauan yang membentang dilingkung lautan. Realitas ini semestinya membuat kita terjaga bahwa mau tidak mau, suka tidak suka, negeri ini ditakdirkan sebagai negeri rawan bencana.
Segala macam bencana, baik bencana alam maupun bencana akibat buah tangan manusia, menjadi sah menyapa kita. Mulai gempa bumi tektonik maupun vulkanik, tsunami, banjir bandang, kekeringan, puting-beliung, tanah longsor, hingga banjir lumpur (yang tak serius ditangani) menjadi saksi perjalanan panjang negeri ini.
Belum lagi usai erupsi Gunung Sinabung di Tanah Karo yang telah berlangsung berbulanbulan, bencana banjir kembali menyambangi Jakarta dan beberapa daerah di Indonesia.
Manado diterjang banjir bandang terburuk yang menewaskan beberapa orang dan melumpuhkan denyut kehidupan ibu kota Sulawesi Utara yang molek itu. Bencana seolah merata menyapa beberapa kota di Indonesia pada awal tahun ini.
Memaknai bencana
Secara kasatmata bencana berarti kehancuran. Segala apa yang telah dibangun dalam perjalanan panjang negeri ini bisa saja hancur dalam sekejap akibat dahsyatnya bencana. Peradaban yang adiluhung, beserta artifak yang menjadi saksi eksistensinya, segera terserak dan terkubur di kedalaman pilu. Bencana menyisakan duka ketika merenggut paksa apa yang kita miliki dan kita jaga dengan sepenuh hati.
Sebagai negeri yang “dipaksa takdir” harus berkawan karib dengan bencana, sungguh kita dituntut untuk mematut diri agar bisa hidup bersanding dengannya. Butuh kearifan (wisdom) untuk bijak memaknai dan memahami alam raya ini. Dalam kacamata Paul Baltes dan Ursula Staudinger (Compton, 2005), wisdom adalah pengetahuan dengan jangkauan, kedalaman, takaran, keseimbangan yang luar biasa (extraordinary).
Wisdom adalah sinergi antara pikiran dan karakter, sebuah orkestrasi dari pengetahuan dan nilai kebajikan (virtues). Hanya kebeningan hati yang sanggup memandu kita untuk melihat lebih jernih segala hikmah yang tersembunyi di balik bencana. Tidak sekadar melihatnya dari perspektif negatif yang kelam dengan memaki bencana yang menyambangi kita, tapi juga memaknainya dari perspektif positif yang optimistis.
Setiap bencana sesungguhnya bisa dimaknai sebagai apa saja, bergantung dari perspektif mana kita hendak memaknai. Sebagian kita memaknai bencana sebagai cobaan, peringatan, atau bahkan azab dari Tuhan. Semua tersebab oleh perilaku kita yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa sebagaimana disenandungkan Ebiet G Ade.
Apabila kita berkenan bijak bertanya kepada ruang batin, kita akan temui realita bahwa di balik segala kehancuran dan kerusakan akibat bencana, kita sungguh tengah diajari untuk menjadi negeri yang bertumbuh (a flourishing country) menjadi jauh lebih baik.
Salah satu pelajaran terbaik yang semoga kita dapati adalah kesadaran bahwa sebagian besar bencana yang terjadi di Indonesia merupakan bencana yang disebabkan ulah manusia (anthropogenous origin).
Jika kita tidak segera berbenah dan berubah, bukan mustahil cerita tentang negeri indah ini hanya akan tinggal sejarah. Catatan Walhi menunjukkan bahwa jumlah bencana meningkat 300% dibandingkan tahun sebelumnya. Kasus banjir dan tanah longsor, tidak tanggung-tanggung, mencapai 1.392 kasus.
Data BNPB juga menunjukkan peningkatan tren bencana di Indonesia di mana 80% bencana berkaitan dengan efek cuaca, banjir, longsor, maupun kekeringan (KORAN SINDO, 19 Januari 2014). Sudah saatnya kita terjaga bahwa umat manusia adalah jagat kecil (mikrokosmos) berupa pribadi-pribadi yang bersemayam dalam jagat gede bernama alam raya (makrokosmos).
Yang kita butuhkan adalah kesadaran berlaku ’nyawiji’ (menyatu) dan daya adaptasi mematut diri untuk berkarib dengan irama alam. Kearifan ekologis akan menyadarkan dan memandu laku kita bahwa sesungguhnya alam bekerja dalam sebuah sistem kesetimbangan.
Perilaku buruk kita mengusik kesetimbangan alam itulah yang kemudian akan berbuah bencana. Bukankah telah nyata kerusakan di darat dan di laut yang disebabkan oleh ulah tangan manusia?
Guru mengaji saya pernah bercerita tentang sebuah bahtera besar yang tengah berlayar mengarungi samudera. Sebagian penumpang bahtera melubangi lambung kapal untuk beroleh air karena merasa kehausan, namun malas untuk berusaha naik ke atas geladak, tempat di mana air tawar tersimpan. Sayangnya, tidak ada satu pun penumpang, tidak pula nakhoda atau awak kapal, yang mencegah perilaku dungu ini.
Akibat itu, lubang itu semakin membesar. Air masuk tak terkendali hingga menenggelamkan seluruh isi bahtera, termasuk penumpang tak berdosa yang sesungguhnya tidak turut berbuat kerusakan. Analogi negeri ini serupa cerita guru mengaji saya. Bahtera indah kita terancam tenggelam. Sebagian penumpang kapal, penduduk negeri yang rakus dan tamak, melubangi kapal dengan melakukan perusakan lingkungan.
Sayangnya, pemerintah, kru kapal yang diberi amanat menjaga dan menakhodai kapal, tidak mencegahnya. Sebagian kru kapal bahkan kongkalikong, berperilaku korup dengan ikut melubangi lambung kapal. Tidak tanggung-tanggung, sebagian penumpang dan kru kapal bahkan mengundang perompak, kapitalis asing, untuk mengoyak lambung kapal dan menjarah perbekalan kita.
Para pejabat negara dan kepala daerah yang korup menjadikan kekuasaan dan kewenangannya sebagai komoditas yang diperjualbelikan dengan harga terlewat murah kepada perompak asing.
Izin pertambangan, kontrak karya, eksploitasi yang sesungguhnya merompak kekayaan dan memiskinkan negeri, diobral benderang di depan mata rakyat. Lalu, tinggallah penduduk negeri ini yang menanggung risiko bencana. Persis lagu dangdut, “Orang makan nangkanya, aku dapat getahnya”.
Sementara para perompak itu telah kabur kembali menuju negerinya dengan gelimang kemakmuran. Sungguh malang dan kasihan jelata. Apalagi ketika bencana datang melanda, para pembuat kebijakan seakan tidak pernah tampak batang hidungnya. Kiranya bencana akan menyadarkan kita semua bahwa sesungguhnya ia hanya bisa dihadapi dengan solidaritas dan semangat kekitaan (weness).
Dalam konteks kebangsaan, bencana di sejengkal ruas negeri ini sesungguhnya akan membuat jengkal yang lain merasakan sakit dan meradang. Di akar rumput modal sosial (social capital) berupa empati, charity, pengorbanan, altruisme, bahu-membahu segenap anak bangsa sesungguhnya masih tetap ada di setiap saat bencana melanda.
Dari sanalah kita bisa berharap kekuatan untuk ‘tatag’ menghadapi, cerdas mengantisipasi dan bergegas ‘recovery’ dari bencana. Sungguh, jika kita bijak memberi makna, bencana adalah cara Tuhan untuk mengajari bangsa kita bertumbuh, bukan runtuh. Wallahualam.
ACHMAD M AKUNG
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro Semarang
Namun, kita tidak bisa mendustai realita bahwa negeri ini berada di kawasan cincin api (ring of fire) yang selalu bergejolak. Negeri ini bahkan menjadi tempat pertemuan lempeng kulit bumi yang dinamis yakni Eurasia, Indo-Australia, dan Pasifik.
Negeri ini juga negara besar dengan gugus kepulauan yang membentang dilingkung lautan. Realitas ini semestinya membuat kita terjaga bahwa mau tidak mau, suka tidak suka, negeri ini ditakdirkan sebagai negeri rawan bencana.
Segala macam bencana, baik bencana alam maupun bencana akibat buah tangan manusia, menjadi sah menyapa kita. Mulai gempa bumi tektonik maupun vulkanik, tsunami, banjir bandang, kekeringan, puting-beliung, tanah longsor, hingga banjir lumpur (yang tak serius ditangani) menjadi saksi perjalanan panjang negeri ini.
Belum lagi usai erupsi Gunung Sinabung di Tanah Karo yang telah berlangsung berbulanbulan, bencana banjir kembali menyambangi Jakarta dan beberapa daerah di Indonesia.
Manado diterjang banjir bandang terburuk yang menewaskan beberapa orang dan melumpuhkan denyut kehidupan ibu kota Sulawesi Utara yang molek itu. Bencana seolah merata menyapa beberapa kota di Indonesia pada awal tahun ini.
Memaknai bencana
Secara kasatmata bencana berarti kehancuran. Segala apa yang telah dibangun dalam perjalanan panjang negeri ini bisa saja hancur dalam sekejap akibat dahsyatnya bencana. Peradaban yang adiluhung, beserta artifak yang menjadi saksi eksistensinya, segera terserak dan terkubur di kedalaman pilu. Bencana menyisakan duka ketika merenggut paksa apa yang kita miliki dan kita jaga dengan sepenuh hati.
Sebagai negeri yang “dipaksa takdir” harus berkawan karib dengan bencana, sungguh kita dituntut untuk mematut diri agar bisa hidup bersanding dengannya. Butuh kearifan (wisdom) untuk bijak memaknai dan memahami alam raya ini. Dalam kacamata Paul Baltes dan Ursula Staudinger (Compton, 2005), wisdom adalah pengetahuan dengan jangkauan, kedalaman, takaran, keseimbangan yang luar biasa (extraordinary).
Wisdom adalah sinergi antara pikiran dan karakter, sebuah orkestrasi dari pengetahuan dan nilai kebajikan (virtues). Hanya kebeningan hati yang sanggup memandu kita untuk melihat lebih jernih segala hikmah yang tersembunyi di balik bencana. Tidak sekadar melihatnya dari perspektif negatif yang kelam dengan memaki bencana yang menyambangi kita, tapi juga memaknainya dari perspektif positif yang optimistis.
Setiap bencana sesungguhnya bisa dimaknai sebagai apa saja, bergantung dari perspektif mana kita hendak memaknai. Sebagian kita memaknai bencana sebagai cobaan, peringatan, atau bahkan azab dari Tuhan. Semua tersebab oleh perilaku kita yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa sebagaimana disenandungkan Ebiet G Ade.
Apabila kita berkenan bijak bertanya kepada ruang batin, kita akan temui realita bahwa di balik segala kehancuran dan kerusakan akibat bencana, kita sungguh tengah diajari untuk menjadi negeri yang bertumbuh (a flourishing country) menjadi jauh lebih baik.
Salah satu pelajaran terbaik yang semoga kita dapati adalah kesadaran bahwa sebagian besar bencana yang terjadi di Indonesia merupakan bencana yang disebabkan ulah manusia (anthropogenous origin).
Jika kita tidak segera berbenah dan berubah, bukan mustahil cerita tentang negeri indah ini hanya akan tinggal sejarah. Catatan Walhi menunjukkan bahwa jumlah bencana meningkat 300% dibandingkan tahun sebelumnya. Kasus banjir dan tanah longsor, tidak tanggung-tanggung, mencapai 1.392 kasus.
Data BNPB juga menunjukkan peningkatan tren bencana di Indonesia di mana 80% bencana berkaitan dengan efek cuaca, banjir, longsor, maupun kekeringan (KORAN SINDO, 19 Januari 2014). Sudah saatnya kita terjaga bahwa umat manusia adalah jagat kecil (mikrokosmos) berupa pribadi-pribadi yang bersemayam dalam jagat gede bernama alam raya (makrokosmos).
Yang kita butuhkan adalah kesadaran berlaku ’nyawiji’ (menyatu) dan daya adaptasi mematut diri untuk berkarib dengan irama alam. Kearifan ekologis akan menyadarkan dan memandu laku kita bahwa sesungguhnya alam bekerja dalam sebuah sistem kesetimbangan.
Perilaku buruk kita mengusik kesetimbangan alam itulah yang kemudian akan berbuah bencana. Bukankah telah nyata kerusakan di darat dan di laut yang disebabkan oleh ulah tangan manusia?
Guru mengaji saya pernah bercerita tentang sebuah bahtera besar yang tengah berlayar mengarungi samudera. Sebagian penumpang bahtera melubangi lambung kapal untuk beroleh air karena merasa kehausan, namun malas untuk berusaha naik ke atas geladak, tempat di mana air tawar tersimpan. Sayangnya, tidak ada satu pun penumpang, tidak pula nakhoda atau awak kapal, yang mencegah perilaku dungu ini.
Akibat itu, lubang itu semakin membesar. Air masuk tak terkendali hingga menenggelamkan seluruh isi bahtera, termasuk penumpang tak berdosa yang sesungguhnya tidak turut berbuat kerusakan. Analogi negeri ini serupa cerita guru mengaji saya. Bahtera indah kita terancam tenggelam. Sebagian penumpang kapal, penduduk negeri yang rakus dan tamak, melubangi kapal dengan melakukan perusakan lingkungan.
Sayangnya, pemerintah, kru kapal yang diberi amanat menjaga dan menakhodai kapal, tidak mencegahnya. Sebagian kru kapal bahkan kongkalikong, berperilaku korup dengan ikut melubangi lambung kapal. Tidak tanggung-tanggung, sebagian penumpang dan kru kapal bahkan mengundang perompak, kapitalis asing, untuk mengoyak lambung kapal dan menjarah perbekalan kita.
Para pejabat negara dan kepala daerah yang korup menjadikan kekuasaan dan kewenangannya sebagai komoditas yang diperjualbelikan dengan harga terlewat murah kepada perompak asing.
Izin pertambangan, kontrak karya, eksploitasi yang sesungguhnya merompak kekayaan dan memiskinkan negeri, diobral benderang di depan mata rakyat. Lalu, tinggallah penduduk negeri ini yang menanggung risiko bencana. Persis lagu dangdut, “Orang makan nangkanya, aku dapat getahnya”.
Sementara para perompak itu telah kabur kembali menuju negerinya dengan gelimang kemakmuran. Sungguh malang dan kasihan jelata. Apalagi ketika bencana datang melanda, para pembuat kebijakan seakan tidak pernah tampak batang hidungnya. Kiranya bencana akan menyadarkan kita semua bahwa sesungguhnya ia hanya bisa dihadapi dengan solidaritas dan semangat kekitaan (weness).
Dalam konteks kebangsaan, bencana di sejengkal ruas negeri ini sesungguhnya akan membuat jengkal yang lain merasakan sakit dan meradang. Di akar rumput modal sosial (social capital) berupa empati, charity, pengorbanan, altruisme, bahu-membahu segenap anak bangsa sesungguhnya masih tetap ada di setiap saat bencana melanda.
Dari sanalah kita bisa berharap kekuatan untuk ‘tatag’ menghadapi, cerdas mengantisipasi dan bergegas ‘recovery’ dari bencana. Sungguh, jika kita bijak memberi makna, bencana adalah cara Tuhan untuk mengajari bangsa kita bertumbuh, bukan runtuh. Wallahualam.
ACHMAD M AKUNG
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro Semarang
(nfl)