Satu desa satu PAUD

Jum'at, 10 Januari 2014 - 08:31 WIB
Satu desa satu PAUD
Satu desa satu PAUD
A A A
KETIKA memasuki Bandara Soekarno-Hatta, sebuah billboard besar bertuliskan “Satu Desa Satu PAUD”. PAUD berarti pendidikan usia dini, mulai 0 tahun sampai 6 tahun. Bahkan dalam Wikipedia, batas PAUD bisa saja sampai usia 8 tahun.

Pada billboard tersebut dilatarbelakangi oleh foto ibu negara. Saya teringat apa pun motif yang ada di billboard itu, yang penting banyak benarnya ajakan ibu negara untuk membuat pesan bahwa satu desa direncanakan memiliki satu PAUD adalah sesuatu keharusan.

Bukan sebuah yang terlambat, walaupun ibu negara sudah melewati masa sekitar delapan tahun, sebenarnya sewaktu ibu negara Tien Soeharto dulu sebenarnya tepat memulai gagasan ini. Kenapa pendidikan PAUD penting?

Investasi untuk masa depan anak,selain perawatan kehamilan, gizi dan kesehatan, persiapan untuk pembentukan karakter anak, psikomotorik, dan tentunya mengakomodasi perkembangan kognitif anak usia 0–6 tahun adalah sebuah investasi yang berdampak besar terhadap keberlangsungan survival seorang anak untuk melanjutkan proses pendidikan yang semakin baik pada masa yang akan datang.

Sebuah laporan studi yang dibiayai oleh pendanaan RAND membuat sebuah laporan penting bahwa investasi prasekolah telah memberikan efek ekonomis yang luar biasa di berbagai negara. Oleh karena itu, laporan ini merekomendasikan gerakan prasekolah menjadi salah satu gerakan yang tidak akan sia-sia.

Besaran dan upaya mewujudkannya
Di negara Afrika telah dihitung masa pendidikan anak sebelum memasuki wajib belajar selama tiga bulan. Di Eropa, yang peradaban pendidikannya sudah dibangun lebih dari 200 tahun yang lalu, pendidikan PAUD lamanya sekitar 2,3 tahun.

Artinya sebelum memasuki pendidikan formal, anak-anak usia prasekolah memasuki jenis pendidikan taman kanak-kanak, atau penitipan childcare, selama lebih kurang 2,3 tahun. Sehingga dengan setiap tahun, rata-rata waktu anak di prasekolah telah berdampak pada kesiapan mereka untuk dapat mengikuti pendidikan ikutannya pada jenjang pendidikan rendah sampai tinggi.

Di Indonesia, kita belum menemukan angka yang pasti berapa lama seorang anak melewati masa usia prasekolahnya di sekolah seperti TK, atau kelompok bermain, atau bentukbentuk yang disediakan di tengah masyarakat, sehingga kita tidak begitu bisa memastikan bagaimana hasilnya. Namun, 31 Desember 2013 kemarin di ujung akhir tahun, penulis sempat memaparkan sebuah hasil olahan Susenas 2012 di direktorat PAUD, departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Dari hasil olahan yang penulis lakukan ditemukan bahwa ketika target yang dipasang oleh pemerintah untuk mencapai 75% dari anak-anak memperoleh akses pendidikan PAUD, maka data Susenas 2012 menemukan kondisi di mana baru capaiannya pada kisaran 52%.

Artinya masih sekitar 23% lagi anak-anak yang belum memperoleh akses ke jenjang pendidikan PAUD. Jika target yang ditetapkan ingin dicapai, jelaslah kiranya Indonesia mesti menambah kapasitas sekolah yang ada untuk menampung tambahan sekitar 11–12% pertambahan per tahun.

Di Indonesia, saat ini terdapat sekitar 4,6–4,7 juta anak usia singel, tiga tahun yang akan memasuki usia empat tahun. Demikian juga sebanyak itu untuk memasuki jenjang usia lima tahun. Artinya setiap tahun akan ada tambahan baru anak PAUD sebanyak 4,6 juta anak.

Bayangkan saja kalau satu sekolah memuat 40 anak PAUD, maka berapa sekolah yang mesti ada. Tentunya jawaban yang paling mudah adalah bagaimana mewujudkannya tersedia satu PAUD satu desa. Benarlogikanya dan perlu kerja keras dan serius untuk mewujudkannya.

Tanggung jawab pendidikan PAUD tidak saja bisa dikatakan disediakan oleh pemerintah, mengingat wajib belajar dihitung pada usia 7–15 tahun. Perpanjangan satu tahun ratarata pendidikan masyarakat memerlukan waktu selama lima tahun, minimal jika program yang dibuat biasa-biasa saja. Kita akan ketinggalan sekitar 25 tahun mengejar capaian rata-rata pendidikan Malaysia. Untuk mewujudkan citacita itu, tentunya guru PAUD, ketersediaan sekolah, peralatan, dan sistem perlu dibangun.

Tidak perlu menunggu terlalu lama, maka sebenarnya jika ajakan ibu negara mau mewujudkan 1 desa 1 PAUD, sebenarnya sebaiknya sekolah PAUD dapat dibuat pada sisi sekolah SD, atau pada sarana dan prasarana yang memungkinkan dibuat secara bersama dalam komunitas desa, sehingga kesannya tidak perlu menjadi formal.

Namun, kawasan tempat anak-anak diperkenalkan dengan kurikulum PAUD sebaiknya tersedia. Di Australia, kebanyakan sekolah PAUD dibuat pada kawasan di mana tempat bermain sedemikian rupa yang aman, sehingga anak-anak dapat menggunakan masa waktunya di sekolah.

Tempat penitipan anak untuk model PAUD sangat cocok untuk perkotaan, sementara child park, yang diperuntukkan pada usia prasekolah menjadi salah satu alternatif dapat disediakan di desa-desa. Kalaupun selama ini upaya mengintegrasikan posyandu dengan layanan PAUD, tampaknya baru sekitar 8% dari anak-anak yang ikut PAUD dengan model ini. Model bermain, yang gencar dilakukan dapat ditata dan dikembangkan sebagai pusat tempat bertemunya orang tua untuk belajar, mengecek kesehatan mereka dan anak mereka, termasuk community library.

Tinggal sekarang bagaimana pengadaan guru, alat-alat bermain untuk memperkenalkan anak kepada dunia sains, termasuk menjaga dan memupuk psikomotorik anak. Anak-anak PAUD cukup diperkenalkan mereka dengan manner alias berperilaku, kebersihan, cuci tangan, kedisiplinan, dan sebagainya.

Tidak perlu pula guru bermimpi untuk anak TK akan menghafal segala yang dipaksakan untuk dihafal, atau bertepuk tangan hanya memupuk bernyanyi saja. Yang perlu bagi mereka adalah bagaimana mereka diperkenalkan dengan curiosity yang tinggi terhadap sains, alam, dan peradaban. Jika kita salah, pendidikan PAUD menjadi suatu yang terbuang percuma. Silakan melanjutkan ajakan ibu negara. Mulai tahun ini juga.

ELFINDRI
Profesor Ekonomi SDM dan Koordinator Program S-3 Ilmu Ekonomi Universitas Andalas (Unand), Padang
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6230 seconds (0.1#10.140)