Akil, Atut, dan Angie
A
A
A
DALAM hitungan pergeseran waktu, baru beberapa hari kita berpisah dan meninggalkan tahun 2013. Artinya, dalam hitungan hari pula kita menginjak penanggalan yang baru: tahun 2014. Biasanya, pergeseran waktu selalu menjadi momentum evaluasi untuk menilai keberhasilan dan kegagalan yang terjadi sepanjang tahun yang baru saja berlalu.
Sekiranya pun terdapat catatan kegagalan, tidak harus menjadi sesuatu yang diratapi berkepanjangan. Sebaliknya, bila ada catatan keberhasilan yang diraih, tidak pula menjadi alasan berpuas diri. Secara positif, keduanya harus jadi modal melangkah di tahun yang baru menghampiri. Sepanjang tahun 2013, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi HM Akil Mochtar (Akil), Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah (Atut), dan mantan politisi muda berpengaruh Partai Demokrat Angelina Sondakh (Angie) merupakan tiga nama yang amat menonjol.
Meskipun berada pada rentang waktu tiga bulan terakhir 2013, dalam batas-batas tertentu, kejadian yang menimpa triple “A” (Akil-Atut-Angie) lebih dari cukup dijadikan sebuah refleksi. Dari sisi penegakan hukum dan penyelenggaraan pemerintahan, tragedi yang menimpa mereka menggambarkan sukses yang berbalut kepahitan.
Cerita sukses
Secara sederhana, dalam konteks penegakan hukum, nasib tragis Akil-Angie-Atut merupakan cerita sukses. Skandal Akil, misalnya, menjadi cerita sukses Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam mengendus praktik suap penyelesaian sengketa pemilihan kepala daerah di Mahkamah Konstitusi (MK). Artinya ketika Akil tertangkap, tidak ada lagi lembaga negara yang bebas dari “sentuhan” KPK.
Bahkan, penangkapan Akil dapat dikatakan capaian terbesar KPK mengendus perilaku menyimpang penyelenggara negara dengan posisi paling tinggi. Padahal, sebelum tertangkapnya Akil, sebagian pihak berpandangan bahwa sulit bagi KPK untuk “menyentuh” MK.
Alasannya cukup mendasar, MK selalu membentengi KPK atas semua upaya dan langkah hukum yang hendak berupaya mengerdilkan dan menghancurkan lembaga yang diberi kuasa extra-ordinary dalam memberantas korupsi ini.
Buktinya, selain menolak judicial review sejumlah undang-undang di ranah pemberantasan korupsi, MK pun berperan cukup signifikan membantu KPK keluar dari ancaman kriminalisasi atas pimpinan KPK Bibit-Chandra. Bahkan, masa jabatan Busyro Muqoddas pun bisa diselamatkan menjadi empat tahun tak terlepas dari peran MK.
Namun bagi KPK, penegakan hukum pemberantasan korupsi bukan persoalan balas budi. Sekalipun MK merupakan salah satu benteng dari segala macam bentuk perlawanan terhadap agenda pemberantasan korupsi, praktik korupsi harus dimusnahkan.
Apalagi jika praktik tersebut dilakukan oleh individu yang berpotensi menghancurkan institusi. Bahkan, dalam soal ini, posisi sesama produk reformasi pun tidak mampu menghentikan langkah KPK dalam bertindak tegas terhadap berkembangnya kanker ganas bernama korupsi.
Karena itu, upaya KPK menguak praktik suap yang dilakukan Akil menjadi cerita sukses dengan nilai tersendiri. Cerita sukses penangkapan Akil menjadi kian bermakna karena mampu bergerak ke salah satu episentrum indikasi korupsi pemerintahan daerah.
Penelusuran KPK, Atut diduga memerintahkan Tb Chaeri Wardana (yang juga adik Atut) untuk menyuap Akil. Tertangkapnya Wawan menjadi semacam pintu masuk untuk membuka kontak pandora jejaring dinasti politik Atut di Banten. Ternyata memang tidak perlu waktu lama dan tanpa menunggu pergantian tahun, Atut ditetapkan sebagai tersangka. Tidak berhenti dengan status hukum baru tersebut, Atut pun ditahan KPK.
Dari penelusuran awal KPK, Atut tidak hanya terindikasi menjadi pihak yang memberi perintah untuk melakukan penyuapan dalam kasus Lebak, ia juga terindikasi memiliki peran besar dalam pengadaan alat kesehatan di Provinsi Banten.
Langkah KPK tak hanya mengancam Atut dan Wawan, tetapi juga potensial menjadi hantaman gelombang besar terhadap dinasti politik Atut. Tidak hanya di tingkat penyidikan, pengadilan juga menunjukkan perkembangan yang menggembirakan.
Misalnya, Angie yang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta divonis majelis hakim empat tahun enam bulan dan denda Rp250 juta. Namun di tingkat kasasi, Angie menerima kenyataan pahit: majelis hakim memperberat hukuman menjadi 12 tahun penjara dan hukuman denda Rp500 juta. Tak hanya memperberat hukuman badan, majelis hakim menjatuhkan pula pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti Rp12,58 miliar dan USD2,35 juta.
Dari berbagai perspektif, putusan kasasi Angie tidak hanya sekadar memulihkan rasa keadilan masyarakat tetapi juga memiliki pesan yang begitu kuat dalam desain besar agenda pemberantasan korupsi. Pesan di balik putusan Angie: penjatuhan hukuman harus memiliki rasa takut dan memiskinkan pelaku korupsi.
Berbalut kepahitan
Di antara cerita sukses tersebut, sebagiannya justru menghadirkan kepahitan yang tidak terperikan. Misalnya, keberhasilan KPK menangkap Akil justru menjadi cerita pahit bagi MK. Sebagai salah satu lembaga yang menonjol eksistensinya di tengah karut-marut penegakan hukum di negeri ini, tiba-tiba MK bak dilanda gelombang panas yang mahadahsyat. Kejadian yang menimpa Akil benar-benar menggoyahkan kepercayaan masyarakat pada MK.
Boleh jadi, sebagai dampak dari peristiwa penangkapan Akil, MK memerlukan waktu cukup lama untuk kembali ke kondisi sedia kala. Meskipun demikian, sebagian kalangan tetap melihat penangkapan Akil secara positif dan sebagai sesuatu yang harus disyukuri. Sekiranya Akil tidak tertangkap dan perilaku suap berkembang terus-menerus, tanpa disadari MK akan ambruk pelan-pelan hingga tidak bisa lagi diselamatkan.
Namun, bila dikaitkan dengan peran MK dalam menghadapi Pemilu 2014, pandangan positif tersebut sulit meluruhkan kepahitan dari dampak penangkapan Akil. Yang ditakutkan, bila MK gagal memulihkan kepercayaan masyarakat dalam waktu yang relatif singkat, sangat mungkin akan muncul masalah serius menghadapi penyelesaian sengketa Pemilu 2014. Secara keseluruhan, skandal di sekitar Akil-Atut- Angie membuktikan satu hal: betapa dahsyatnya praktik korupsi menghinggapi negeri ini.
Sekalipun upaya memeranginya telah dilakukan dengan cara yang extra-ordinary sejak sekitar 15 tahun yang lalu, praktik korupsi masih sulit dihentikan. Bahkan, dalam batasbatas tertentu, praktik korupsi terasa kian masif dan sistemik.
Selain itu, Akil-Atut-Angie sekaligus meneguhkan fakta empirik betapa korupsi mengeroposkan tiga cabang utama kekuasaan negara, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Banyak kalangan percaya, sekiranya KPK memiliki sumber daya yang memadai, bisa jadi lebih banyak lagi skandal korupsi yang terkuak ke permukaan.
Di atas itu semua, memulai tahun 2014, skandal korupsi yang melilit Akil-Atut-Angie kian menegaskan satu hal penting: meski memberantas korupsi memerlukan waktu panjang dan melelahkan, jangan pernah ada kata berhenti melawan korupsi.
Apalagi, sepanjang tahun 2013 kita memiliki banyak cerita sukses dalam memberantas korupsi. Semoga balutan sukses dan kepahitan yang terjadi di tahun 2013 mampu menjadi energi untuk terus menggelorakan perang melawan korupsi di tahun 2014. Semoga.
SALDI ISRA
Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO)
Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
Sekiranya pun terdapat catatan kegagalan, tidak harus menjadi sesuatu yang diratapi berkepanjangan. Sebaliknya, bila ada catatan keberhasilan yang diraih, tidak pula menjadi alasan berpuas diri. Secara positif, keduanya harus jadi modal melangkah di tahun yang baru menghampiri. Sepanjang tahun 2013, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi HM Akil Mochtar (Akil), Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah (Atut), dan mantan politisi muda berpengaruh Partai Demokrat Angelina Sondakh (Angie) merupakan tiga nama yang amat menonjol.
Meskipun berada pada rentang waktu tiga bulan terakhir 2013, dalam batas-batas tertentu, kejadian yang menimpa triple “A” (Akil-Atut-Angie) lebih dari cukup dijadikan sebuah refleksi. Dari sisi penegakan hukum dan penyelenggaraan pemerintahan, tragedi yang menimpa mereka menggambarkan sukses yang berbalut kepahitan.
Cerita sukses
Secara sederhana, dalam konteks penegakan hukum, nasib tragis Akil-Angie-Atut merupakan cerita sukses. Skandal Akil, misalnya, menjadi cerita sukses Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam mengendus praktik suap penyelesaian sengketa pemilihan kepala daerah di Mahkamah Konstitusi (MK). Artinya ketika Akil tertangkap, tidak ada lagi lembaga negara yang bebas dari “sentuhan” KPK.
Bahkan, penangkapan Akil dapat dikatakan capaian terbesar KPK mengendus perilaku menyimpang penyelenggara negara dengan posisi paling tinggi. Padahal, sebelum tertangkapnya Akil, sebagian pihak berpandangan bahwa sulit bagi KPK untuk “menyentuh” MK.
Alasannya cukup mendasar, MK selalu membentengi KPK atas semua upaya dan langkah hukum yang hendak berupaya mengerdilkan dan menghancurkan lembaga yang diberi kuasa extra-ordinary dalam memberantas korupsi ini.
Buktinya, selain menolak judicial review sejumlah undang-undang di ranah pemberantasan korupsi, MK pun berperan cukup signifikan membantu KPK keluar dari ancaman kriminalisasi atas pimpinan KPK Bibit-Chandra. Bahkan, masa jabatan Busyro Muqoddas pun bisa diselamatkan menjadi empat tahun tak terlepas dari peran MK.
Namun bagi KPK, penegakan hukum pemberantasan korupsi bukan persoalan balas budi. Sekalipun MK merupakan salah satu benteng dari segala macam bentuk perlawanan terhadap agenda pemberantasan korupsi, praktik korupsi harus dimusnahkan.
Apalagi jika praktik tersebut dilakukan oleh individu yang berpotensi menghancurkan institusi. Bahkan, dalam soal ini, posisi sesama produk reformasi pun tidak mampu menghentikan langkah KPK dalam bertindak tegas terhadap berkembangnya kanker ganas bernama korupsi.
Karena itu, upaya KPK menguak praktik suap yang dilakukan Akil menjadi cerita sukses dengan nilai tersendiri. Cerita sukses penangkapan Akil menjadi kian bermakna karena mampu bergerak ke salah satu episentrum indikasi korupsi pemerintahan daerah.
Penelusuran KPK, Atut diduga memerintahkan Tb Chaeri Wardana (yang juga adik Atut) untuk menyuap Akil. Tertangkapnya Wawan menjadi semacam pintu masuk untuk membuka kontak pandora jejaring dinasti politik Atut di Banten. Ternyata memang tidak perlu waktu lama dan tanpa menunggu pergantian tahun, Atut ditetapkan sebagai tersangka. Tidak berhenti dengan status hukum baru tersebut, Atut pun ditahan KPK.
Dari penelusuran awal KPK, Atut tidak hanya terindikasi menjadi pihak yang memberi perintah untuk melakukan penyuapan dalam kasus Lebak, ia juga terindikasi memiliki peran besar dalam pengadaan alat kesehatan di Provinsi Banten.
Langkah KPK tak hanya mengancam Atut dan Wawan, tetapi juga potensial menjadi hantaman gelombang besar terhadap dinasti politik Atut. Tidak hanya di tingkat penyidikan, pengadilan juga menunjukkan perkembangan yang menggembirakan.
Misalnya, Angie yang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta divonis majelis hakim empat tahun enam bulan dan denda Rp250 juta. Namun di tingkat kasasi, Angie menerima kenyataan pahit: majelis hakim memperberat hukuman menjadi 12 tahun penjara dan hukuman denda Rp500 juta. Tak hanya memperberat hukuman badan, majelis hakim menjatuhkan pula pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti Rp12,58 miliar dan USD2,35 juta.
Dari berbagai perspektif, putusan kasasi Angie tidak hanya sekadar memulihkan rasa keadilan masyarakat tetapi juga memiliki pesan yang begitu kuat dalam desain besar agenda pemberantasan korupsi. Pesan di balik putusan Angie: penjatuhan hukuman harus memiliki rasa takut dan memiskinkan pelaku korupsi.
Berbalut kepahitan
Di antara cerita sukses tersebut, sebagiannya justru menghadirkan kepahitan yang tidak terperikan. Misalnya, keberhasilan KPK menangkap Akil justru menjadi cerita pahit bagi MK. Sebagai salah satu lembaga yang menonjol eksistensinya di tengah karut-marut penegakan hukum di negeri ini, tiba-tiba MK bak dilanda gelombang panas yang mahadahsyat. Kejadian yang menimpa Akil benar-benar menggoyahkan kepercayaan masyarakat pada MK.
Boleh jadi, sebagai dampak dari peristiwa penangkapan Akil, MK memerlukan waktu cukup lama untuk kembali ke kondisi sedia kala. Meskipun demikian, sebagian kalangan tetap melihat penangkapan Akil secara positif dan sebagai sesuatu yang harus disyukuri. Sekiranya Akil tidak tertangkap dan perilaku suap berkembang terus-menerus, tanpa disadari MK akan ambruk pelan-pelan hingga tidak bisa lagi diselamatkan.
Namun, bila dikaitkan dengan peran MK dalam menghadapi Pemilu 2014, pandangan positif tersebut sulit meluruhkan kepahitan dari dampak penangkapan Akil. Yang ditakutkan, bila MK gagal memulihkan kepercayaan masyarakat dalam waktu yang relatif singkat, sangat mungkin akan muncul masalah serius menghadapi penyelesaian sengketa Pemilu 2014. Secara keseluruhan, skandal di sekitar Akil-Atut- Angie membuktikan satu hal: betapa dahsyatnya praktik korupsi menghinggapi negeri ini.
Sekalipun upaya memeranginya telah dilakukan dengan cara yang extra-ordinary sejak sekitar 15 tahun yang lalu, praktik korupsi masih sulit dihentikan. Bahkan, dalam batasbatas tertentu, praktik korupsi terasa kian masif dan sistemik.
Selain itu, Akil-Atut-Angie sekaligus meneguhkan fakta empirik betapa korupsi mengeroposkan tiga cabang utama kekuasaan negara, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Banyak kalangan percaya, sekiranya KPK memiliki sumber daya yang memadai, bisa jadi lebih banyak lagi skandal korupsi yang terkuak ke permukaan.
Di atas itu semua, memulai tahun 2014, skandal korupsi yang melilit Akil-Atut-Angie kian menegaskan satu hal penting: meski memberantas korupsi memerlukan waktu panjang dan melelahkan, jangan pernah ada kata berhenti melawan korupsi.
Apalagi, sepanjang tahun 2013 kita memiliki banyak cerita sukses dalam memberantas korupsi. Semoga balutan sukses dan kepahitan yang terjadi di tahun 2013 mampu menjadi energi untuk terus menggelorakan perang melawan korupsi di tahun 2014. Semoga.
SALDI ISRA
Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO)
Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
(nfl)