Kabar baik bagi yang kecil
A
A
A
TEMA Natal Bersama PGIKWI 2013 adalah ”Datanglah, ya Raja Damai”. Tema ini mengandung kerinduan agar Yesus, Sang Raja Damai, berkenan datang di dunia yang tidak damai dan penuh masalah ini.
Damai pun mungkin hanya utopia karena untuk mewujudkannya butuh beberapa syarat di antaranya tercipta lebih dahulu kesejahteraan, keadilan, dan tidak ada jurang kaya dan miskin. Tidak heran, untuk mewujudkan damai, apalagi damai sejati, tampaknya mustahil. Dalam level individu, jangankan berdamai dengan orang lain. Berdamai dengan diri sendiri pun sulit.
Banyak yang tidak damai lalu memilih bunuh diri. Baru-baru ini ada seorang polisi di Nganjuk memilih bunuh diri setelah mencuri dompet tetangganya senilai Rp600.000. Ironis, seorang aparat keamanan yang seharusnya memperjuangkan keamanan atau perdamaian justru merasa damai dalam dirinya sendiri.
Potret kegalauan
Di media pula kita bisa membaca berita seputar kegalauan banyak orang, khususnya ”wong cilik” . Perasaan galau berarti hati merasa gelisah, cemas, dan tidak damai. Maklum, harga-harga kebutuhan pokok semakin mencekik leher karena uang di dompet tak mencukupi lagi. Yang kelas menengah pun sama galaunya karena inflasi tinggi membuat gaji mereka tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan selama sebulan, apalagi yang punya banyak keinginan dan gemar bergaya hidup mewah.
Pertengahan bulan bahkan ada yang galau, lalu memilih jalan pintas dengan utang, entah lewat kartu kredit atau menodong teman. Yang duduk di birokrasi memilih tetap korupsi. Dunia kita hingga penghujung 2013 ini memang tetap sebuah dunia yang galau. Mau berharap kepada politisi atau wakil rakyat untuk meredakan galau juga tambah repot. Politisi kita lebih sibuk membuat manuver politik untuk Pileg dan Pilpres 2014. Mereka lebih fokus mencari dana buat biaya kampanye citra daripada meringankan beban warga.
Sedangkan para kepala daerah terus dipenuhi hasrat menumpuk kekayaan lewat cara korupsi atau sibuk membangun dinasti politik lewat praksis politik yang tak beretika. Makin menjadi lengkaplah penderitaan ”wong cilik” atau orang-orang kecil. Sebagian umat Kristiani pun merasakan nuansa ”blue Christmas” (Natal yang sendu dan galau), padahal Natal seharusnya dirayakan dengan sukacita. Sayang, sukacita itu hanya menjadi milik para pedagang yang bisa memanfaatkan momentum Natal.
Di berbagai mal tersedia pohon, kue, dan berbagai pernak-pernik Natal. Di kota besar seperti Jakarta atau Surabaya juga tersedia busana atau hidangan Natal sekali makan seharga Rp10 juta. Penulis jadi ingat salah satu lagu almarhum Gombloh, penyanyi legendaris Surabaya yang berkisah tentang seorang gelandangan yang hanya bisa melihat semua kemewahan kota dengan tatapan kosong serta tubuh menggigil akibat kehujanan.
Kisah Dostojewskij
Lagu Gombloh itu mengingatkan pula pada kisah Dostojewskij, tentang seorang anak gelandangan yang kedinginan di Pettersburg. Dia melihat sebuah boneka tertawa dan memanggilnya dari dalam etalase. Sayang ketika masuk, bahu anak gelandangan itu dicengkeram oleh satpam dan menendangnya keluar. Anak itu lalu jatuh di jalan. Tiba-tiba ia mendengar seperti suara ibunya. Ia masuk ke ruangan dan menjumpai banyak anak. Mereka saling mencium, tertawa, dan gembira. Ia segera tahu temantemannya adalah anak-anak yang senasib seperti dirinya.
Di tempat yang hangat ini, Yesus memberi mereka pohon Natal. Anak itu lalu menciumi ibunya. Ibunya menangis, lalu menyeka air matanya. Keesokan paginya, penjaga toko menemukan seorang anak tergeletak membeku. Anak itu mati. Dialah anak gelandangan bersama ibunya yang juga telah mati kedinginan dalam musim dingin di penghujung Desember. Kisah pilu gelandangan itu atau kisah keresahan wong cilik itu seharusnya bisa menyadarkan umat Kristiani akan Natal pertama, ketika Yesus lahir di kandang hewan di Betlehem.
Dalam kondisi hamil tua, Maria dan Jusuf harus mencari tempat menginap. Sayang tak ada tempat. Memang selalu sukar menyediakan tempat bagi kaum lemah seperti mereka. Yesus terpaksa lahir di kandang. Bisa saja orang tua Yesus berpikir Allah tampaknya sangat jauh dari diri mereka. Buktinya tidak ada yang mau peduli dengan pengalaman pahit mereka. Pasar, perdagangan, politik berjalan seperti biasa. Hidup mengikuti jalannya sendiri. Ketiga orang itu seperti masuk dalam pusaran hidup yang keras dan tanpa makna.
Pengalaman nestapa Natal pertama tak beda dengan pengalaman wong cilik yang dilanda galau di tengah struktur yang tidak adil. Anehnya, hanya dengan spirit menjadi lemah dan miskin seperti dimiliki Maria, Jusuf atau bayi Yesus itu, umat Kristiani bisa menggali makna sejati Natal. Kondisi lemah dan miskin seperti ini dilukiskan dengan bagus oleh Ernesto Cardenal, penyair dari Amerika Latin.
Dalam ”Das Buch von der Liebe, Lateina merikanische Pslamen”, Ernesto menulis: ”Kemiskinan dan kondisi lemah adalah keadaan asli manusia di Firdaus, ketika manusia pertama Adam telanjang, berkawan dengan binatang yang juga telanjang. Sesudah jatuh dalam dosa, manusia tak lagi telanjang. Sesungguhnya kemiskinan dan kondisi lemah adalah kebenaran, sementara kekayaan adalah tipuan yang menutupi kebenaran. Kita menghiasi diri dengan baju materi untuk menutupi jiwa kita yang telanjang. Kepalsuan adalah sinonim bagi kelekatan akan harta. Busana mahal, rumah mewah adalah penipu yang memalsukan keadaan material, layar yang menutupi kesederhanaan.
Dalam kemiskinan bersinar cahaya kesejatian. Dalam kekayaan, cahaya itu dipudarkan. Kemiskinan membuat diri kita nyata”. Meski begitu, kemiskinan dan kelemahan seperti itu jangan pernah ditafsirkan seolah iman Kristen antiharta atau antiuang. Tidak! Menurut Ernesto, itu semua hanya upaya penyadaran akan eksistensi sejati kaum beriman di hadapan Sang Khalik. Di hadapan-Nya, kita bukan apa-apa. Harta yang ada misalnya hanyalah pinjaman.
Dengan sikap seperti ini, seharusnya yang kaya menjadi rendah hati dan tidak arogan. Lalu yang cerdik pandai tidak menganggap yang lain bodoh dan sebagainya. Yang berkuasa tidak lagi ingin dilayani, tapi sungguh melayani rakyat. Jika sikap seperti itu tak bisa diupayakan, Evangeli Gaudium (Kebahagiaan Injil) yang dikenal sebagai ”seruan apostolik,” Paus Fransiskus menyerukan pejabat gereja berubah dan mendorong umat mengenyahkan kapitalisme modern.
Kapitalis melah yang menyebabkan ketidakadilan dan kesenjangan serta memicu konflik sosial sehingga perdamaian makin sulit diwujudkan. Jika ini terjadi, perdamaian akan lebih mungkin untuk diwujudkan. Maka itu, Paus meminta para uskup dan pastor tidak hanya berkutat di istana keuskupan atau paroki, tapi mau keluar dan mengajarkan kabar baik bagi yang kecil di lorong-lorong kota dan desa agar mereka juga bisa menikmati kabar gembira bahwa Sang Raja Damai telah lahir dan datang.
Dia yang sebenarnya bisa enak-enakan di surga mau datang di tengah dunia agar semua diselamatkan. Selamat Natal 2013.
TOM SAPTAATMAJA
Teolog, Alumnus STFT Widya Sasana Malang dan Seminari St Vincent de Paul
Damai pun mungkin hanya utopia karena untuk mewujudkannya butuh beberapa syarat di antaranya tercipta lebih dahulu kesejahteraan, keadilan, dan tidak ada jurang kaya dan miskin. Tidak heran, untuk mewujudkan damai, apalagi damai sejati, tampaknya mustahil. Dalam level individu, jangankan berdamai dengan orang lain. Berdamai dengan diri sendiri pun sulit.
Banyak yang tidak damai lalu memilih bunuh diri. Baru-baru ini ada seorang polisi di Nganjuk memilih bunuh diri setelah mencuri dompet tetangganya senilai Rp600.000. Ironis, seorang aparat keamanan yang seharusnya memperjuangkan keamanan atau perdamaian justru merasa damai dalam dirinya sendiri.
Potret kegalauan
Di media pula kita bisa membaca berita seputar kegalauan banyak orang, khususnya ”wong cilik” . Perasaan galau berarti hati merasa gelisah, cemas, dan tidak damai. Maklum, harga-harga kebutuhan pokok semakin mencekik leher karena uang di dompet tak mencukupi lagi. Yang kelas menengah pun sama galaunya karena inflasi tinggi membuat gaji mereka tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan selama sebulan, apalagi yang punya banyak keinginan dan gemar bergaya hidup mewah.
Pertengahan bulan bahkan ada yang galau, lalu memilih jalan pintas dengan utang, entah lewat kartu kredit atau menodong teman. Yang duduk di birokrasi memilih tetap korupsi. Dunia kita hingga penghujung 2013 ini memang tetap sebuah dunia yang galau. Mau berharap kepada politisi atau wakil rakyat untuk meredakan galau juga tambah repot. Politisi kita lebih sibuk membuat manuver politik untuk Pileg dan Pilpres 2014. Mereka lebih fokus mencari dana buat biaya kampanye citra daripada meringankan beban warga.
Sedangkan para kepala daerah terus dipenuhi hasrat menumpuk kekayaan lewat cara korupsi atau sibuk membangun dinasti politik lewat praksis politik yang tak beretika. Makin menjadi lengkaplah penderitaan ”wong cilik” atau orang-orang kecil. Sebagian umat Kristiani pun merasakan nuansa ”blue Christmas” (Natal yang sendu dan galau), padahal Natal seharusnya dirayakan dengan sukacita. Sayang, sukacita itu hanya menjadi milik para pedagang yang bisa memanfaatkan momentum Natal.
Di berbagai mal tersedia pohon, kue, dan berbagai pernak-pernik Natal. Di kota besar seperti Jakarta atau Surabaya juga tersedia busana atau hidangan Natal sekali makan seharga Rp10 juta. Penulis jadi ingat salah satu lagu almarhum Gombloh, penyanyi legendaris Surabaya yang berkisah tentang seorang gelandangan yang hanya bisa melihat semua kemewahan kota dengan tatapan kosong serta tubuh menggigil akibat kehujanan.
Kisah Dostojewskij
Lagu Gombloh itu mengingatkan pula pada kisah Dostojewskij, tentang seorang anak gelandangan yang kedinginan di Pettersburg. Dia melihat sebuah boneka tertawa dan memanggilnya dari dalam etalase. Sayang ketika masuk, bahu anak gelandangan itu dicengkeram oleh satpam dan menendangnya keluar. Anak itu lalu jatuh di jalan. Tiba-tiba ia mendengar seperti suara ibunya. Ia masuk ke ruangan dan menjumpai banyak anak. Mereka saling mencium, tertawa, dan gembira. Ia segera tahu temantemannya adalah anak-anak yang senasib seperti dirinya.
Di tempat yang hangat ini, Yesus memberi mereka pohon Natal. Anak itu lalu menciumi ibunya. Ibunya menangis, lalu menyeka air matanya. Keesokan paginya, penjaga toko menemukan seorang anak tergeletak membeku. Anak itu mati. Dialah anak gelandangan bersama ibunya yang juga telah mati kedinginan dalam musim dingin di penghujung Desember. Kisah pilu gelandangan itu atau kisah keresahan wong cilik itu seharusnya bisa menyadarkan umat Kristiani akan Natal pertama, ketika Yesus lahir di kandang hewan di Betlehem.
Dalam kondisi hamil tua, Maria dan Jusuf harus mencari tempat menginap. Sayang tak ada tempat. Memang selalu sukar menyediakan tempat bagi kaum lemah seperti mereka. Yesus terpaksa lahir di kandang. Bisa saja orang tua Yesus berpikir Allah tampaknya sangat jauh dari diri mereka. Buktinya tidak ada yang mau peduli dengan pengalaman pahit mereka. Pasar, perdagangan, politik berjalan seperti biasa. Hidup mengikuti jalannya sendiri. Ketiga orang itu seperti masuk dalam pusaran hidup yang keras dan tanpa makna.
Pengalaman nestapa Natal pertama tak beda dengan pengalaman wong cilik yang dilanda galau di tengah struktur yang tidak adil. Anehnya, hanya dengan spirit menjadi lemah dan miskin seperti dimiliki Maria, Jusuf atau bayi Yesus itu, umat Kristiani bisa menggali makna sejati Natal. Kondisi lemah dan miskin seperti ini dilukiskan dengan bagus oleh Ernesto Cardenal, penyair dari Amerika Latin.
Dalam ”Das Buch von der Liebe, Lateina merikanische Pslamen”, Ernesto menulis: ”Kemiskinan dan kondisi lemah adalah keadaan asli manusia di Firdaus, ketika manusia pertama Adam telanjang, berkawan dengan binatang yang juga telanjang. Sesudah jatuh dalam dosa, manusia tak lagi telanjang. Sesungguhnya kemiskinan dan kondisi lemah adalah kebenaran, sementara kekayaan adalah tipuan yang menutupi kebenaran. Kita menghiasi diri dengan baju materi untuk menutupi jiwa kita yang telanjang. Kepalsuan adalah sinonim bagi kelekatan akan harta. Busana mahal, rumah mewah adalah penipu yang memalsukan keadaan material, layar yang menutupi kesederhanaan.
Dalam kemiskinan bersinar cahaya kesejatian. Dalam kekayaan, cahaya itu dipudarkan. Kemiskinan membuat diri kita nyata”. Meski begitu, kemiskinan dan kelemahan seperti itu jangan pernah ditafsirkan seolah iman Kristen antiharta atau antiuang. Tidak! Menurut Ernesto, itu semua hanya upaya penyadaran akan eksistensi sejati kaum beriman di hadapan Sang Khalik. Di hadapan-Nya, kita bukan apa-apa. Harta yang ada misalnya hanyalah pinjaman.
Dengan sikap seperti ini, seharusnya yang kaya menjadi rendah hati dan tidak arogan. Lalu yang cerdik pandai tidak menganggap yang lain bodoh dan sebagainya. Yang berkuasa tidak lagi ingin dilayani, tapi sungguh melayani rakyat. Jika sikap seperti itu tak bisa diupayakan, Evangeli Gaudium (Kebahagiaan Injil) yang dikenal sebagai ”seruan apostolik,” Paus Fransiskus menyerukan pejabat gereja berubah dan mendorong umat mengenyahkan kapitalisme modern.
Kapitalis melah yang menyebabkan ketidakadilan dan kesenjangan serta memicu konflik sosial sehingga perdamaian makin sulit diwujudkan. Jika ini terjadi, perdamaian akan lebih mungkin untuk diwujudkan. Maka itu, Paus meminta para uskup dan pastor tidak hanya berkutat di istana keuskupan atau paroki, tapi mau keluar dan mengajarkan kabar baik bagi yang kecil di lorong-lorong kota dan desa agar mereka juga bisa menikmati kabar gembira bahwa Sang Raja Damai telah lahir dan datang.
Dia yang sebenarnya bisa enak-enakan di surga mau datang di tengah dunia agar semua diselamatkan. Selamat Natal 2013.
TOM SAPTAATMAJA
Teolog, Alumnus STFT Widya Sasana Malang dan Seminari St Vincent de Paul
(nfl)