Perang tanpa Panglima

Jum'at, 13 Desember 2013 - 06:57 WIB
Perang tanpa Panglima
Perang tanpa Panglima
A A A
JIKA dihitung sejak pendeklarasian Hari Anti-Korupsi Internasional pada 9 Desember 2003 lalu, maka bangsa ini tercatat telah merayakan hari anti-rasuah sebelas kali.

Dari kesebelas peringatan itu, sepuluh di antaranya terjadi pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Perayaan Hari Anti-Korupsi di tahun 2013 ini juga berarti sebagai perayaan terakhir di era pemeritahan SBY, sebagai konsekuensi atas pembatasan konstitusional terhadap masa jabatan kepala negara yang maksimal hanya dua periode pemerintahan.

Di ujung perjalanan sepuluh tahun pemerintahan ini, seharusnya sudah ada capaian gemilang yang dapat dijadikan indikator keberhasilan dan bukti keseriusan pemerintah dalam mengamputasi kanker korupsi secara sistematis di negeri ini. Tapi yang terjadi, pemerintah lebih gemar mengedepankan retorika kuantitatif yang secara metodologis sering dipertanyakan validitasnya untuk menutupi kekurangan dan kelemahan yang terjadi selama pemerintahan berjalan.

Pemerintah dan para pendukungnya seringkali menggunakan dalih peningkatan Corruption Perception Index (CPI) sebesar 1 poin sejak 2004 hingga 2011, yakni dari level 2 menjadi 3 dalam skala nilai 1 untuk kategori terkorup dan nilai 10 untuk kategori terbersih, sebagai sebuah capaian gemilang. Capaian itu dianggap signifikan mengingat peningkatan CPI Indonesia merupakan yang tertinggi di antara negara-negara ASEAN.

Tak hanya itu, sebelum terjadi perubahan metodologi dalam pengukuran CPI di tahun 2012 yang telah memberikan nilai 32 untuk Indonesia dengan perubahan skala nilai dari 0 untuk kategori terkorup dan 100 untuk terbersih, Transparency International pada tahun 2011 juga sempat menempatkan Indonesia pada peringkat delapan besar dalam kategori the most progressive change dalam pemberantasan korupsi dibandingkan sekitar 177 negara yang disurvei.

Jika ditelisik lebih mendalam, citra positif penegakan hukum di Indonesia sejatinya lebih banyak disumbang oleh kerja keras Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang telah mendapatkan pengakuan dunia internasional serta dukungan masyarakat luas karena keberhasilannya menjangkau titik-titik episentrum korupsi yang selama ini bersarang di jantung kekuasaan, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif.

Selama ini wilayah itu masih dianggap angker, tabu, dan tidak tersentuh oleh pedang para penegak hukum konvensional laiknya Kepolisian dan Kejaksaan. Karena itu, amat kurang sopan rasanya jika pemerintah lagi berusaha ‘mendompleng’ citra positif pemberantasan korupsi pada hasil kerja keras sebuah lembaga independen KPK.

Padahal berkali-kali oleh pemerintah lembaga ini dibiarkan tersungkur menghadapi sakarotul maut akibat serangan balik para koruptor dan kelompok-kelompok kepentingan (predatory interests) yang menghendaki pelemahan efektivitas gerakan anti-korupsi. Lagi pula, jika mengaca pada grand design pemberantasan korupsi, terlalu absurd kita jika menumpukan harapan pemberantasan korupsi semata-mata kepada lembaga anti-korupsi itu sendiri.

KPK di Indonesia, CPIB di Singapura atau ICIC di Hongkong, merupakan lembaga yang didesain khusus untuk menghadirkan efek jera (deterrent effect) terutama pelaku korupsi kelas kakap. Adapun beragam riset dan pendekatan terkait pemetaan aktor, modus operandi, dan rumusan strategi pencegahan korupsi semata-mata hanya akan menjadi saran kebijakan yang baru akan berlaku menjadi aturan dan regulasi ketika pemerintah mengeksekusi dan parlemen menyetujui upaya-upaya perbaikan sistemik di tingkat birokrasi pemerintahan maupun sistem politik di negeri ini.

Karena itu, salah satu poin dalam laporan Global Integrity (2011) menyimpulkan bahwa pembentukan lembaga spesial anti-korupsi bukanlah solusi utama bagi pemberantasan korupsi yang sistemik, efektif, dan komprehensif. Komitmen dan keseriusan politik pemerintah masih dianggap sebagai faktor terpenting dalam menentukan keberhasilan pemberantasan korupsi dalam suatu negara (Klittgard, 2005). Without political will of the top political leader, anti-corruption is nothing ( Quah, 2007, 2009).

Jika pemerintah setengah hati, artinya akar-akar korupsi tetap dibiarkan terus menjalar. Akibatnya lembaga anti-korupsi tak ubahnya seperti lembaga pemadam kebakaran yang tenaga, sumber daya, dan konsentrasinya hanya difokuskan pada percikan-percikan api kecil yang bermunculan, sementara potensi kebakaran yang jauh lebih dahsyat dibiarkan begitu saja menyebar dan berurat akar dalam sistem politik dan pemerintahan yang pada saatnya mampu menenggelamkan negara dan mesin anti-korupsi itu sendiri.

Fenomena itulah yang dimaksud oleh Zainal Arifin Mochtar (2011) sebagai ‘efek treadmill’ pemberantasan korupsi yang masih berlanjut hingga saat ini. Di mana setumpuk upaya mulai dari pembentukan lembaga, perumusan produk hukum, kebijakan reformasi birokrasi dengan penggelontoran dana yang tak terhitung jumlahnya, dan juga sinkronisasi aturan hukum telah dilakukan semua. Seolah bangsa ini telah berlari begitu kencang melawan korupsi, tapi sejatinya kita masih berdiri di posisi yang sama, berlari di atas pijakan semula, yang artinya kita mandeg dan juga stagnan.

Dengan segala keterbatasan yang dimiliki, KPK berlari kencang sembari dipaksa harus tergopoh-gopoh menangkis berbagai serangan dan gempuran dari berbagai kekuatan korup di negeri ini. Sementara penegak hukum lain yang notabene berada di bawah kendali eksekutif laiknya Kepolisian dan Kejaksaan dibiarkan saja menikmati penyakitnya yang semakin parah dan kian jauh dari harapan sembuh dan sehat secara institusi.

Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi yang dari awal hingga kini selalu menjadi kebanggaan para pembantu presiden seolah tidak berarti apapun dalam upaya perbaikan di internal Kepolisian dan Kejaksaan. Bahkan presiden sendiri seolah terkesan legawa alias tidak keberatan melihat kedua lembaga penegak hukum di bawahnya itu ‘melecehkan’ instruksi-instruksi yang selama ini diberikan. Pemerintah tidak lagi bisa berkelit.

Fakta tingginya intensitas benturan antar lembaga pemberantasan korupsi hingga sering membuat KPK terseok-seok, seolah mengkonfirmasi sedemikian lemahnya dukungan politik pemimpin bangsa ini terhadap agenda pemberantasan korupsi. Padahal, tanpa dukungan kepemimpinan politik yang kuat, gerakan anti-korupsi akan mudah dilemahkan secara sistematis melalui serangan balik pihak-pihak yang seharusnya menjadi target sasaran mesin anti-korupsi itu sendiri.

Ibarat perang tanpa panglima, arah kebijakan dan strategi perang yang dilancarkan lembaga-lembaga anti-korupsi di negeri ini terus mengalami diaspora, tidak fokus, sporadis, berjalan sendiri-sendiri, tanpa komando yang jelas, hingga melahirkan relasi konfliktual antara lembaga penegak hukum yang satu dengan yang lain. Tidak tampak kerja sama kolektif yang benar-benar mengakar dan menjadikan pemberantasan korupsi sebagai agenda utama yang sistematis dan berkelanjutan.

AHMAD KHOIRUL UMAM
Kandidat Doktor Ilmu Politik di School of Political Science & International Studies, The University of Queensland, Australia, juga Peneliti Senior di Paramadina Public Policy Institute (PPPI) Jakarta, fokus pada riset Politik Anti-Korupsi di Negara Berkembang
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1091 seconds (0.1#10.140)