Saat Kasus Century terang benderang

Rabu, 27 November 2013 - 06:44 WIB
Saat Kasus Century terang benderang
Saat Kasus Century terang benderang
A A A
APABILA Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak secepatnya menjamah aktor-aktor yang ada di balik kasus megaskandal Bank Century yang sudah begitu terang benderang, boleh jadi akan didahului akrobat politik untuk menyelamatkan mereka. Kesaksian ekonom Ichsanuddin Noorsy yang diperiksa KPK selaku ahli (20/11/2013), menjelaskan bahwa Boediono bertanggung jawab atas perubahan peraturan BI dan pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP).

Bahkan, kesaksian Jusuf Kalla (JK) di KPK, Kamis (KORAN SINDO, 21/11/2013), Wakil Presiden saat dana talangan (bailout) Rp6,7 triliun digelontorkan ke Bank Century menegaskan, Bank Century saat itu bukan bank gagal berdampak sistemik yang dapat membahayakan perekonomian nasional sehingga sejatinya tidak layak mendapatkan bailout. Ini bisa disebut sebagai salah satu kesaksian kunci yang membuka tabir kasus Century setelah lebih lima tahun menjadi misteri. Keputusan memberikan dana talangan terjadi pada 21 November 2008 oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).

JK juga mempertanyakan pemberian bailout yang semula hanya Rp632 miliar, kemudian berubah menjadi Rp2,5 triliun, sampai mencapai Rp6,7 triliun. Tetapi menurut Boediono setelah diperiksa KPK (22/11/2013), bahwa penggelembungan bailout sampai mencapai Rp6,7 triliun tidak diketahuinya. Boediono menuding bahwa penghitungan sejumlah itu kewenangan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Boediono juga menyebut bahwa bantuan kepada Bank Century bukan bailout, melainkan pengambilalihan oleh negara.

Lempar tanggung jawab
Rupanya terjadi saling lempar tanggung jawab, sebab menurut pimpinan LPS bahwa dalam mengambil keputusan, LPS tidak bisa sendirian, tetapi berdasarkan konsultasi dan masukan dari Bank Indonesia (KORAN SINDO, 25/11/2013). Masih terlalu banyak misteri yang harus diungkap, sehingga KPK dituntut untuk mengurai fakta dan motif dari pemberian bailout itu. Misalnya menelusuri ke mana dan siapa saja yang menerima aliran dana Rp6,7 triliun itu. Apakah semuanya diberikan kepada pengelola Bank Century yang kemudian berganti nama?

Kenapa bailout atau pengambilalihan menurut Boediono dilakukan saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berada di luar negeri? Sementara itu, JK selaku wakil presiden tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Pertanyaan lain, apakah kesaksian JK––termasuk keterangan sejumlah saksi dan ahli–– belum bisa mengerucutkan kesimpulan KPK menjerat aktor-aktor utamanya? Berdasarkan kesaksian itu, Gubernur BI saat itu, Boediono, dan mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati disebut-sebut sebagai orang yang juga harus bertanggung jawab.

Tetapi menurut Sri Mulyani yang diperiksa di Amerika Serikat, mantan ketua KSSK dan mantan sekretarisnya, Raden Pardede, menegaskan kewenangan pemberian FPJP dan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik sepenuhnya di tangan BI. Keduanya menyebut dirinya tidak pernah mengetahui dan tidak pernah diajak rapat yang memutuskan pemberian FPJP pada 2008. Begitu terang benderangnya kasus ini, seharusnya bisa mengantar KPK pada kesimpulan bahwa bukan cuma Budi Mulya,

mantan deputi Bidang IV Pengelolaan Devisa BI yang diduga menyalahgunakan kewenangan, melainkan ada aktor lain yang paling menentukan pemberian FPJP dan Bank Century sebagai bank gagal. Sudah cukup bukti permulaan bagi KPK menjerat mantan gubernur BI untuk dimintai tanggung jawab hukum. KPK tidak boleh berpikir untuk menunggu selesai masa jabatan pemerintahan sampai Oktober 2014, agar Boediono bisa dibawa ke pengadilan tindak pidana korupsi.

Kendala konstitusi?
Sekiranya KPK merasa terkendala oleh ketentuan Pasal 7B UUD 1945, KPK boleh mengambil “jalan tengah”. Misalnya jika dalam proses penyidikan ditemukan bukti permulaan yang cukup bahwa Boediono yang saat ini selaku wakil presiden diduga terlibat dalam kasus Bank Century, maka KPK membuat laporan hasil penyidikan (progress report) kepada DPR. Cara ini memang tidak dikenal dalam KUHAP dan UU Nomor 30/2002 tentang KPK, tetapi bisa dilakukan sebagai langkah progresif untuk mengatasi perdebatan dalam menangani wakil presiden yang diduga terlibat pelanggaran hukum.

Dalam tulisan saya di harian ini “Mengapresiasi Hasil Pansus Century” (8/3/2010) diurai, jika wakil presiden diduga melakukan pelanggaran hukum bisa saja ditangani KPK, tetapi tidak mungkin berujung ke pengadilan. Sebab, menurut Pasal 7A- 7B UUD 1945, jika wakil presiden melanggar hukum berupa korupsi atau penyuapan, prosesnya harus diawali “pendapat DPR”, kemudian dibawa ke Mahkamah Konstitusi (forum previlegiatum). Jika pendapat DPR dibenarkan MK, putusan MK dibawa ke Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk sidang pemakzulan.

KPK terpaksa menanganinya lantaran DPR tidak menggunakan haknya “menyatakan pendapat”. Laporan hasil penyidikan KPK bisa dijadikan dasar bagi DPR melakukan rapat paripurna untuk menyatakan pendapat dugaan keterlibatan wakil presiden dalam kasus Century. Artinya, UUD 1945 secara tersurat menegaskan kasus hukum presiden/ wakil presiden tidak diselesaikan dalam forum biasa (pengadilan tindak pidana korupsi), melainkan melalui forum khusus di MK.

Jalan tengah bagi KPK setidaknya bisa menuntaskan persoalan ketatanegaraan secara elegan dan bermartabat. Jikapun berimbas pada pemakzulan, tidak berarti negeri ini harus tercerabut dari konsistensinya menghargai para pemimpinnya. Begitu pula, kalau nantinya hak menyatakan pendapat mentah di ruang politik paripurna DPR, kita juga tidak mesti pesimis.

Apabila KPK berlama-lama dan berputar-putar seperti gasing tanpa titik penyelesaian, dipastikan publik bakal menganggap perkara Century sengaja digiring ke lorong gelap. Jalan terang yang sudah terpampang di depan mata tidak boleh disiasiakan, publik ingin melihat keberanian KPK untuk mengungkap aktor-aktor utama konspirasi kotor itu sebelum tahun ini berakhir.

MARWAN MAS
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3854 seconds (0.1#10.140)