Badai Haiyan dan masa depan bumi

Selasa, 26 November 2013 - 07:30 WIB
Badai Haiyan dan masa depan bumi
Badai Haiyan dan masa depan bumi
A A A
HANYA dua jam Badai Haiyan “singgah” di Kota Tacloban, Filipina Tengah, Jumat (8/11) dua pekan lalu. Tapi dampaknya luar biasa: Kota Tacloban yang berpenduduk 200.000 jiwa nyaris rata dengan tanah. Rumah, sekolah, gedung perkantoran, dan pasar hampir semuanya ambruk. Mobil, motor, dan sepeda beterbangan.

“Tacloban seperti dilanda kiamat,” tulis koran The Telegraph. Ribuan orang tewas. Ribuan orang hilang. Tak terhitung jumlah kerugian harta benda. Badai dengan kecepatan 320 km/jam itu menghantam apa pun yang ada di hadapannya. Filipina memang negara yang sering mendapat amukan badai besar. Rakyatnya sudah terbiasa menghadapi badai laut yang dahsyat. Tapi belakangan, mereka merasa makin lama badai yang datang makin raksasa. Sejak tahun 1990-an, menurut Badan Statistik Filipina, intensitas topan yang menerjang Filipina terus meningkat dan kecepatannya makin kencang.

Bila dulu kecepatannya berada pada kisaran 240 km/jam, sejak tahun 2006 kecepatannya makin tinggi, sekitar 320 km/jam. Kenapa demikian? Menurut Romulo Virola, kepala Badan Statistik Filipina, penyebabnya adalah air laut yang semakin panas. Arus Laut Samudra Pasifik yang makin panas karena naiknya suhu bumi (global warming), menjadikan samudra itu sebagai “tempat pembenihan” badai-badai raksasa. Jika kenaikan suhu bumi itu terus berlanjut tanpa ada upaya untuk menghentikannya, kelak bukan hanya Filipina dan negara-negara yang berhadapan dengan Samudra Pasifik seperti Vietnam, Jepang, dan China, yang dihantam badai dahsyat,

melainkan juga negara-negara lain yang tak langsung berhadapan dengan samudra. Setiap negara di dunia akan terancam badai dahsyat. Kita lihat di Indonesia, misalnya, dalam dua dekade terakhir, banyak wilayah yang diterjang badai atau puting beliung. Kedatangan puting beliung itu akan makin sering sejalan dengan makin panasnya suhu bumi.

Di pihak lain, kekacauan iklim pun menjadikan “siklus” kehidupan berubah. Musim panas makin panas, sehingga banyak wilayah di Indonesia yang kekeringan. Sedangkan di musim hujan, curah hujan makin tinggi, sehingga banyak wilayah yang kebanjiran. Kondisi itu diperparah dengan rusaknya hutan yang masif. Akibatnya, banjir dan longsor makin sering terjadi di Indonesia dengan kerugian harta, benda, dan jiwa yang amat besar.

Global warming
Tampaknya bencana demi bencana akibat pemanasan suhu bumi (global warming), makin menunjukkan kenyataan yang sulit diingkari. Suhu udara makin panas, iklim makin kacau, topan makin sering datang, gelombang laut makin besar, dan permukaan air laut makin tinggi. Akibat kenaikan permukaan laut saja, misalnya, beberapa negara pulau di Pasifik seperti Pulau Marshall, Tuvalu, dan Karibati, kini terancam akan tenggelam.

Akhir Oktober 2013 lalu, Prof Gifford Miller dari Universitas Colorado, AS menunjukkan hasil penelitiannya di Kutub Utara yang amat mengejutkan. Ternyata suhu Kutub Utara mengalami kenaikan yang sangat signifikan yang belum pernah terjadi dalam 44.000 tahun terakhir. Menurut Gifford, saat ini wilayah Kutub Utara menerima energi (panas) matahari 9% lebih banyak daripada yang seharusnya. Kondisi tersebut, jelas Gifford, bukan disebabkan oleh dinamika dan variabilitas alamiah.

Akan tetapi lebih karena pengaruh aktivitas manusia (pabrik, sektor transportasi, pembalakan hutan, dan lainnya) yang membuang gas-gas rumah kaca, khususnya CO2 ke atmosfer. Akibat konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer yang makin tinggi tersebut, suhu bumi naik secara signifikan. Kenaikan suhu bumi itu, tidak hanya melelehkan es abadi di kutub utara dan selatan yang menyebabkan naiknya permukaan air laut, tapi juga dapat menimbulkan badaibadai raksasa.

Salah satunya badai raksasa Haiyan yang baru saja menghantam kepulauan Filipina Tengah. Jika di Asia, badai-badai raksasa itu kerap menerjang wilayah Pacific Rim seperti Filipina, Vietnam, Taiwan, Taiwan, China, dan Jepang—di Atlantic Rim, badai-badai raksasa itu menerjang pantai timur Amerika Serikat. Kita masih ingat, beberapa tahun lalu badai Gustav, Hanna, Ike, dan Katrina menghancurkan kota-kota yang menghadap Samudra Atlantik.

Badai Ike yang menerjang pantai timur AS, September 2008, misalnya memorak-porandakan Kota Texas, New Orleans, dan sekitarnya. Saat itu tiga juta warga Texas mengungsi. Gelombang laut setinggi delapan meter meluluhlantakkan bangunan dan infrastruktur kota-kota tersebut. Kita juga masih ingat, badai Katrina yang menerjang Kota Miami, Agustus 2005 yang mengakibatkan 1.800 orang tewas dan meluluhlantakkan kota wisata di pantai timur AS itu. Kerugian akibat badai Katrina, menurut Pusat Penelitian Badai Nasional Miami mencapai USD81 miliar (Rp810 triliun lebih).

Memanfaatkan laut
Saat ini melihat makin tingginya suhu atmosfer dan makin banyaknya badai raksasa yang menerjang bumi, para pakar mulai mencari alternatif bagaimana mengatasi kondisi tersebut. Fisikawan Stephen Hawking, misalnya, berpikir bagaimana seharusnya manusia memperlakukan bumi dengan mendesain habitatnya sedemikian rupa agar nyaman untuk ditempati. Hawking percaya ada kehidupan lain di antariksa selain di bumi, tapi untuk ras manusia, tempat terbaik adalah di planet bumi.

Planet bumi telah menyediakan kondisi kehidupan yang paling pas dan kompatibel untuk manusia. Karena itu, cara terbaik yang bisa dilakukan manusia untuk menyelamatkan eksistensinya di muka bumi, kata Hawking, adalah mendesain kembali ekosistem bumi agar nyaman untuk tempat tinggal manusia. Menindaklanjuti gagasan Hawking, para ilmuwan lain yang dimuat dalam majalah The Economist (4 September 2008), memberikan metode sederhana untuk mengatasi global warming dengan “memanfaatkan ekosistem laut” agar lebih bersahabat dengan alam.

Caranya: menjadikan laut sebagai penyerap gas rumah kaca (GRK) sebanyak mungkin tanpa menimbulkan dampak yang merugikan. Mengingat 75% planet bumi adalah lautan, maka bila organisme laut yang mampu menyerap GRK makin banyak, konsentrasi gas tersebut di atmosfer akan jauh berkurang. Penyerapan gas rumah kaca yang sering disebut carbon sink tersebut, bisa direkayasa dengan memperbanyak pertumbuhan alga bersel tunggal (single celled algae) di lautan luas. Single celled algae sudah dikenal sebagai mikroorganisma yang menyerap karbondioksida secara signifikan dan simultan.

Pertumbuhan alga ini bisa dipupuk dengan menambahkan ion-ion besi di laut. Jika alga jenis ini jumlahnya melimpah di laut maka akan banyak GRK yang diserap. Tentu saja masih banyak metode lain yang bisa digunakan untuk mengurangi gas rumah kaca. Alfred Wong, fisikawan Columbia University, AS, misalnya, menggagas pemakaian sinar laser yang amat kuat untuk memecah molekulmolekul gas karbon dioksida di atmosfer. Metode ini memang efektif, tapi mahal dan kurang bersahabat dengan alam.

Akhirnya masa depan bumi sangat tergantung kita manusia: bagaimana mengatasi global warming yang makin lama makin terasa pengaruh negatifnya. Konsentrasi GRK yang makin lama makin besar, harus segera diatasi dengan sebuah tindakan bersama. Semua orang bisa berpartisipasi menyelamatkan bumi dari amukan badai dan banjir laut. Misalnya bagaimana mengurangi pemakaian plastik, pemakaian pendingin (AC), bahan bakar minyak, dan penghematan energi.

Di pihak lain, manusia harus memperbanyak pohon dan merehabilitasi hutan. Sekecil apa pun usaha kita untuk—misalnya menghemat pemakaian bahan bakar dan menanam pohon— jelas merupakan langkah yang signifikan untuk menyelamatkan bumi dari amukan badai dan gelombang laut raksasa. Benar apa kata David Suzuki— act locally, think globally.

ROKHMIN DAHURI
Guru Besar Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor (IPB)
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5094 seconds (0.1#10.140)