Perubahan Iklim dan Kemiskinan

Selasa, 26 November 2013 - 07:03 WIB
Perubahan Iklim dan...
Perubahan Iklim dan Kemiskinan
A A A
KORBAN jiwa akibat amukan topan Haiyan yang meluluhlantakkan kota-kota dan desa-desa di Filipina tengah melonjak melebihi 6.000 jiwa patut menjadi peringatan. Meski Indonesia bukan berada pada jalur topan besar, sesuai Laporan Iklim Dunia (2010) kecepatan angin dan curah hujan pada siklon tropis bakal terus meningkat pada abad ini akibat pemanasan bumi yang menyebabkan perubahan iklim.

Dampak perubahan iklim lainnya, termasuk yang sangat mungkin menimpa negeri ini. Setidaknya terdapat lima key transmission mechanisms yang disebabkan oleh perubahan iklim dan berpengaruh buruk pada pembangunan manusia. (UNDP, 2008) Pertama, produksi pertanian dan ketahanan pangan. Perubahan iklim memengaruhi curah hujan, suhu udara, dan ketersediaan air bagi pertanian di kawasan yang rawan, termasuk Asia

Tenggara yang mengalami kemunduran produksi pertanian dan berperan pada lonjakan angka kemiskinan di daerah pedesaan. Kedua, kebanjiran dan kekurangan air. Ketiga, peningkatan permukaan laut sebagai penyebab berbagai bencana iklim. Keempat, gonjang-ganjing sistem ekologi danpunahnya keragaman hayati. Kelima, ancaman bagi kesehatan manusia. Tanpa reduksi CO2 secara radikal, tampaknya akan selalu ada benturan antara kepentingan ekonomi dan upaya melestarikan alam (World Watch).

Peran Indonesia
Sebagai penghasil karbondioksida terbesar ketiga dunia, Indonesia seharusnya telah mengidentifikasi sektor-sektor yang berperan dalam penurunan emisi dan mekanisme pembangunan bersih, serta mengembangkan isu-isu prioritas untuk bernegosiasi dengan negara lain agar tercapai kerja sama saling menguntungkan. Betapa tidak. Sebagai negara kepulauan dengan 65% penduduknya tinggal di wilayah pesisir, pemanasan global yang berdampak pada kenaikan permukaan laut harus dilihat sebagai ancaman yang sangat serius.

Sementara itu, sebagai negara agraris, produktivitas pertanian negeri ini pun terancam gangguan tak kalah serius akibat dampak perubahan iklim. (Gayatriet.al.2012) Untuk periode 2000-2005, Indonesia dinobatkan sebagai juara dunia perusak hutan karena dalam kurun waktu tersebut hutan kita yang rusak mencapai angka dua persen atau sekitar 1,87 juta hektare per tahun. Saat ini, menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dari 150 juta hektare lahan hutan yang dikelola, hanya 11% yang memiliki izin peruntukan yang sesuai aturan (27/2/2013).

Sisanya rawan disalahgunakan. Salah satu perusak hutan dan lingkungan hidup adalah sektor pertambangan. Pada sektor ini biasanya terjadi kolaborasi pemerintah dengan perusahaan besar yang umumnya perusahaan asing. Padahal, selama ini industri pertambangan mineral telah gagal membuktikan“mitosnya” sebagai penopang perekonomian, apalagi berperan menyejahterakan penduduk lokal. Menurut Jaringan Advokasi Tambang (Jatam, 2006), kontribusi sektor ini terhadap APBN relatif kecil, lebih kecil dibandingkan sektor kehutanan.

Nilai tambahnya juga rendah karena bahan tambang diekspor dalam bentuk bahan mentah, ditambah rendahnya penyerapan tenaga kerja massal di tingkat lokal. Sektor ini pun gagal menunjukkan tanggung jawabnya terhadap kerusakan lingkungan, pelanggaran HAM, dan penyelesaian konflik dengan penduduk lokal di lokasi-lokasi pertambangan. Contoh paling kasat mata adalah PT Freeport, korporasi tambang skala besar pertama di Indonesia yang telah beroperasi selama hampir 40tahun diPapua.

Hingga kini setidaknya 1.448 ton emas, belum lagi tembaga dan perak, telah dikeruk. Menurut Direktur Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara, keuntungan yang diperoleh salah satu perusahaan tambang emas terbesar di dunia ini dari hasil tambangnya di Papua mencapai Rp 4.000 triliun. Ini dihitung dari hasil laporan cadangan mineralnya pada 2010. (Tambang.co.id.18/11/2011) Namun, kondisi Papua jauh dari “kemilau emas”-nya.

Ironisnya, meskipun PDB Papua menduduki peringkat ketiga, nilai indeks pembangunan manusia (IPM) mengekspresikan rendahnya rata-rata lama sekolah, buruknya kesehatan seperti tingginya angka kematian ibu melahirkan, bayi, dan balita, serta turunnya penghasilan masyarakat. Saat ini IPM Provinsi Papua menempati urutan buncit, sedangkan Provinsi Papua Barat pada urutan ke-29 dari 33 propinsi Indonesia. Tanah Papua juga memiliki persentase penduduk miskin terbesar di Indonesia yaitu di atas 25%.

Kemiskinan
Indonesia sebenarnya memiliki strategi pembangunan berbasis propoor, projob, dan progrowth— yang kemudian dilengkapi dengan proenvironment sehingga bisa dipandang sebagai implementasi komprehensif dari tujuan-tujuan pembangunan milenium (MDGs). Namun, statistik kemiskinan bisa menjadi dasar evaluasi sejauh mana kinerja strategi tersebut. Saat ini persentase kemiskinan sekitar 11,4%, masih jauh dari target MDGs sebesar 7,5% untuk Indonesia.

Berbagai bencana yang seringkali disebabkan oleh ulah manusia seperti banjir, kekeringan, tanah longsor, semburan lumpur gas Lapindo, tsunami, angin pitung beliung, taifun, dan gelombang laut ikut menyebabkan masyarakat kehilangan peluang usaha dan peluang bekerja dan mendorong mereka menjadi miskin atau hampir miskin. Bagi Amartya Sen, seseorang disebut miskin karena tidak memiliki akses untuk memenuhi kebutuhannya. Akses yang menjadi hak setiap orang itu ditentukan oleh nilai diri yang dimilikinya.

Bagi kebanyakan orang, nilai yang dimiliki sebatas tenaga kerja. Karena itu, kemiskinan tidak bisa diatasi dengan sekadar memperbesar produksi. Orang miskin harus mempunyai pekerjaan yang memberinya penghasilan. Terdapat kesepakatan luas bahwa jika pemberantasan kemiskinan adalah motif utama kebijakan pembangunan, pengadaan dan peningkatan penghasilan orang miskin adalah tujuan terpenting semua kegiatan. Pelestarian lingkungan secara partisipatif, dalam arti yang luas, ikut memperluas lapangan pekerjaan.

Pemerintah yang mewakili negara terkait konstitusi memiliki kewajiban untuk misalnya memberikan pengakuan hak-hak masyarakat adat dalam pengelolaan hutan dan tambang dengan kearifan lokal, membantu nelayan dan petani dalam upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim sambil memberikan insentif terkait pendidikan, kesehatan, dan penghasilan. Sekali lagi, korelasi positif antara kerusakan lingkungan dan kemiskinan perlu selalu menjadi pertimbangan.

Jeffrey Sachs dalam bukunya, The End of Poverty (2006), menyimpulkan “sementara investasi pada kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur mungkin dapat mengatasi perangkap kemiskinan yang sudah ekstrem kondisinya, degradasi lingkungan pada skala lokal, regional, dan global dapat meniadakan manfaat investasi tersebut”. Dengan kata lain, ada banyak variabel penting yang ikut menentukan kesejahteraan dan kemiskinan, namun lingkungan alam bisa dipandang sebagai salah satu yang terpenting.

IVAN HADAR
Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDE); Ketua Dewan Pengurus Indonesia for Global Justice (IGJ)
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0966 seconds (0.1#10.140)