Cendekiawan pejuang antikorupsi

Kamis, 14 November 2013 - 07:55 WIB
Cendekiawan pejuang...
Cendekiawan pejuang antikorupsi
A A A
JIKA mengamati kasus korupsi di negeri ini, tampak sekali bahwa sebagian besar pelakunya kalangan terdidik. Rata-rata mereka adalah alumni pendidikan tinggi bergelar sarjana (S-1), master (S- 2), dan doktor (S-3). Bahkan ada pelaku korupsi yang bergelar guru besar.

Padahal pada saat berstatus akademisi di kampus sang guru besar dikenal memiliki rekam jejak hebat. Fenomena kasus korupsi yang melibatkan kalangan terdidik jelas menjadi ironi bagi dunia pendidikan. Itu sekaligus menunjukkan bahwa pelaku korupsi kini tidak hanya berasal dari kalangan eksekutif, legislatif, yudikatif, TNI Polri, dan pengusaha. Kalangan akademisi dari kampus pun berpotensi menjadi pelaku korupsi. Pertanyaannya, mengapa mereka terseret dalam pusaran kasus korupsi?

Padahal mereka termasuk kelompok terdidik. Mereka bahkan dikenal memiliki rekam jejak yang hebat tatkala masih aktif sebagai pendidik. Jawabnya, karena mereka terlalu jauh bersinggungan dengan kekuasaan. Di samping itu, mereka juga tidak siap tatkala berurusan dengan birokrasi dan segala aturan administrasinya. Karena itulah, Julien Benda dalam The Betrayal of the Intellectuals (Pengkhianatan Kaum Intelektual, 1980) berpesan agar kaum cendekiawan berhati-hati jika bersinggungan dengan kekuasaan.

Pesan Julien ini penting agar kalangan terdidik tidak melakukan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Peringatan yang sama sebenarnya juga diutarakan Lord Acton tatkala menulis surat pada Bishop Mandell Creighten. Dalam surat itu Lord Acton menulis ungkapan yang terkenal hingga kini yaitu power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely (Orang yang memiliki kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakannya dan orang yang memiliki kekuasaan absolut sudah pasti akan menyalahgunakannya).

Karena itulah, Julien mengingatkan agar kaum cendekiawan tidak hanya mengandalkan ilmu pengetahuan saat bersinggungan dengan kekuasaan. Modal yang juga sangat penting dimiliki kaum cendekiawan adalah moral atau akhlak. Modal berupa akhlak ini terasa bersifat universal karena berlaku bagi siapa saja. Persoalan akhlak penting karena berkaitan dengan integritas seseorang.

Buya Syafii Maarif, mantan ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, menyatakan bahwa perspektif moral dapat digunakan untuk menilai apakah seorang yang terdidik telah berkhianat, terpeleset, tertipu, khilaf, naif, atau tidak paham dengan medan pergaulan sehingga salah dalam mengambil langkah. Dalam konteks inilah masyarakat dapat menilai moralitas mereka yang terdidik, tetapi tersandung kasus korupsi. Apakah mereka sekadar khilaf ataukah benar-benar terlena dengan godaan politik dan kekuasaan.

Dengan ilmu yang dimiliki, kalangan cendekiawan perguruan tinggi (PT) seharusnya tampil sebagai pahlawan antikorupsi. Tetapi, sayang sekali, realitas justru berkata lain. Seakan menyadari bahwa ada begitu banyak kalangan terdidik yang terlibat kasus korupsi kini dikembangkan pendidikan antikorupsi. Di beberapa PT, kurikulum pendidikan antikorupsi pun didisain dengan cara yang beragam.

Ada yang menjadikan mata kuliah mandiri. Ada juga yang menyisipkan (inserting) materi antikorupsi pada beberapa mata kuliah yang telah ada. Pengembangan materi pendidikan antikorupsi bertujuan untuk menjadikan kalangan terdidik sebagai pribadi-pribadi yang berintegritas. Agar dampaknya lebih masif, kurikulum pendidikan antikorupsi seharusnya tidak hanya dikembangkan di tingkat pendidikan tinggi. Materi pendidikan antikorupsi juga harus dikembangkan di pendidikan tingkat dasar dan menengah.

Dengan mengenalkan pendidikan antikorupsi sejak dini, diharapkan budaya berperilaku jujur tertanam dalam diri kalangan terdidik. Pelibatan lembaga pendidikan untuk mendorong munculnya cendekiawan sekaligus pahlawan antikorupsi melalui pengembangan pendidikan integritas penting dilakukan. Paling tidak ada dua alasan yang perlu dikemukakan sehingga lembaga pendidikan penting dilibatkan dalam gerakan mewujudkan anak-anak bangsa yang berintegritas.

Pertama, lembaga pendidikan memiliki sumber daya dengan seperangkat pengetahuan (knowledge) yang sangat memadai. Kedua, lembaga pendidikan memiliki jaringan (networking) yang kuat dan tersebar di seluruh penjuru tanah air. Jika dua modal ini dimaksimalkan, akan muncul gerakan pemberantasan korupsi yang masif. Bangsa ini jelas banyak berharap pada dunia pendidikan. Bukankah mereka yang sedang belajar di sekolah dan PT merupakan calon pemimpin negeri ini di masa mendatang? Jika kini kalangan cendekiawan sudah banyak yang belepotan dengan noda korupsi, pada siapa lagi bangsa ini berharap? Pertanyaan ini layak direnungkan.

Pahlawan yang telah gugur mendahului kita jelas tidak ingin melihat generasi penerusnya terpeleset berulang kali dalam pusaran kasus korupsi dengan berbagai ekspresi budayanya. Karena itu, tidak ada pilihan lain, kalangan cendekiawan harus meneruskan perjuangan para pahlawan. Para pahlawan yang telah gugur pasti tidak menuntut kita mengangkat senjata dan mempertaruhkan nyawa.

Yang diminta hanya kobarkan terus perjuangan melawan korupsi dan antek-anteknya. Bebaskan negeri ini dari kasus korupsi sehingga lebih bermartabat. Itulah cara terbaik untuk membahagiakan para pahlawan di alam baka sana.

BIYANTO
Dosen IAIN Sunan Ampel dan Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jawa Timur
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0801 seconds (0.1#10.140)