Jalan berliku agenda pembangunan pasca-2015

Sabtu, 02 November 2013 - 06:59 WIB
Jalan berliku agenda pembangunan pasca-2015
Jalan berliku agenda pembangunan pasca-2015
A A A
Pada tanggal 31 Mei 2013, High-Level Panel (HLP) of Eminent Person on Post-2015 Development Agenda yang dipimpin bersama oleh Susilo Bambang Yudhoyono/ SBY(Presiden Indonesia), David Cameron (PM Inggris) dan Ellen Johnson Sirleaf (Presiden Liberia) menyerahkan laporan kerja mereka kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) Ban Ki Moon.

Laporan tersebut diberi judul Kemitraan Baru Global: Pengentasan Kemiskinan dan Mentransformasi Ekonomi Melalui Pembangunan Berkesinambungan (A New Global Partnership: Eradicating Poverty and Transform Economies Through Sustainable Development).

Laporan itu adalah hasil konsultasi para anggota HLP dengan pelbagai macam pemangku kebijakan lainnya dipelbagai tempat di dunia, seperti: New York (Amerika Serikat), London (UK), Monrovia (Liberia) dan Bali (Indonesia) mulai dari 25 September 2012 sampai dengan 25 Mei 2013.

Dengan genapnya PBB menjadi 68 tahun pada tanggal 24 Oktober 2013 maka PBB dan komunitas internasional perlu bekerja ekstra dalam mempromosikan pentingnya laporan kemitraan baru global kepada para pemangku kebijakan dan rakyat biasa dari negaranegara maju dan berkembang.

Hal ini jadi momentum untuk secara konsisten menjaga intisari dari laporan tersebut agar menjadi agenda utama bagi PBB dan seluruh komunitas internasional. Lalu, dua pertanyaan menariknya adalah: pertama, apa isi dari laporan tersebut? Kedua, bagaimana nasib laporan tersebut selanjutnya?

Ada tiga argumen utama untuk menjawab pertanyaanpertanyaan di atas yaitu; Pertama, transisi dari Millenium Development Goals (MDGs) ke laporan agenda pembangunan pasca-2015 akan mengalami proses yang cukup menantang khususnya pencapaian agendaagenda yang masih menjadi pekerjaan rumah bersama bagi seluruh pemimpin dunia.

Kedua, laporan HLP tersebut berisi 12 tujuan pembangunan yang disintesiskan oleh para anggota HLPdari hasilkonsultasimereka dengan pelbagai macam pemangku kebijakan. Ketiga, laporan HLP adalah acuan awal untuk menciptakan pelbagai agenda yang solid yang akan dibahas pada Sidang Umum PBB di mana nuansa kompleksitasnya antara pelbagai kepentingan nasional dari negara-negara besar.

Pencapaian MDGs
Sebelum membahas agenda pembangunan pasca-2015, penulis akan membahas sejauh mana pelaksanaan MDGs oleh komunitas internasional. Untuk agenda pengentasan kemiskinan, pelbagai kawasan di dunia sudah memotong setengah dari 43% jumlah penduduk di dunia yang hidup dalam kemiskinan ekstrem pada 1990 menjadi 21% pada 2010.

Kemiskinan ekstrem di sini adalah mereka yang hidup di bawah dari USD 1,25/harinya. Jumlah populasi yang mendapatkan pendidikan dasar di dunia mulaimeningkatterutama pada penduduk yang tinggal di kawasan sub-Sahara Afrika dan Asia Selatan. Adapun, angka kematian anak-anak balita di dunia terjadi penurunan jumlah dari 11,7 juta di tahun 1990 menjadi 6,8 juta di tahun 2011.

Pada agenda pemberian akses kesehatan dan pengobatan bagi mereka yang hidup dengan HIV/AIDS terjadi peningkatan dari 1,3 juta orang di tahun 2005 menjadi lebih dari 8 juta orang pada 2011 (John Mc Arthur, 2013).

Dari semua capaian di atas, ada pelbagai agenda pembangunan yang belum terpenuhi dan memerlukan perhatian dunia untuk merealisasikannya yaitu: pemenuhan agenda pengentasan kelaparan, sanitasi dan pencapaian air bersih, perlindungan terhadap lingkungan, pengurangan ketimpangan gender pada pendidikan dan kemitraan global antara pelbagai negara maju dan berkembang. Pertanyaan selanjut adalah agenda-agenda pembangunan seperti apa yang akan diupayakan oleh PBB dan komunitas internasional setelah berakhirnya MDGs?

Pasca-2015
Pencapaian konsensus dari para anggota HLP yang dipimpin oleh SBY, David Cameron, dan Ellen Johnson Sirleaf cukup diapresiasi oleh pelbagai aktor di tingkat global. Masalahnya, laporan HLP tersebut masih jauh untuk benar-benar secara bulat disetujui oleh negaranegara anggota PBB di Majelis Umum pada bulan September 2014.

Sampai dengan September 2015 laporan tersebut akan dibahas dalam sidang-sidang di PBB seperti open working group on sustainable developments. Sebagai ilustrasi, global partnership yang menekankan sumbangsih dari negara-negara maju terhadap negara-negara berkembang dan tertinggal dalam rangka berbagi beban untuk membiayai pencapaian pelbagai agenda di atas.

Dari pengalaman MDGs, negara-negara maju diharapkan membuat upaya untuk memberikan 0,7% dari gross national income sesuai dengan Konferensi PBB untuk Pembiayaan Pembangunan di Monterrey, Meksiko (2002). Komitmen negaranegara maju adalah 0,22%. Jadi mereka butuh tenaga ekstra untuk merealisasikan target pembiayaan yang disepakati oleh negara-negara maju.

Negara-negara maju memiliki persepsi yang berbeda dalam melihat bantuan pembangunan. Pada satu sisi, di konferensi tingkat tinggi G-8 di Gleneagles tahun 2005, Inggris mendorong negara-negara maju untuk meningkatkan bantuan pembangunannya mencapai USD50 miliar di tahun 2010.

Di sisi lainnya, ada masalah belum optimalnya perhatian Amerika Serikat terhadap MDGs karena negara tersebut tidak ingin didikte oleh PBB perihal jumlah kuota bantuan pembangunan internasionalnya (Arthur, 2013).

Dari ulasan di atas, masih berliku dan terjalnya jalan menuju realisasi pelbagai agenda pembangunan pasca 2015 dikarenakan adanya perbedaan kepentingan nasional negaranegara maju dan minimnya pendanaan yang dimiliki negara-negara berkembang/ tertinggal dalam merealisasikan pelbagai agenda ideal tersebut.

Agar ke-12 agenda di atas menjadi agenda bersama di PBB, ada beberapa hal yang patut diperhatikan PBB dan komunitas internasional, yaitu: Pertama, perlunya keseimbangan antara idealisme dan pragmatisme menjadi penting dalam rangka mencapai konsensus atau kompromi antara (1) pelbagai perbedaan negara-negara maju dan (2) pelbagai perdebatan antara negaranegara maju dan berkembang/ tertinggal di Sidang Majelis Umum PBB mulai sekarang sampai akhir 2015.

Hal tersebut menjadi krusial untuk mempertemukan kepentingan nasional dari para anggota PBB dan menghindari buntunya (deadlock) lobi diplomatik dan negosiasi pada tingkat multilateral atas pelbagai agenda pembangunan tersebut.

Adanya kebuntuan pada sistem perdagangan multilateral (agenda pembangunan Doha) di World Trade Organization (WTO) dan agenda lingkungan pasca protokol Kyoto (United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCC) menjadi catatan tersendiri bagi negara-negara PBB bahwa mereka membutuhkan energi yang besar, fleksibilitas dan waktu yang lama untuk mencapai konsensus untuk keputusan bersama di PBB.

Kedua, pelibatan kerja sama pemerintah, bisnis, organisasi massa, lembaga swadaya masyarakat dan individu untuk menciptakan model kemitraan yang aplikatif dan efektif dengan cara konsultasi dan kerja sama berkala antara aktoraktor di atas untuk menjadikan 12 agenda jadi kepentingan bersama.

Diharapkan, pelibatan banyak aktor akan membuat mereka memiliki rasa tanggung jawab dan meningkatkan rasa loyalitas terhadap pelbagai agenda pasca 2015. Ketiga, perlunya mereformasi lembaga-lembaga keuangan internasional (International Monetary Fund (IMF), Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia dan Organization for Economic Cooperation and Development/ OECD) khususnya agar program-program mereka mengambil pelajaranpentingdari pelaksanaan MDGs dan mulai membuat kerangka pembiayaan yang efektif untuk realisasi atas pelbagai agenda pembangunan pasca- 2015.

BEGINDA PAKPAHAN
Dosen Hubungan Internasional Universitas Indonesia
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5440 seconds (0.1#10.140)