Penolakan terhadap Perppu MK dinilai tak mengerti UUD 45
A
A
A
Sindonews.com - Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana menegaskan, bahwa penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun 2013, tentang perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 24 tahun 2003, tentang Mahkamah Konstitusi atau yang dikenal dengan Perppu Penyelamatan MK, merupakan kewenangan konstitusional Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Hal itu pun, kata dia, sangat jelas di Pasal 22 ayat (1) Undang-undang Dasar (UUD) 1945, yang berbunyi "Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti Undang-undang".
"Siapapun yang menolak, dia enggak mengerti isinya," ujar Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana, usai acara diskusi dengan tema 'Menyelamatkan MK, Menyelamatkan Pemilu 2014' di Kemenkum HAM, Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (24/10/2013).
Sebab, menurutnya, berbagai kalangan yang menolak Perppu MK tersebut hanya mempermasalahkan ihwal kegentingan yang memaksa. Yakni adanya jeda waktu yang cukup lama, antara peristiwa penangkapan mantan Ketua MK nonaktif Akil Mochtar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan penerbitan Perppu tersebut.
Oleh karena itu, menurut dia, berbagai kalangan yang menolak Perppu itu harus memahami isinya, supaya dapat melihat secara utuh.
Menurutnya, Perppu MK itu pun tak sekedar memenuhi syarat kegentingan. Melainkan juga, isi Perppu MK itu pun penting.
Lebih lanjut dia mengatakan, ada tiga substansi inti Perppu MK tersebut. Yakni, penambahan syarat hakim konstitusi, perbaikan mekanisme seleksi hakim konstitusi dan penyempurnaan mekanisme pengawasan hakim konstitusi.
Dia pun menjelaskan mengenai syarat calon hakim konstitusi yang diatur di Perppu MK itu, yakni yang menegaskan bahwa tidak menjadi anggota partai politik (parpol) paling singkat tujuh tahun, sebelum diajukan sebagai calon hakim konstitusi.
"Syarat ini sejalan dengan logika putusan MK Nomor 81/PUU-XI/2011 terkait Undang-undang Penyelenggaraan Pemilu. Menguatkan kemandirian KPU dan Bawaslu, dengan batasan jeda lima tahun," tuturnya.
Klik di sini untuk berita terkait.
Hal itu pun, kata dia, sangat jelas di Pasal 22 ayat (1) Undang-undang Dasar (UUD) 1945, yang berbunyi "Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti Undang-undang".
"Siapapun yang menolak, dia enggak mengerti isinya," ujar Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana, usai acara diskusi dengan tema 'Menyelamatkan MK, Menyelamatkan Pemilu 2014' di Kemenkum HAM, Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (24/10/2013).
Sebab, menurutnya, berbagai kalangan yang menolak Perppu MK tersebut hanya mempermasalahkan ihwal kegentingan yang memaksa. Yakni adanya jeda waktu yang cukup lama, antara peristiwa penangkapan mantan Ketua MK nonaktif Akil Mochtar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan penerbitan Perppu tersebut.
Oleh karena itu, menurut dia, berbagai kalangan yang menolak Perppu itu harus memahami isinya, supaya dapat melihat secara utuh.
Menurutnya, Perppu MK itu pun tak sekedar memenuhi syarat kegentingan. Melainkan juga, isi Perppu MK itu pun penting.
Lebih lanjut dia mengatakan, ada tiga substansi inti Perppu MK tersebut. Yakni, penambahan syarat hakim konstitusi, perbaikan mekanisme seleksi hakim konstitusi dan penyempurnaan mekanisme pengawasan hakim konstitusi.
Dia pun menjelaskan mengenai syarat calon hakim konstitusi yang diatur di Perppu MK itu, yakni yang menegaskan bahwa tidak menjadi anggota partai politik (parpol) paling singkat tujuh tahun, sebelum diajukan sebagai calon hakim konstitusi.
"Syarat ini sejalan dengan logika putusan MK Nomor 81/PUU-XI/2011 terkait Undang-undang Penyelenggaraan Pemilu. Menguatkan kemandirian KPU dan Bawaslu, dengan batasan jeda lima tahun," tuturnya.
Klik di sini untuk berita terkait.
(stb)