Sawit, layu sebelum berkembang
A
A
A
BEBERAPA bulan menjelang konferensi APEC yang dibuka kemarin, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah jauh-jauh hari berteriak akan memperjuangkan kelapa sawit untuk dimasukkan ke dalam APEC’s Environmental Good List.
Menko Perekonomian Hatta Rajasa bahkan mengatakan akan berjuang untuk isu kelapa sawit di forum APEC. Ini soal perang dagang, demikian ungkapnya. Semangat dan retorika yang berapi-api ini semakin membara ketika upaya Indonesia memasukkan produk tersebut sebagai produk ramah lingkungan di Rusia gagal total. Pemerintah melemparkan kegagalan ini pada kampanye negatif atau kampanye hitam terhadap produk-produk kelapa sawit. Nyatanya, retorika itu pun kandas sebelum APEC dimulai (bisnis.co.id 1/10/13).
Pemerintah SBY tidak mampu meyakinkan bahwa kelapa sawit adalah produk agrikultur yang ramah lingkungan kepada 21 negara anggota APEC dalam pertemuan pendahuluan para pejabat senior yang berlangsung di Jakarta, Medan, dan Surabaya. Indonesia menerima alasan negara-negara lain bahwa upaya untuk mendesak kelapa sawit sebagai produk ramah lingkungan akan mendorong negara-negara lain untuk memasukkan produk ramah lingkungan mereka ke dalam agenda dan mengakibatkan agenda terlalu panjang dan lama.
Strategi lain yang akan dipakai pemerintahan Presiden SBY adalah dengan mengajukan kriteria baru dalam APEC’s Environmental Good List, yaitu bahwa produk ramah lingkungan harus mampu berkontribusi terhadap pertumbuhan berkelanjutan, pembangunan perdesaan, dan pengurangan kemiskinan. Strategi ini dianggap sesuai dengan target umum pertemuan Bali yang menyepakati sebuah inisiatif untuk mendukung produk-produk yang berkontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan, pembangunan perdesaan, dan penanggulangan kemiskinan.
Dengan menambahkan kriteria baru, jalan untuk memasukkan kelapa sawit diharapkan sedikit terbuka. Kegagalan ini tentu berdampak besar karena dengan demikian upaya untuk memasukkan kelapa sawit di dalam WTO sebagai produk ramah lingkungan juga terhambat. Produk-produk ramah lingkungan dalam pasar sangat signifikan karena negara-negara APEC menyumbang hampir 60% produk-produk ramah lingkungan. Produk-produk tersebut terutama adalah teknologi terbarukan dan ramah lingkungan, teknologi limbah cair, teknologi alat kontrol pencemaran, teknologi penghancur limbah berbahaya, dan peralatan pemantau keramahan lingkungan.
Siapakah negara-negara yang berperan besar dalam menghasilkan produk-produk tersebut? Di antara mereka adalah Amerika, China, Korea Selatan, Jepang, Taiwan, Singapura, dan Meksiko. Produk-produk mereka akan menerima keuntungan dalam penetrasinya ke pasar negara anggota APEC karena negara-negara APEC tidak boleh mengenakan pajak lebih besar dari 5% terhadap produk-produk yang masuk dalam daftar itu mulai 31 Desember 2015. Saat ini kawasan negara-negara APEC memberlakukan tarif, sebagai contoh 35% untuk teknologi energi terbarukan.
Pada akhir 2015, tarif itu harus berkurang menjadi maksimal 5%. Bayangkan kalau masuk ke dalam daftar tersebut, kelapa sawit dapat lebih bersaing dengan produk sejenis dari kedelai atau rapeseed (canola). Kegagalan berulang kali untuk memasukkan kelapa sawit sebagai produk ramah lingkungan dalam forum-forum internasional sewajarnya mendorong SBY dan para pembantunya untuk berpikir dan mengidentifikasi kekurangan apa yang telah membuat upaya itu tidak berhasil.
Hingga saat ini, alasan yang selalu dikumandangkan untuk menjelaskan kegagalan itu adalah adanya kampanye negatif dari negara-negara Eropa atau Amerika yang bekerja sama dengan LSM baik di dalam maupun di luar negeri. Semestinya pemerintahan SBY perlu menyadari bahwa melemparkan kesalahan kepada orang lain tidak membantu apa pun dalam diplomasi perdagangan sawit kita.
Pemerintahan SBY perlu memperbaiki masalah-masalah internal yang memang bawaan dari produk kelapa sawit. Hal yang paling penting adalah keikutsertaan dan dukungan pemerintah mendorong sertifikasi produk kelapa sawit yang lestari. Saat ini ada dua lembaga sertifikasi kelapa sawit yang berperan menghalalkan produk kelapa sawit sebagai bagian dari proses produksi yang ramah lingkungan.
Dua lembaga itu adalah Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) dan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Selain itu, ada lembaga baru yang memiliki standar jauh melebihi RSPO dan ISPO, yaitu Palm Oil Innovation Group (POIG) yang secara khusus fokus untuk mengurangi deforestasi dan pencemaran karbon emisi. Selain ISPO yang bersifat wajib dan lebih banyak melibatkan pemerintah, RSPO dan POIG dimotori multi-stakeholder yang keanggotaannya tidak wajib terdiri atas para grower, akademisi, NGO, peritel, dan individu.
Dalam rantai produksi kapitalisme, lembaga-lembaga sertifikasi itu berfungsi sebagai pengatur pasar swasta yang nonnegara. Mereka menggunakan standar teknis dan sosial internasional untuk memverifikasi pemenuhan produk atas kriteria tertentu yang menjadi tuntutan pengguna, khususnya konsumen. Lembaga sertifikasi ini meliputi semua sektor dari kehutanan, tekstil, garmen, udang, kedelai hingga kelapa sawit. Para pengusaha harus mengeluarkan investasi yang besar untuk bisa mendapatkan sertifikasi dari lembaga-lembaga tersebut dan tentu akan memarjinalisasi para pengusaha kecil yang tidak memiliki kecukupan modal.
Dalam konteks kepala sawit, Pemerintah Indonesia tidak terlalu menyukai keberadaan lembaga sertifikasi ini. Beberapa tahun lalu, pemerintah terkesan mendukung aksi mobilisasi massa yang menolak keberadaan beberapa LSM lingkungan seperti Greenpeace karena dianggap melancarkan kampanye negatif terhadap kelapa sawit. Pemerintah pun mendukung Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) untuk mundur dari RSPO dengan alasan kriteria yang diputuskan selalu merugikan pengusaha sawit Indonesia.
Secara formal, mereka menyatakan kemundurannya lebih untuk fokus membangun ISPO. Lembaga sertifikasi internasional seperti RSPO sangat berpengaruh kepada pasar. Pada 2015, Uni Eropa sudah menyatakan komitmen akan menggunakan 100% sustainable palm oil yang diimpor dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Mereka akan menolak produk-produk yang tidak tesertifikasi. Arti 100% itu bukan cuma CPO, tetapi juga produk turunannya seperti kosmetik, sabun, odol, minyak goreng hingga obat-obatan.
Sebab itu, anggota RSPO tidak hanya para pengusaha perkebunan, tetapi juga pengusaha obat dan perbankan yang memberikan pinjaman modal bisnis ke usaha yang terkait dengan kelapa sawit. Bila pemerintah ingin memasukkan kelapa sawit sebagai produk ramah lingkungan, pertempuran seharusnya diawali di lembaga-lembaga sertifikasi ini. Pemerintah harus mulai mendorong kajian atau penelitian yang tidak hanya meliputi sisi lingkungan atau ekonomi, tetapi juga meliputi etika, filsafat, dan politik.
Sesumbar tentang kuatnya kampanye negatif terhadap sektor kelapa sawit tanpa membangun pemikiran atau ide-ide alternatif sama halnya dengan menegakkan benang basah. Misalnya keinginan untuk memasukkan hubungan kelapa sawit dan penghapusan kemiskinan sebagai kriteria baru dalam APEC Environmental Good List sebetulnya sudah tercakup dalam prinsip dan kriteria RSPO.
Masalahnya, kita belum pernah bisa membuktikan hal itu secara ilmiah karena kurangnya penelitian dan kajian yang meliputi segala aspek dari sisi lingkungan hingga filosofinya.
DINNA WISNU
PhD Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina
@dinnawisnu
Menko Perekonomian Hatta Rajasa bahkan mengatakan akan berjuang untuk isu kelapa sawit di forum APEC. Ini soal perang dagang, demikian ungkapnya. Semangat dan retorika yang berapi-api ini semakin membara ketika upaya Indonesia memasukkan produk tersebut sebagai produk ramah lingkungan di Rusia gagal total. Pemerintah melemparkan kegagalan ini pada kampanye negatif atau kampanye hitam terhadap produk-produk kelapa sawit. Nyatanya, retorika itu pun kandas sebelum APEC dimulai (bisnis.co.id 1/10/13).
Pemerintah SBY tidak mampu meyakinkan bahwa kelapa sawit adalah produk agrikultur yang ramah lingkungan kepada 21 negara anggota APEC dalam pertemuan pendahuluan para pejabat senior yang berlangsung di Jakarta, Medan, dan Surabaya. Indonesia menerima alasan negara-negara lain bahwa upaya untuk mendesak kelapa sawit sebagai produk ramah lingkungan akan mendorong negara-negara lain untuk memasukkan produk ramah lingkungan mereka ke dalam agenda dan mengakibatkan agenda terlalu panjang dan lama.
Strategi lain yang akan dipakai pemerintahan Presiden SBY adalah dengan mengajukan kriteria baru dalam APEC’s Environmental Good List, yaitu bahwa produk ramah lingkungan harus mampu berkontribusi terhadap pertumbuhan berkelanjutan, pembangunan perdesaan, dan pengurangan kemiskinan. Strategi ini dianggap sesuai dengan target umum pertemuan Bali yang menyepakati sebuah inisiatif untuk mendukung produk-produk yang berkontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan, pembangunan perdesaan, dan penanggulangan kemiskinan.
Dengan menambahkan kriteria baru, jalan untuk memasukkan kelapa sawit diharapkan sedikit terbuka. Kegagalan ini tentu berdampak besar karena dengan demikian upaya untuk memasukkan kelapa sawit di dalam WTO sebagai produk ramah lingkungan juga terhambat. Produk-produk ramah lingkungan dalam pasar sangat signifikan karena negara-negara APEC menyumbang hampir 60% produk-produk ramah lingkungan. Produk-produk tersebut terutama adalah teknologi terbarukan dan ramah lingkungan, teknologi limbah cair, teknologi alat kontrol pencemaran, teknologi penghancur limbah berbahaya, dan peralatan pemantau keramahan lingkungan.
Siapakah negara-negara yang berperan besar dalam menghasilkan produk-produk tersebut? Di antara mereka adalah Amerika, China, Korea Selatan, Jepang, Taiwan, Singapura, dan Meksiko. Produk-produk mereka akan menerima keuntungan dalam penetrasinya ke pasar negara anggota APEC karena negara-negara APEC tidak boleh mengenakan pajak lebih besar dari 5% terhadap produk-produk yang masuk dalam daftar itu mulai 31 Desember 2015. Saat ini kawasan negara-negara APEC memberlakukan tarif, sebagai contoh 35% untuk teknologi energi terbarukan.
Pada akhir 2015, tarif itu harus berkurang menjadi maksimal 5%. Bayangkan kalau masuk ke dalam daftar tersebut, kelapa sawit dapat lebih bersaing dengan produk sejenis dari kedelai atau rapeseed (canola). Kegagalan berulang kali untuk memasukkan kelapa sawit sebagai produk ramah lingkungan dalam forum-forum internasional sewajarnya mendorong SBY dan para pembantunya untuk berpikir dan mengidentifikasi kekurangan apa yang telah membuat upaya itu tidak berhasil.
Hingga saat ini, alasan yang selalu dikumandangkan untuk menjelaskan kegagalan itu adalah adanya kampanye negatif dari negara-negara Eropa atau Amerika yang bekerja sama dengan LSM baik di dalam maupun di luar negeri. Semestinya pemerintahan SBY perlu menyadari bahwa melemparkan kesalahan kepada orang lain tidak membantu apa pun dalam diplomasi perdagangan sawit kita.
Pemerintahan SBY perlu memperbaiki masalah-masalah internal yang memang bawaan dari produk kelapa sawit. Hal yang paling penting adalah keikutsertaan dan dukungan pemerintah mendorong sertifikasi produk kelapa sawit yang lestari. Saat ini ada dua lembaga sertifikasi kelapa sawit yang berperan menghalalkan produk kelapa sawit sebagai bagian dari proses produksi yang ramah lingkungan.
Dua lembaga itu adalah Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) dan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Selain itu, ada lembaga baru yang memiliki standar jauh melebihi RSPO dan ISPO, yaitu Palm Oil Innovation Group (POIG) yang secara khusus fokus untuk mengurangi deforestasi dan pencemaran karbon emisi. Selain ISPO yang bersifat wajib dan lebih banyak melibatkan pemerintah, RSPO dan POIG dimotori multi-stakeholder yang keanggotaannya tidak wajib terdiri atas para grower, akademisi, NGO, peritel, dan individu.
Dalam rantai produksi kapitalisme, lembaga-lembaga sertifikasi itu berfungsi sebagai pengatur pasar swasta yang nonnegara. Mereka menggunakan standar teknis dan sosial internasional untuk memverifikasi pemenuhan produk atas kriteria tertentu yang menjadi tuntutan pengguna, khususnya konsumen. Lembaga sertifikasi ini meliputi semua sektor dari kehutanan, tekstil, garmen, udang, kedelai hingga kelapa sawit. Para pengusaha harus mengeluarkan investasi yang besar untuk bisa mendapatkan sertifikasi dari lembaga-lembaga tersebut dan tentu akan memarjinalisasi para pengusaha kecil yang tidak memiliki kecukupan modal.
Dalam konteks kepala sawit, Pemerintah Indonesia tidak terlalu menyukai keberadaan lembaga sertifikasi ini. Beberapa tahun lalu, pemerintah terkesan mendukung aksi mobilisasi massa yang menolak keberadaan beberapa LSM lingkungan seperti Greenpeace karena dianggap melancarkan kampanye negatif terhadap kelapa sawit. Pemerintah pun mendukung Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) untuk mundur dari RSPO dengan alasan kriteria yang diputuskan selalu merugikan pengusaha sawit Indonesia.
Secara formal, mereka menyatakan kemundurannya lebih untuk fokus membangun ISPO. Lembaga sertifikasi internasional seperti RSPO sangat berpengaruh kepada pasar. Pada 2015, Uni Eropa sudah menyatakan komitmen akan menggunakan 100% sustainable palm oil yang diimpor dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Mereka akan menolak produk-produk yang tidak tesertifikasi. Arti 100% itu bukan cuma CPO, tetapi juga produk turunannya seperti kosmetik, sabun, odol, minyak goreng hingga obat-obatan.
Sebab itu, anggota RSPO tidak hanya para pengusaha perkebunan, tetapi juga pengusaha obat dan perbankan yang memberikan pinjaman modal bisnis ke usaha yang terkait dengan kelapa sawit. Bila pemerintah ingin memasukkan kelapa sawit sebagai produk ramah lingkungan, pertempuran seharusnya diawali di lembaga-lembaga sertifikasi ini. Pemerintah harus mulai mendorong kajian atau penelitian yang tidak hanya meliputi sisi lingkungan atau ekonomi, tetapi juga meliputi etika, filsafat, dan politik.
Sesumbar tentang kuatnya kampanye negatif terhadap sektor kelapa sawit tanpa membangun pemikiran atau ide-ide alternatif sama halnya dengan menegakkan benang basah. Misalnya keinginan untuk memasukkan hubungan kelapa sawit dan penghapusan kemiskinan sebagai kriteria baru dalam APEC Environmental Good List sebetulnya sudah tercakup dalam prinsip dan kriteria RSPO.
Masalahnya, kita belum pernah bisa membuktikan hal itu secara ilmiah karena kurangnya penelitian dan kajian yang meliputi segala aspek dari sisi lingkungan hingga filosofinya.
DINNA WISNU
PhD Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina
@dinnawisnu
(hyk)