Memisterikan korupsi dengan sandi
A
A
A
KEMUNCULAN bahasa sandi dalam sidang pengadilan korupsi bukan hal baru. Sudah digunakan oleh Al-Amin Nur Nasution, mantan anggota DPR yang terlibat dalam kasus pengalihfungsian hutan lindung di Sumatera.
Al-Amin menyembunyikan berbagai fakta lewat kata-kata sandi yang diungkapkan kepada Sujud Suradjuddin. Ia mengganti kata ”uang” dengan ”baju atau tailor”. Dalam percakapan Artalyta Suryani dan Jaksa Urip Tri Gunawan saat menjalani sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), juga menggunakan bahasa sandi yang sempat disadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Keduanya menyebut dirinya ”bapak dan ibu guru”, sedangkan ketua majelis hakim dipelesetkan sebagai ”rektor”. Begitu pula kasus Wisma Atlet, bahasa sandi juga digunakan seperti ”apel malang” untuk mengganti kata rupiah, ”apel washington” untuk uang dolar AS, ”ketua besar, bos besar, atau ibu artis”. Tujuannya untuk memisterikan perbuatan korupsi dengan bahasa sandi.
Begitu pula pada sidang Pengadilan Tipikor, Jakarta terhadap kasus suap kuota daging impor sapi di Kementerian Pertanian. Ridwan yang diajukan sebagai saksi atas terdakwa Ahmad Fathanah menyebut sejumlah nama, misalnya ”Sekman, Bunda Putri, Engkong, dan Hendra”, bahkan ada kata sandi ”40”.
Saat Ketua Majelis Hakim Nawawi Pomolango menanyakan maksud angka ‘40’, Ridwan hanya menyebut bahwa ‘Sekman itu nama orang sebagai utusannya Pak Presiden kalau datang ke PKS (KORAN SINDO, 31/8/2013). Apakah angka ”40” berarti Rp40 miliar yang dalam percakapan telepon disebut dialirkan kepada Sekman, seorang pengusaha yang disebut-sebut utusan Presiden SBY. Itulah bahasa sandi antara Ridwan dan seorang wanita yang diduga punya pengaruh besar atas kekisruhan impor daging sapi. Selalu saja muncul pola pengaburan identitas dengan beragam sandi, baik untuk menyebut orang, objek, maupun situasi tertentu.
Mengelabui logika
Modus untuk memisterikan pelaku korupsi dan kroninya selalu dibungkus dengan berbagai cara. Akal sehat kita dikelabui, seolah-olah tidak punya nalar dan logika. Selain ingin memengaruhi persepsi publik, juga berupaya mengelabui hakim dengan membuat asumsi defensif bahwa ”itu bukan kerja koruptor”. Tetapi logika kesaksian Ridwan bisa dibalikkan dengan konstruksi, bahwa para pencoleng uang rakyat menyadari kalau ia selalu dipantau oleh KPK.
Itu sebabnya harus ada bahasa sandi untuk mengelabui logika berpikir publik. Tujuannya untuk memisterikan pelaku dan substansi pembicaraan. Mereka berjudi dengan meyakinkan diri bahwa tidak mungkin KPK menyadap teleponnya. Begitulah hegemoni bahasa sandi dalam kasus korupsi yang dilakukan berjamaah, sebagai bagian dari upaya melemahkan akal sehat publik.
Bukan hanya itu, terdakwa dan saksi juga melakukan upaya pengingkaran fakta secara verbal dengan menyatakan ”tidak kenal dengan nama-nama” yang diungkap dalam sidang. Pola defensif dengan memisterikan keterlibatan seseorang dalam sidang pengadilan, bukan hal aneh. Banyak cara yang dilakukan saksi, apalagi terdakwa untuk menutupi keterlibatannya.
Pola penyangkalan seperti itu tidak hanya merendahkan hukum, tetapi juga sudah menistakan kecerdasan rakyat sebagai subjek yang dirugikan oleh penggarongan uang negara. Anak-anak muda yang ditangkap KPK sepertinya terjebak oleh kultur kreativitas dengan modus aneka konspirasi. Ini mengisyaratkan betapa akar gurita korupsi membutuhkan perjuangan panjang untuk mengikisnya. Salah satu penyebabnya karena selalu ada ruang dan waktu untuk melepaskan diri dari jeratan hukum.
Pecahkan sandi
Boleh jadi logika publik akan terus dikelabui oleh beragam sandi komunikasi dalam menjarah uang rakyat. Selalu ada keberanian untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan dengan mencari celah agar lolos dari jerat hukum. Keberanian mengelabui publik yang sesungguhnya harus diamputasi dengan menggunakan hukum yang lebih bertenaga dan memiliki efek penjeraan.
Tidak boleh ada toleransi yang memungkinkan keberanian para koruptor dan jejaringnya lebih termotivasi menggarong uang rakyat. Progresivitas penegakan hukum mesti didorong oleh kekuatan rakyat untuk menekan peluang penyalahgunaan wewenang. Bahasa sandi yang dipraktikkan melalui kesaksian di pengadilan dengan aneka kreasinya harus dihentikan.
Jika tidak, akan menjadi preseden bagi kroni koruptor yang ikut bersaksi di pengadilan, seolah-olah penuntut umum dan hakim tidak memiliki cukup bukti untuk menghukum mereka. Serangan bahasa sandi dalam proses hukum perkara korupsi, merupakan fenomena hukum yang akan terus berkembang jika tidak diamputasi. Aneka konspirasi itu akan terus menjebak kita, jika tidak mampu menerjemahkan bahasa sandi yang mereka pakai untuk menyamarkan korupsinya.
KPK selaku penyidik dan penuntut, dan hakim selaku pengadil harus memahami permainan bahasa sandi. Modus pengelabuan itu membawa pesan kuat terhadap akal sehat publik. Secara terselubung, ingin menjustifikasi persepsi publik bahwa penyelewengan yang dilakukannya bukan perbuatan melawan hukum. Memang tidak semua bahasa sandi bisa dibedah maknanya, apalagi terdengar santun dan disampaikan dengan gaya bahasa yang halus.
Tetapi karena hakikat bahasa selalu ada maknanya yang secara formal digunakan untuk mengelabui hakim, bahasa sandi dalam setiap percakapan yang terungkap dalam sidang harus dipecahkan. Kita tidak boleh kalah oleh permainan mereka, sebab setiap bahasa sandi selalu ada kuncinya. Harus dipecahkan dan menjadikannya sebagai fakta hukum untuk menjatuhkan sanksi yang setimpal. Laksana peribahasa, sepandai-pandai koruptor menyembunyikan korupsinya dengan bahasa sandi, pada akhirnya terendus juga.
MARWAN MAS
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar
Al-Amin menyembunyikan berbagai fakta lewat kata-kata sandi yang diungkapkan kepada Sujud Suradjuddin. Ia mengganti kata ”uang” dengan ”baju atau tailor”. Dalam percakapan Artalyta Suryani dan Jaksa Urip Tri Gunawan saat menjalani sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), juga menggunakan bahasa sandi yang sempat disadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Keduanya menyebut dirinya ”bapak dan ibu guru”, sedangkan ketua majelis hakim dipelesetkan sebagai ”rektor”. Begitu pula kasus Wisma Atlet, bahasa sandi juga digunakan seperti ”apel malang” untuk mengganti kata rupiah, ”apel washington” untuk uang dolar AS, ”ketua besar, bos besar, atau ibu artis”. Tujuannya untuk memisterikan perbuatan korupsi dengan bahasa sandi.
Begitu pula pada sidang Pengadilan Tipikor, Jakarta terhadap kasus suap kuota daging impor sapi di Kementerian Pertanian. Ridwan yang diajukan sebagai saksi atas terdakwa Ahmad Fathanah menyebut sejumlah nama, misalnya ”Sekman, Bunda Putri, Engkong, dan Hendra”, bahkan ada kata sandi ”40”.
Saat Ketua Majelis Hakim Nawawi Pomolango menanyakan maksud angka ‘40’, Ridwan hanya menyebut bahwa ‘Sekman itu nama orang sebagai utusannya Pak Presiden kalau datang ke PKS (KORAN SINDO, 31/8/2013). Apakah angka ”40” berarti Rp40 miliar yang dalam percakapan telepon disebut dialirkan kepada Sekman, seorang pengusaha yang disebut-sebut utusan Presiden SBY. Itulah bahasa sandi antara Ridwan dan seorang wanita yang diduga punya pengaruh besar atas kekisruhan impor daging sapi. Selalu saja muncul pola pengaburan identitas dengan beragam sandi, baik untuk menyebut orang, objek, maupun situasi tertentu.
Mengelabui logika
Modus untuk memisterikan pelaku korupsi dan kroninya selalu dibungkus dengan berbagai cara. Akal sehat kita dikelabui, seolah-olah tidak punya nalar dan logika. Selain ingin memengaruhi persepsi publik, juga berupaya mengelabui hakim dengan membuat asumsi defensif bahwa ”itu bukan kerja koruptor”. Tetapi logika kesaksian Ridwan bisa dibalikkan dengan konstruksi, bahwa para pencoleng uang rakyat menyadari kalau ia selalu dipantau oleh KPK.
Itu sebabnya harus ada bahasa sandi untuk mengelabui logika berpikir publik. Tujuannya untuk memisterikan pelaku dan substansi pembicaraan. Mereka berjudi dengan meyakinkan diri bahwa tidak mungkin KPK menyadap teleponnya. Begitulah hegemoni bahasa sandi dalam kasus korupsi yang dilakukan berjamaah, sebagai bagian dari upaya melemahkan akal sehat publik.
Bukan hanya itu, terdakwa dan saksi juga melakukan upaya pengingkaran fakta secara verbal dengan menyatakan ”tidak kenal dengan nama-nama” yang diungkap dalam sidang. Pola defensif dengan memisterikan keterlibatan seseorang dalam sidang pengadilan, bukan hal aneh. Banyak cara yang dilakukan saksi, apalagi terdakwa untuk menutupi keterlibatannya.
Pola penyangkalan seperti itu tidak hanya merendahkan hukum, tetapi juga sudah menistakan kecerdasan rakyat sebagai subjek yang dirugikan oleh penggarongan uang negara. Anak-anak muda yang ditangkap KPK sepertinya terjebak oleh kultur kreativitas dengan modus aneka konspirasi. Ini mengisyaratkan betapa akar gurita korupsi membutuhkan perjuangan panjang untuk mengikisnya. Salah satu penyebabnya karena selalu ada ruang dan waktu untuk melepaskan diri dari jeratan hukum.
Pecahkan sandi
Boleh jadi logika publik akan terus dikelabui oleh beragam sandi komunikasi dalam menjarah uang rakyat. Selalu ada keberanian untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan dengan mencari celah agar lolos dari jerat hukum. Keberanian mengelabui publik yang sesungguhnya harus diamputasi dengan menggunakan hukum yang lebih bertenaga dan memiliki efek penjeraan.
Tidak boleh ada toleransi yang memungkinkan keberanian para koruptor dan jejaringnya lebih termotivasi menggarong uang rakyat. Progresivitas penegakan hukum mesti didorong oleh kekuatan rakyat untuk menekan peluang penyalahgunaan wewenang. Bahasa sandi yang dipraktikkan melalui kesaksian di pengadilan dengan aneka kreasinya harus dihentikan.
Jika tidak, akan menjadi preseden bagi kroni koruptor yang ikut bersaksi di pengadilan, seolah-olah penuntut umum dan hakim tidak memiliki cukup bukti untuk menghukum mereka. Serangan bahasa sandi dalam proses hukum perkara korupsi, merupakan fenomena hukum yang akan terus berkembang jika tidak diamputasi. Aneka konspirasi itu akan terus menjebak kita, jika tidak mampu menerjemahkan bahasa sandi yang mereka pakai untuk menyamarkan korupsinya.
KPK selaku penyidik dan penuntut, dan hakim selaku pengadil harus memahami permainan bahasa sandi. Modus pengelabuan itu membawa pesan kuat terhadap akal sehat publik. Secara terselubung, ingin menjustifikasi persepsi publik bahwa penyelewengan yang dilakukannya bukan perbuatan melawan hukum. Memang tidak semua bahasa sandi bisa dibedah maknanya, apalagi terdengar santun dan disampaikan dengan gaya bahasa yang halus.
Tetapi karena hakikat bahasa selalu ada maknanya yang secara formal digunakan untuk mengelabui hakim, bahasa sandi dalam setiap percakapan yang terungkap dalam sidang harus dipecahkan. Kita tidak boleh kalah oleh permainan mereka, sebab setiap bahasa sandi selalu ada kuncinya. Harus dipecahkan dan menjadikannya sebagai fakta hukum untuk menjatuhkan sanksi yang setimpal. Laksana peribahasa, sepandai-pandai koruptor menyembunyikan korupsinya dengan bahasa sandi, pada akhirnya terendus juga.
MARWAN MAS
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar
(nfl)