Preman balok
A
A
A
KEBIADABAN preman yang menyekap, menelanjangi, menyundut api, kepada perempuan penjual kopi keliling, membuktikan bahwa manusia jenis seperti ini masih akan selalu ada.
Manusia yang hanya mengenal bahasa kekerasan—dalam segala hal untuk semua hal. Tak ada bahasa lain yang dipahami selain kekerasan. Bahasa itu pula yang, mungkin, bisa menghentikan kebiadabannya.
Balok
Bahkan dalam dunia para kriminalis sekalipun, preman seperti ini mendapat labeling tersendiri, mempunyai kelas yang khas. Kalau nama pelaku Udin, biasanya disebut Udin Balok—mengacu pada balok yang digunakan sebagai senjata, sesuatu yang tidak praktis. Atau juga Udin Saraf—mengacu pada tingkat ketidakwarasannya, yang tak bisa membedakan salah atau benar, perlu atau tidak.
Atau Udin Pelor—mengacu pada jalannya peluru yang lurus tak berbelok, jika disuruh melaksanakan perintah. Saya pernah menuliskan jenis kelompok ini dalam beberapa buku, antara lain Menghitung Hari, di mana perilaku, kebiasaan, cara berpikir, dan terutama perbuatannya, tak berhubungan langsung antara sebab dan akibat. Cacat saraf ini diperoleh sejak masuk dalam dunia kriminal, dan terus berlangsung, yang dipahami dengan bahasa kekerasan dan atau kekejian.
F, yang baru berusia 20 tahun, yang diduga tapi juga mengaku melakukan kekejian ini, adalah jenis ini. Juga teman-temannya satu kelompok. Mereka ini biasa berlatar belakang pendidikan rendah— sebagian benar-benar tak bisa baca tulis, kriminalis kelas teri—kasusnya penjambretan, penodongan, pemalakan, pemaksaan.
Korbannya pun kebanyakan perempuan yang belanja ke pasar tradisional, pedagang kecil, tukang ojek atau anak sekolah yang bersepatu mewah. Namun kehadirannya membuat resah. Karena jumlahnya banyak sekali, dan membahayakan sekali, karena tak ada alasan yang masuk akal.
Berarakan
Kalau kita lihat berita penyiksaan pada korban, ibu yang berusia 45 tahun sudah memiliki beberapa anak, penjual kopi seduhan, kita menemukan contoh nyata. Preman Balok ini memalak. Karena tidak diberi, korban disekap. Ditelanjangi, disundut rokok, dialiri plastik yang dibakar— tetesan plastik itu masih menyala di kulit, atau dinistakan keperempuannya.
Akal sehat tak menemukan— dan memang tak diperlukan akal sehat yang wajar, yang normal—hubungan antara menelanjangi dan meminta palakan seratus ribu rupiah. Kalau korban tak memiliki uang, dibakar pun tetap tak akan keluar duitnya. Tapi inilah yang terjadi. Dan menjadi cara kerja, menjadi dari modus operandi, yang selalu dilakukan. Saya pernah mencatati kelainan reaksi mereka ini. Ketika menodong kalung, dan ternyata kalung itu bukan emas, mereka memaksa korban untuk menelannya.
Ketika melihat anting kecil di telinga bayi, mereka akan membetotnya begitu saja. Ketika berada dalam penjara, selalu berteriak-teriak, memukuli jeruji besi, pada jam sel dibuka. Namun begitu dibuka, mereka tak pergi jauh dari pintu. Mereka marah kalau cadongan terlambat, tapi begitu datang nasi dibuang berarakan. Mereka menggunakan toilet yang sama dengan 20 atau 40 orang yang lain, tapi beol tidak di lubangnya.
Kalau kemudian mereka digebuki sesama napi, akan berteriak keras “ampuuun negara”, tapi sebelum darahnya kering mengulangi lagi kekonyolannya. Mereka ini hari ini bebas dari penjara setelah menjalani hukumannya, sorenya bisa ditahan di kantor polisi: karena tak mau membayar ongkos bis, karena menggunakan surat bebas untuk makan gratis di warung.
Rusak
Saya pernah patah hati bergaul dengan mereka ini, juga di luar penjara. Bersama Harry Tjahjono yang sekarang terus melakukan orasi antikorupsi dan beberapa teman seniman lain, kami menampung mereka dalam satu tempat. Mengajari cara memulung dengan baik dan benar—termasuk tak ada gunanya melemparkan sampah yang tak bermanfaat, mengatur rute agar tidak bertabrakan, memisahkan barang pulungan, tapi masih terjadi keributan.
Atau menyiksa kucing, anjing yang dipelihara bersama. Puncaknya adalah mereka yang ditampung ini tak bisa menghilangkan kebiasaan mengintip tetangga mandi. Sanksi terbesar, yaitu diusir dari penampungan pun terus terjadi. Ada sesuatu yang salah pada mereka ini. Atau sesuatu yang telanjur rusak, dan memerlukan upaya yang panjang dan serba sabaaaaar untuk memperbaiki.
Sementara jalan pendek, adalah dengan bahasa yang mereka mengerti. Bahasa kekerasan dengan menangkap, memenjarakan. Setidaknya untuk sementara kerusakan kini beralih lokasi. Tidak di jalanan lagi, melainkan dalam lembaga pemasyarakatan, dengan tingkat risiko lebih balok, lebih saraf lagi. Karena biasanya hanya terkena kurungan kurang dari dua tahun, segera mereka ini melakukan kegiatannya di jalanan.
Bergabung dengan komunitas yang dikenalnya, yang menampung, walau bisa juga menjadi musuhnya. Mungkin akan terus berputar begitu, namun kalau bisa segera mungkin dihentikan, ibu penjual kopi—atau korban, akan lebih awal diselamatkan. Dan hanya itu cara menghentikan kekejian. Syukur sebelum mereka melakukan. Mungkin contoh terakhir ini bisa memberi gambaran agak lengkap, macam mana preman balok itu.
Suatu saat saya tak tega melihat tahanan yang baru datang, dipukuli, digebuki ketika diperiksa. Agaknya para sipir kesal, karena yang bersangkutan tak mau menyebut namanya. Ditanya siapa namanya untuk disesuaikan dengan berkas, dianya memilih bisu. Bahkan setelah babak belur pun mengaku namanya, sebagai nama perempuan. Apalagi kalau ditanya alamat terakhir atau kasusnya dijawab lupa.
Apa pun yang dilakukan, ketika meresahkan dan menyakiti secara sadis pada masyarakat, mereka ini perlu disikat. Dengan keras, karena ini bahasa yang mereka kenal, sehingga mereka bisa takut, jera, atau tiarap. Walau sesaat.
ARSWENDO ATMOWILOTO
Budayawan
Manusia yang hanya mengenal bahasa kekerasan—dalam segala hal untuk semua hal. Tak ada bahasa lain yang dipahami selain kekerasan. Bahasa itu pula yang, mungkin, bisa menghentikan kebiadabannya.
Balok
Bahkan dalam dunia para kriminalis sekalipun, preman seperti ini mendapat labeling tersendiri, mempunyai kelas yang khas. Kalau nama pelaku Udin, biasanya disebut Udin Balok—mengacu pada balok yang digunakan sebagai senjata, sesuatu yang tidak praktis. Atau juga Udin Saraf—mengacu pada tingkat ketidakwarasannya, yang tak bisa membedakan salah atau benar, perlu atau tidak.
Atau Udin Pelor—mengacu pada jalannya peluru yang lurus tak berbelok, jika disuruh melaksanakan perintah. Saya pernah menuliskan jenis kelompok ini dalam beberapa buku, antara lain Menghitung Hari, di mana perilaku, kebiasaan, cara berpikir, dan terutama perbuatannya, tak berhubungan langsung antara sebab dan akibat. Cacat saraf ini diperoleh sejak masuk dalam dunia kriminal, dan terus berlangsung, yang dipahami dengan bahasa kekerasan dan atau kekejian.
F, yang baru berusia 20 tahun, yang diduga tapi juga mengaku melakukan kekejian ini, adalah jenis ini. Juga teman-temannya satu kelompok. Mereka ini biasa berlatar belakang pendidikan rendah— sebagian benar-benar tak bisa baca tulis, kriminalis kelas teri—kasusnya penjambretan, penodongan, pemalakan, pemaksaan.
Korbannya pun kebanyakan perempuan yang belanja ke pasar tradisional, pedagang kecil, tukang ojek atau anak sekolah yang bersepatu mewah. Namun kehadirannya membuat resah. Karena jumlahnya banyak sekali, dan membahayakan sekali, karena tak ada alasan yang masuk akal.
Berarakan
Kalau kita lihat berita penyiksaan pada korban, ibu yang berusia 45 tahun sudah memiliki beberapa anak, penjual kopi seduhan, kita menemukan contoh nyata. Preman Balok ini memalak. Karena tidak diberi, korban disekap. Ditelanjangi, disundut rokok, dialiri plastik yang dibakar— tetesan plastik itu masih menyala di kulit, atau dinistakan keperempuannya.
Akal sehat tak menemukan— dan memang tak diperlukan akal sehat yang wajar, yang normal—hubungan antara menelanjangi dan meminta palakan seratus ribu rupiah. Kalau korban tak memiliki uang, dibakar pun tetap tak akan keluar duitnya. Tapi inilah yang terjadi. Dan menjadi cara kerja, menjadi dari modus operandi, yang selalu dilakukan. Saya pernah mencatati kelainan reaksi mereka ini. Ketika menodong kalung, dan ternyata kalung itu bukan emas, mereka memaksa korban untuk menelannya.
Ketika melihat anting kecil di telinga bayi, mereka akan membetotnya begitu saja. Ketika berada dalam penjara, selalu berteriak-teriak, memukuli jeruji besi, pada jam sel dibuka. Namun begitu dibuka, mereka tak pergi jauh dari pintu. Mereka marah kalau cadongan terlambat, tapi begitu datang nasi dibuang berarakan. Mereka menggunakan toilet yang sama dengan 20 atau 40 orang yang lain, tapi beol tidak di lubangnya.
Kalau kemudian mereka digebuki sesama napi, akan berteriak keras “ampuuun negara”, tapi sebelum darahnya kering mengulangi lagi kekonyolannya. Mereka ini hari ini bebas dari penjara setelah menjalani hukumannya, sorenya bisa ditahan di kantor polisi: karena tak mau membayar ongkos bis, karena menggunakan surat bebas untuk makan gratis di warung.
Rusak
Saya pernah patah hati bergaul dengan mereka ini, juga di luar penjara. Bersama Harry Tjahjono yang sekarang terus melakukan orasi antikorupsi dan beberapa teman seniman lain, kami menampung mereka dalam satu tempat. Mengajari cara memulung dengan baik dan benar—termasuk tak ada gunanya melemparkan sampah yang tak bermanfaat, mengatur rute agar tidak bertabrakan, memisahkan barang pulungan, tapi masih terjadi keributan.
Atau menyiksa kucing, anjing yang dipelihara bersama. Puncaknya adalah mereka yang ditampung ini tak bisa menghilangkan kebiasaan mengintip tetangga mandi. Sanksi terbesar, yaitu diusir dari penampungan pun terus terjadi. Ada sesuatu yang salah pada mereka ini. Atau sesuatu yang telanjur rusak, dan memerlukan upaya yang panjang dan serba sabaaaaar untuk memperbaiki.
Sementara jalan pendek, adalah dengan bahasa yang mereka mengerti. Bahasa kekerasan dengan menangkap, memenjarakan. Setidaknya untuk sementara kerusakan kini beralih lokasi. Tidak di jalanan lagi, melainkan dalam lembaga pemasyarakatan, dengan tingkat risiko lebih balok, lebih saraf lagi. Karena biasanya hanya terkena kurungan kurang dari dua tahun, segera mereka ini melakukan kegiatannya di jalanan.
Bergabung dengan komunitas yang dikenalnya, yang menampung, walau bisa juga menjadi musuhnya. Mungkin akan terus berputar begitu, namun kalau bisa segera mungkin dihentikan, ibu penjual kopi—atau korban, akan lebih awal diselamatkan. Dan hanya itu cara menghentikan kekejian. Syukur sebelum mereka melakukan. Mungkin contoh terakhir ini bisa memberi gambaran agak lengkap, macam mana preman balok itu.
Suatu saat saya tak tega melihat tahanan yang baru datang, dipukuli, digebuki ketika diperiksa. Agaknya para sipir kesal, karena yang bersangkutan tak mau menyebut namanya. Ditanya siapa namanya untuk disesuaikan dengan berkas, dianya memilih bisu. Bahkan setelah babak belur pun mengaku namanya, sebagai nama perempuan. Apalagi kalau ditanya alamat terakhir atau kasusnya dijawab lupa.
Apa pun yang dilakukan, ketika meresahkan dan menyakiti secara sadis pada masyarakat, mereka ini perlu disikat. Dengan keras, karena ini bahasa yang mereka kenal, sehingga mereka bisa takut, jera, atau tiarap. Walau sesaat.
ARSWENDO ATMOWILOTO
Budayawan
(nfl)