Mencegah gegabah di Suriah
A
A
A
OBAMA memang bukan George W Bush yang tak ragu-ragu mengerahkan pasukan untuk menumbangkan Saddam Hussein dengan bukti-bukti yang tak jelas.
Sejak awal, Obama hadir dengan slogan perubahan yang diarahkan untuk mengecam petualangan Amerika Serikat (AS) yang menyeret Washington ke dalam pertempuran yang tak bisa tuntas. Direncanakan berlangsung cepat dengan mengandalkan keandalan militer AS yang tak tertandingi, Gedung Putih menyerang Kabul (mulai 7 Oktober 2001) dan Baghdad (mulai 20 Maret 2003).
Taliban memang terusir dan Saddam Hussein terguling, tapi alih-alih membangun demokrasi, invasi itu malah menimbulkan kekacauan yang sang Adidaya pun tak mampu mengendalikannya. Obama hadir sebagai perlawanan terhadap petualangan itu, tapi hari ini dia dihadapkan pada simalakama. Namun, dilema Obama hari ini tidak hanya berasal dari pandangan politik luar negerinya yang berbeda dari pendahulunya. Masalah Suriah hari ini seperti catur yang dimainkan oleh 10 orang sekaligus.
Di belakang kubu Assad ada Iran, Hizbullah, dan Rusia. Di balik kubu anti-Assad ada berbagai kelompok perlawanan dengan beragam ideologi, didukung oleh Arab Saudi dan Turki. Ada negara-negara Barat yang mengecam Assad, tetapi tidak menyukai kelompok perlawanan yang didominasi kelompok Islam. Ada juga Israel yang mengawasi dengan bergembira karena musuh-musuhnya saling berperang, tapi juga was-was kalau kekacauan ini memunculkan ancaman bagi Tel Aviv.
Sejak awal, AS terus bertindak penuh keraguan. Jonathan Freedland, kolumnis The Guardian, menyebut Obama sebagai “reluctant interventionist” atau “intervensionis yang enggan”. Menurutnya, saat tahun lalu menyebutkan bahwa garis batas kesabarannya kepada Assad adalah pada penggunaan senjata kimia, ia bukan sedang memperingatkan Assad. Batas (red line) itu adalah alasan supaya Gedung Putih tidak harus masuk ke dalam pertempuran meskipun korbannya sudah ribuan.
Namun, hari ini kata-kata itu berbalik mengikatnya: Assad, setidaknya menurut sumber-sumber yang dipercayai Gedung Putih, menggunakan senjata kimia dalam peristiwa Pembantaian Ghouta pada 21 Agustus 2013 lalu. Garis batas telah dilalui dan sang “intervensionis yang enggan” pun mulai menyerukan intervensi kemanusiaan.
AS bersiap melakukan serangan militer ke Damaskus meskipun Obama sendiri masih mengulur waktu dengan menunggu keputusan dari Kongres untuk melakukan serangan itu. Tidak hanya Obama yang sedang galau dilanda dilema. Semua pihak yang terkait dengan konflik di Suriah hari ini sedang menimbang-nimbang dengan cemas menanggapi rencana AS melakukan serangan ke Suriah.
Intervensi kemanusiaan?
Konsep intervensi kemanusiaan (humanitarian intervention) mulai mengemuka dalam wacana politik internasional pasca-Perang Dingin. Setelah runtuhnya Uni Soviet, para pemikir AS mendeklarasikan bahwa sejarah telah berakhir dengan kemenangan demokrasi liberal dan dengan demikian, dunia akan menjadi lebih damai. Namun, dunia pasca-Perang Dingin ternyata tidak sedamai itu.
Tak lebih dari setahun setelah dibubarkannya Uni Soviet (26 Desember 1991), terjadi pembantaian mengerikan yang mengguncang kesadaran dunia. Pada 1992, dunia menyaksikan pembantaian terhadap kaum muslim di Bosnia oleh pasukan Serbia yang berlangsung hingga 1995. Pada tahun 1994, meletuslah pembantaian etnis di Rwanda yang dipicu kejatuhan harga kopi dunia.
Dalam kedua genosida ini, komunitas internasional melihat pembantaian-pembantaian itu tanpa bisa berbuat banyak karena “kedaulatan” (sovereignty) adalah norma yang tidak bisa diganggu gugat. Tidak ada yang bisa turut campur urusan Serbia dan Rwanda jika itu terjadi di dalam wilayah kedaulatan mereka. Sejak saat itu, konsep “responsibility to protect” mengemuka di Perserikatan Bangsa-Bangsa sampai akhirnya diterima di dalam dokumen resmi PBB pada 2005.
Konsep ini menyebutkan bahwa “kedaulatan” bukan semata-mata hak, tetapi juga kewajiban. Negara memiliki kedaulatan sebagai sarana untuk memenuhi tanggung jawab kepada warga negaranya, terutama hak untuk mendapatkan keamanan dan perlindungan dari ancaman. Jika negara tidak dapat melindungi warga negaranya dari ancaman dan bahkan menjadi penindas hak-hak itu dengan melakukan kejahatan hak asasi manusia yang besar seperti genosida atau pembersihan etnis, komunitas internasional harus turun tangan untuk menghentikan kejahatan kemanusiaan itu.
Namun, konsep ini bukannya tanpa kritik. Setidaknya ada dua asumsi implisit di dalam intervensi kemanusiaan yang bisa dipertanyakan. “Intervensi kemanusiaan” mengasumsikan bahwa pihak yang melakukan intervensi memiliki niat yang tulus demi kemanusiaan. Dalam kenyataannya, “niat yang bersih” ini sering kali sulit untuk diukur dan ditemukan (Nili, 2011).
Dalam konteks Suriah, hal ini lebih sulit dijamin lagi mengingat keterlibatan AS dalam berbagai konflik di Timur Tengah. Apalagi, Suriah berbatasan langsung dengan Israel yang menjadi anak emasnya di kawasan. Asumsi kedua adalah bahwa intervensi kemanusiaan tersebut dapat menghentikan bencana kemanusiaan yang sedang terjadi tanpa masalah.
Pengalaman dengan berbagai intervensi militer sebelumnya, mulai dari Irak (2003) sampai Libya (2011), menunjukkan bahwa hal ini sulit diwujudkan. Dalam konteks Suriah yang melibatkan banyak aktor, intervensi AS ini malah dapat memperpanjang dan memperbesar konflik hingga meliputi seluruh kawasan.
Solusi segitiga
Sebelum gegabah melakukan serangan militer, AS dan dunia internasional sebenarnya dapat melakukan sesuatu yang dapat membongkar jalan buntu konflik Suriah. Kuncinya justru ada di dua pihak yang sampai hari ini dimusuhi AS: Hamas di Palestina dan Iran. Mengapa demikian? Dari sudut pandang Iran, Suriah adalah sekutu penting Teheran di kawasan. Jika Assad jatuh, Iran kehilangan satu mitra utama.
Suriah yang diduduki AS akan mengancam kepentingan Iran dan Hizbullah di Libanon dalam perjuangan mereka melawan Israel. Pada saat yang bersamaan, Iran yang masih terpukul oleh embargo ekonomi sejak masa pemerintahan Ahmadinejad tidak ingin terlibat konflik langsung dengan kekuatan besar seperti AS yang akan menghabiskan sumber daya mereka.
Dari sudut pandang Hamas, intervensi militer AS juga akan mempersulit posisinya. Setelah kejatuhan Presiden Mursi dalam kudeta Juli, Hamas kehilangan patron yang kuat di kawasan. Jika Suriah jatuh ke tangan AS yang tidak mengakui mereka sebagai pemerintah yang sah, mereka semakin terisolasi. Dengan demikian, baik Hamas maupun Iran berkepentingan supaya AS tidak jadi melakukan intervensi militer.
Keduanya memiliki akses yang kuat pada kelompok yang bertikai. Iran memiliki pengaruh kuat ke Assad, sementara Hamas memiliki akses pada kelompok Islamis di barisan oposisi. Dengan upaya yang kuat, keduanya dapat mendorong pihak yang bertikai untuk setidaknya melakukan gencatan senjata sementara. Meskipun perdamaian masih jauh, setidaknya mereka dapat menurunkan ketegangan di kawasan.
Sementara itu, AS juga tidak meyakini bahwa intervensi akan memberikan hasil yang baik untuk kepentingan mereka sendiri. Trauma Irak dan Afghanistan masih menghantui. Ketiganya mungkin saling membenci, tapi ketiganya berkepentingan untuk menghindari intervensi militer. Tentu saja, terbentuknya “solusi segitiga” ini juga bukan sesuatu yang mudah. AS harus membuka hubungan diplomatik dengan Hamas dan Teheran, sesuatu yang pasti akan sangat ditentang oleh Israel dan lobinya di Gedung Putih.
SHOFWAN AL BANNA CHOIRUZZAD
@ShofwanAlBanna
Pengajar di Departemen Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia
Sejak awal, Obama hadir dengan slogan perubahan yang diarahkan untuk mengecam petualangan Amerika Serikat (AS) yang menyeret Washington ke dalam pertempuran yang tak bisa tuntas. Direncanakan berlangsung cepat dengan mengandalkan keandalan militer AS yang tak tertandingi, Gedung Putih menyerang Kabul (mulai 7 Oktober 2001) dan Baghdad (mulai 20 Maret 2003).
Taliban memang terusir dan Saddam Hussein terguling, tapi alih-alih membangun demokrasi, invasi itu malah menimbulkan kekacauan yang sang Adidaya pun tak mampu mengendalikannya. Obama hadir sebagai perlawanan terhadap petualangan itu, tapi hari ini dia dihadapkan pada simalakama. Namun, dilema Obama hari ini tidak hanya berasal dari pandangan politik luar negerinya yang berbeda dari pendahulunya. Masalah Suriah hari ini seperti catur yang dimainkan oleh 10 orang sekaligus.
Di belakang kubu Assad ada Iran, Hizbullah, dan Rusia. Di balik kubu anti-Assad ada berbagai kelompok perlawanan dengan beragam ideologi, didukung oleh Arab Saudi dan Turki. Ada negara-negara Barat yang mengecam Assad, tetapi tidak menyukai kelompok perlawanan yang didominasi kelompok Islam. Ada juga Israel yang mengawasi dengan bergembira karena musuh-musuhnya saling berperang, tapi juga was-was kalau kekacauan ini memunculkan ancaman bagi Tel Aviv.
Sejak awal, AS terus bertindak penuh keraguan. Jonathan Freedland, kolumnis The Guardian, menyebut Obama sebagai “reluctant interventionist” atau “intervensionis yang enggan”. Menurutnya, saat tahun lalu menyebutkan bahwa garis batas kesabarannya kepada Assad adalah pada penggunaan senjata kimia, ia bukan sedang memperingatkan Assad. Batas (red line) itu adalah alasan supaya Gedung Putih tidak harus masuk ke dalam pertempuran meskipun korbannya sudah ribuan.
Namun, hari ini kata-kata itu berbalik mengikatnya: Assad, setidaknya menurut sumber-sumber yang dipercayai Gedung Putih, menggunakan senjata kimia dalam peristiwa Pembantaian Ghouta pada 21 Agustus 2013 lalu. Garis batas telah dilalui dan sang “intervensionis yang enggan” pun mulai menyerukan intervensi kemanusiaan.
AS bersiap melakukan serangan militer ke Damaskus meskipun Obama sendiri masih mengulur waktu dengan menunggu keputusan dari Kongres untuk melakukan serangan itu. Tidak hanya Obama yang sedang galau dilanda dilema. Semua pihak yang terkait dengan konflik di Suriah hari ini sedang menimbang-nimbang dengan cemas menanggapi rencana AS melakukan serangan ke Suriah.
Intervensi kemanusiaan?
Konsep intervensi kemanusiaan (humanitarian intervention) mulai mengemuka dalam wacana politik internasional pasca-Perang Dingin. Setelah runtuhnya Uni Soviet, para pemikir AS mendeklarasikan bahwa sejarah telah berakhir dengan kemenangan demokrasi liberal dan dengan demikian, dunia akan menjadi lebih damai. Namun, dunia pasca-Perang Dingin ternyata tidak sedamai itu.
Tak lebih dari setahun setelah dibubarkannya Uni Soviet (26 Desember 1991), terjadi pembantaian mengerikan yang mengguncang kesadaran dunia. Pada 1992, dunia menyaksikan pembantaian terhadap kaum muslim di Bosnia oleh pasukan Serbia yang berlangsung hingga 1995. Pada tahun 1994, meletuslah pembantaian etnis di Rwanda yang dipicu kejatuhan harga kopi dunia.
Dalam kedua genosida ini, komunitas internasional melihat pembantaian-pembantaian itu tanpa bisa berbuat banyak karena “kedaulatan” (sovereignty) adalah norma yang tidak bisa diganggu gugat. Tidak ada yang bisa turut campur urusan Serbia dan Rwanda jika itu terjadi di dalam wilayah kedaulatan mereka. Sejak saat itu, konsep “responsibility to protect” mengemuka di Perserikatan Bangsa-Bangsa sampai akhirnya diterima di dalam dokumen resmi PBB pada 2005.
Konsep ini menyebutkan bahwa “kedaulatan” bukan semata-mata hak, tetapi juga kewajiban. Negara memiliki kedaulatan sebagai sarana untuk memenuhi tanggung jawab kepada warga negaranya, terutama hak untuk mendapatkan keamanan dan perlindungan dari ancaman. Jika negara tidak dapat melindungi warga negaranya dari ancaman dan bahkan menjadi penindas hak-hak itu dengan melakukan kejahatan hak asasi manusia yang besar seperti genosida atau pembersihan etnis, komunitas internasional harus turun tangan untuk menghentikan kejahatan kemanusiaan itu.
Namun, konsep ini bukannya tanpa kritik. Setidaknya ada dua asumsi implisit di dalam intervensi kemanusiaan yang bisa dipertanyakan. “Intervensi kemanusiaan” mengasumsikan bahwa pihak yang melakukan intervensi memiliki niat yang tulus demi kemanusiaan. Dalam kenyataannya, “niat yang bersih” ini sering kali sulit untuk diukur dan ditemukan (Nili, 2011).
Dalam konteks Suriah, hal ini lebih sulit dijamin lagi mengingat keterlibatan AS dalam berbagai konflik di Timur Tengah. Apalagi, Suriah berbatasan langsung dengan Israel yang menjadi anak emasnya di kawasan. Asumsi kedua adalah bahwa intervensi kemanusiaan tersebut dapat menghentikan bencana kemanusiaan yang sedang terjadi tanpa masalah.
Pengalaman dengan berbagai intervensi militer sebelumnya, mulai dari Irak (2003) sampai Libya (2011), menunjukkan bahwa hal ini sulit diwujudkan. Dalam konteks Suriah yang melibatkan banyak aktor, intervensi AS ini malah dapat memperpanjang dan memperbesar konflik hingga meliputi seluruh kawasan.
Solusi segitiga
Sebelum gegabah melakukan serangan militer, AS dan dunia internasional sebenarnya dapat melakukan sesuatu yang dapat membongkar jalan buntu konflik Suriah. Kuncinya justru ada di dua pihak yang sampai hari ini dimusuhi AS: Hamas di Palestina dan Iran. Mengapa demikian? Dari sudut pandang Iran, Suriah adalah sekutu penting Teheran di kawasan. Jika Assad jatuh, Iran kehilangan satu mitra utama.
Suriah yang diduduki AS akan mengancam kepentingan Iran dan Hizbullah di Libanon dalam perjuangan mereka melawan Israel. Pada saat yang bersamaan, Iran yang masih terpukul oleh embargo ekonomi sejak masa pemerintahan Ahmadinejad tidak ingin terlibat konflik langsung dengan kekuatan besar seperti AS yang akan menghabiskan sumber daya mereka.
Dari sudut pandang Hamas, intervensi militer AS juga akan mempersulit posisinya. Setelah kejatuhan Presiden Mursi dalam kudeta Juli, Hamas kehilangan patron yang kuat di kawasan. Jika Suriah jatuh ke tangan AS yang tidak mengakui mereka sebagai pemerintah yang sah, mereka semakin terisolasi. Dengan demikian, baik Hamas maupun Iran berkepentingan supaya AS tidak jadi melakukan intervensi militer.
Keduanya memiliki akses yang kuat pada kelompok yang bertikai. Iran memiliki pengaruh kuat ke Assad, sementara Hamas memiliki akses pada kelompok Islamis di barisan oposisi. Dengan upaya yang kuat, keduanya dapat mendorong pihak yang bertikai untuk setidaknya melakukan gencatan senjata sementara. Meskipun perdamaian masih jauh, setidaknya mereka dapat menurunkan ketegangan di kawasan.
Sementara itu, AS juga tidak meyakini bahwa intervensi akan memberikan hasil yang baik untuk kepentingan mereka sendiri. Trauma Irak dan Afghanistan masih menghantui. Ketiganya mungkin saling membenci, tapi ketiganya berkepentingan untuk menghindari intervensi militer. Tentu saja, terbentuknya “solusi segitiga” ini juga bukan sesuatu yang mudah. AS harus membuka hubungan diplomatik dengan Hamas dan Teheran, sesuatu yang pasti akan sangat ditentang oleh Israel dan lobinya di Gedung Putih.
SHOFWAN AL BANNA CHOIRUZZAD
@ShofwanAlBanna
Pengajar di Departemen Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia
(hyk)