Sistem birokrasi korup, negeri bangkrut
A
A
A
BARU-baru ini publik dikejutkan lagi dengan berita tertangkap tangannya pejabat negara yang bernama Rudi Rubiandini yang diduga terlibat korupsi.
Padahal yang bersangkutan adalah seorang akademisi andal dan birokrat idealis. Sementara selama ini masyarakat banyak berharap kepada kalangan akademisi karena kredibilitasnya sebagai kaum intelek dianggap bersih kalau diangkat jadi pejabat negara. Namun, bila sang guru besar saja seperti itu, bagaimana yang lain. Ini menunjukkan bahwa kekuatan korupsi di Indonesia semakin sistemik dan semakin menggerogoti profesionalisme, apa pun jenis profesinya.
Ini situasi darurat perang terhadap dunia korupsi sehingga tidak ada waktu lagi bahwa sistem birokrasi harus segera dirombak dari akarnya. Jika tidak, siapa pun akan terjebak di dalam pusarannya. Kisah penangkapan Rudi ini tak jauh berbeda dengan gambaran para aktivis kampus sejak era Orde Lama dan Orde Baru, bahkan saat Era Reformasi sekarang ini. Kalau dulu ketika masih di bangku kuliah, mereka para aktivis yang idealis dengan mengkritik birokrasi habis-habisan.
Namun, ketika keluar dari kampus dan masuk ke lingkaran birokrasi, terjadi perubahan perilaku di mana mereka bertransformasi menjadi sosok yang pragmatis. Wahai generasi muda bangsa, jika ingin menjadi pemimpin negeri, pahamilah hakikat menjadi pejabat pemerintahan, bukanlah untuk mencari, apalagi menumpuk kekayaan.
Seharusnya sebagai pejabat pemerintah yang menyelenggarakan birokrasi mengabdikan dirinya untuk melayani bagi kemakmuran rakyat banyak, bukan untuk menumpuk kekayaan demi kepentingan diri sendiri dan kelompoknya. Sebab itu, penyelenggara negara haruslah orang-orang yang sungguh-sungguh terpanggil jiwanya untuk mengangkat harkat dan martabat orang banyak. Berhasil melayani rakyatnya dengan baik dan benar haruslah menjadi tujuan kepuasan dalam mengemban tugas.
Demikianlah sejatinya menjadi pejabat pemerintah. Persiapkanlah dirimu dari sedini mungkin melalui proses yang benar, berlakulah bersih dan jujur, serta jangan lagi berdusta kepada rakyat. Kita ketahui bersama akhir-akhir ini semakin banyak elite politik dan kekuasaan yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena terlibat korupsi. Ini semakin memperkuat indikasi bahwa negeri ini sedang menuju ambang kebangkrutan.
Betapa tidak, kini korupsi sudah tak pandang bulu lagi, baik akademisi, birokrat, aktivis, maupun aparat penegak hukum tidak ada yang bebas dari perilaku korup. Mulai dari pusat sampai daerah, korupsi di kalangan politisi dan eksekutif bahkan yudikatif pun sepertinya tidak pernah mau berhenti. Uang berseliweran dengan mudah. Kita tidak tahu harus berkata apa jika jutaan dolar “apel Washington” , bahkan ratusan miliar rupiah “apel Malang” hilir mudik ke dalam rekening para pemangku kepentingan negeri ini.
Sungguh transaksi gratifikasi yang luar biasa dengan jumlah yang mengerikan. Dari mana sumber asalnya? Bila kita cermati data yang dikeluarkan Kementerian Keuangan pada Mei 2013, utang Indonesia sudah mencapai angka Rp2.036 triliun. Sementara laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP) yang diterbitkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) akhir Desember 2012 menunjukkan, utang Indonesia baru mencapai Rp.1.850 triliun. Artinya dalam enam bulan saja utang sudah bertambah sebesar Rp186 triliun.
Bayangkan saja, betapa semakin menumpuknya utang negara kita. Kalau aset negara atau tanah berserta sumber daya alam lainnya sudah dikuasai oleh swasta, kemudian cadangan devisa yang terus tergerus, lalu bagaimana masa depan negeri kita? Bila situasi seperti ini tidak segera kita sikapi, ini tanda bahaya terhadap negeri kita yang sedang menuju kepada kebangkrutan. Betapa menyedihkan, bangsa dan negara di mana tempat kita hidup sedang tersandera dan dihancurkan oleh ketamakan para koruptor.
Pertanyaannya, masih sanggupkan negeri kita bangkit melawan para kleptokrasi (negara yang diperintah oleh pencuri) yang masih gentayangan di bangsa ini? Ataukah kita rela membiarkan negeri tercinta ini karam dan akhirnya ditenggelamkan oleh para koruptor yang hidup bergelimang kemewahan dengan menghalalkan segala cara hanya demi kepentingan sesatnya? Selama ini lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif bahkan telah menjadi sarang persemaian yang subur bagi generasi-generasi baru koruptor.
Lihat saja beberapa generasi muda dari kalangan partai politik, birokrasi, pengusaha, bahkan para penegak hukum kini tersandung perkara korupsi dan harus berurusan dengan hukum. Nyata sudah kalau karakter koruptif selalu berusaha menciptakan celah-celah baru untuk terus mengembangbiakkan korupsi, untuk kepentingan para pemangku kepentingan negeri ini saja, dan bukan untuk kepentingan rakyatnya. Faktor penyebabnya adalah kesengajaan di dalam membiarkan bahkan menciptakan berbagai peluang (loop holes) pada sistem birokrasi di setiap instansi pemerintahan hingga aparat penegak hukum tetap bisa berprilaku koruptif.
Kini benteng moral dan sistem berbangsa di negeri ini sungguh sedang dipertaruhkan! Belakangan ini bahkan terlihat jelas ada regenerasi koruptor yang dilakukan secara sistematis dan terencana dengan membentuk komunitas termasuk menyiapkan kaderkadernya.
Sistem birokrasi yang saat ini terjadi bagaikan sebuah pasar karena telah menyebabkan munculnya pertemuan antara penawaran (supply of) dan permintaan untuk (demand for) korupsi, mulai dari sistem politik, ekonomi, bahkan hukum sekalipun, yang tercipta dari bentuk birokrasi yang mengembangkan mindset dan perilaku yang salah, karena cenderung menempatkan diri para pelaku birokrasi sebagai alat kekuasaan daripada sebagai agen pelayanan.
Ini dampak dari sifat buruk birokrasi Indonesia di mana domain kekuasaan (position power) bersifat dominan sehingga berpotensi kuat mendorong terjadi penyelewengan kewenangan mulai dari tingkat pimpinan sampai tingkat bawahan karena domain kekuasaan mereka yang bersifat individual (personal power). Dari gambaran di atas nyatalah bahwa birokrasi di Indonesia memiliki peran yang sangat penting di dalam menentukan keberhasilan pemerintah untuk menjalankan program dan kebijakan pembangunan.
Jika birokrasi buruk akan menciptakan pasar bagi terjadi transaksi korupsi, upaya pembangunan akan dipastikan mengalami banyak hambatan. Sebaliknya, jika birokrasi bekerja secara baik, program- program pembangunan akan berjalan lebih lancar. Pembenahan harus segera mungkin dilakukan mulai dari pembenahan mental para birokrat kita, yang seharusnya mengubah paradigma bahwa menjadi birokrat adalah menjadi abdi rakyat, bukan berlaku layaknya tuan yang selalu meminta dilayani.
Birokrasi Indonesia baru tidak boleh lagi dipenuhi oleh para kleptokrasi! Karena itu, upaya menata ulang proses birokrasi dari tingkat tertinggi hingga terendah harus segera dilakukan dengan penuh kesungguhan dengan terobosan baru (breakthrough) secara bertahap, konkret, realistis, berpikir di luar kebiasaan/rutinitas yang ada, serta dengan upaya luar biasa.
Dimulai dengan merevisi dan memperbaiki berbagai regulasi, memodernkan berbagai kebijakan dan praktik manajemen pemerintah pusat dan daerah disesuaikan dengan tugas dan fungsi instansi pemerintah dengan paradigma baru.
Aparatur negara harus mengubah gaya dalam memberi pelayanan kepada masyarakat sebaikbaiknya dengan tidak lagi menerapkan istilah “... kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah...” atau terkadang mengeluarkan gurauan ancaman”... mau panjang atau pendek...“, karena sistem birokrasi yang benar harus bisa mengimplementasikan deteksi dini atas tindakan korup agar negeri ini terhindar dari kebangkrutan dan kalau kita gagal mewujudkan reformasi birokrasi, seluruh pemerintahan akan gagal!
Wahai generasi muda bangsa marilah kita bahu-membahu memerangi setiap perilaku korup di birokrasi lembaga kita masing-masing dengan satu tujuan Indonesia Jaya.
DRS DHARMA PONGREKUN MM MH
Dosen Utama STIK PTIK
Padahal yang bersangkutan adalah seorang akademisi andal dan birokrat idealis. Sementara selama ini masyarakat banyak berharap kepada kalangan akademisi karena kredibilitasnya sebagai kaum intelek dianggap bersih kalau diangkat jadi pejabat negara. Namun, bila sang guru besar saja seperti itu, bagaimana yang lain. Ini menunjukkan bahwa kekuatan korupsi di Indonesia semakin sistemik dan semakin menggerogoti profesionalisme, apa pun jenis profesinya.
Ini situasi darurat perang terhadap dunia korupsi sehingga tidak ada waktu lagi bahwa sistem birokrasi harus segera dirombak dari akarnya. Jika tidak, siapa pun akan terjebak di dalam pusarannya. Kisah penangkapan Rudi ini tak jauh berbeda dengan gambaran para aktivis kampus sejak era Orde Lama dan Orde Baru, bahkan saat Era Reformasi sekarang ini. Kalau dulu ketika masih di bangku kuliah, mereka para aktivis yang idealis dengan mengkritik birokrasi habis-habisan.
Namun, ketika keluar dari kampus dan masuk ke lingkaran birokrasi, terjadi perubahan perilaku di mana mereka bertransformasi menjadi sosok yang pragmatis. Wahai generasi muda bangsa, jika ingin menjadi pemimpin negeri, pahamilah hakikat menjadi pejabat pemerintahan, bukanlah untuk mencari, apalagi menumpuk kekayaan.
Seharusnya sebagai pejabat pemerintah yang menyelenggarakan birokrasi mengabdikan dirinya untuk melayani bagi kemakmuran rakyat banyak, bukan untuk menumpuk kekayaan demi kepentingan diri sendiri dan kelompoknya. Sebab itu, penyelenggara negara haruslah orang-orang yang sungguh-sungguh terpanggil jiwanya untuk mengangkat harkat dan martabat orang banyak. Berhasil melayani rakyatnya dengan baik dan benar haruslah menjadi tujuan kepuasan dalam mengemban tugas.
Demikianlah sejatinya menjadi pejabat pemerintah. Persiapkanlah dirimu dari sedini mungkin melalui proses yang benar, berlakulah bersih dan jujur, serta jangan lagi berdusta kepada rakyat. Kita ketahui bersama akhir-akhir ini semakin banyak elite politik dan kekuasaan yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena terlibat korupsi. Ini semakin memperkuat indikasi bahwa negeri ini sedang menuju ambang kebangkrutan.
Betapa tidak, kini korupsi sudah tak pandang bulu lagi, baik akademisi, birokrat, aktivis, maupun aparat penegak hukum tidak ada yang bebas dari perilaku korup. Mulai dari pusat sampai daerah, korupsi di kalangan politisi dan eksekutif bahkan yudikatif pun sepertinya tidak pernah mau berhenti. Uang berseliweran dengan mudah. Kita tidak tahu harus berkata apa jika jutaan dolar “apel Washington” , bahkan ratusan miliar rupiah “apel Malang” hilir mudik ke dalam rekening para pemangku kepentingan negeri ini.
Sungguh transaksi gratifikasi yang luar biasa dengan jumlah yang mengerikan. Dari mana sumber asalnya? Bila kita cermati data yang dikeluarkan Kementerian Keuangan pada Mei 2013, utang Indonesia sudah mencapai angka Rp2.036 triliun. Sementara laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP) yang diterbitkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) akhir Desember 2012 menunjukkan, utang Indonesia baru mencapai Rp.1.850 triliun. Artinya dalam enam bulan saja utang sudah bertambah sebesar Rp186 triliun.
Bayangkan saja, betapa semakin menumpuknya utang negara kita. Kalau aset negara atau tanah berserta sumber daya alam lainnya sudah dikuasai oleh swasta, kemudian cadangan devisa yang terus tergerus, lalu bagaimana masa depan negeri kita? Bila situasi seperti ini tidak segera kita sikapi, ini tanda bahaya terhadap negeri kita yang sedang menuju kepada kebangkrutan. Betapa menyedihkan, bangsa dan negara di mana tempat kita hidup sedang tersandera dan dihancurkan oleh ketamakan para koruptor.
Pertanyaannya, masih sanggupkan negeri kita bangkit melawan para kleptokrasi (negara yang diperintah oleh pencuri) yang masih gentayangan di bangsa ini? Ataukah kita rela membiarkan negeri tercinta ini karam dan akhirnya ditenggelamkan oleh para koruptor yang hidup bergelimang kemewahan dengan menghalalkan segala cara hanya demi kepentingan sesatnya? Selama ini lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif bahkan telah menjadi sarang persemaian yang subur bagi generasi-generasi baru koruptor.
Lihat saja beberapa generasi muda dari kalangan partai politik, birokrasi, pengusaha, bahkan para penegak hukum kini tersandung perkara korupsi dan harus berurusan dengan hukum. Nyata sudah kalau karakter koruptif selalu berusaha menciptakan celah-celah baru untuk terus mengembangbiakkan korupsi, untuk kepentingan para pemangku kepentingan negeri ini saja, dan bukan untuk kepentingan rakyatnya. Faktor penyebabnya adalah kesengajaan di dalam membiarkan bahkan menciptakan berbagai peluang (loop holes) pada sistem birokrasi di setiap instansi pemerintahan hingga aparat penegak hukum tetap bisa berprilaku koruptif.
Kini benteng moral dan sistem berbangsa di negeri ini sungguh sedang dipertaruhkan! Belakangan ini bahkan terlihat jelas ada regenerasi koruptor yang dilakukan secara sistematis dan terencana dengan membentuk komunitas termasuk menyiapkan kaderkadernya.
Sistem birokrasi yang saat ini terjadi bagaikan sebuah pasar karena telah menyebabkan munculnya pertemuan antara penawaran (supply of) dan permintaan untuk (demand for) korupsi, mulai dari sistem politik, ekonomi, bahkan hukum sekalipun, yang tercipta dari bentuk birokrasi yang mengembangkan mindset dan perilaku yang salah, karena cenderung menempatkan diri para pelaku birokrasi sebagai alat kekuasaan daripada sebagai agen pelayanan.
Ini dampak dari sifat buruk birokrasi Indonesia di mana domain kekuasaan (position power) bersifat dominan sehingga berpotensi kuat mendorong terjadi penyelewengan kewenangan mulai dari tingkat pimpinan sampai tingkat bawahan karena domain kekuasaan mereka yang bersifat individual (personal power). Dari gambaran di atas nyatalah bahwa birokrasi di Indonesia memiliki peran yang sangat penting di dalam menentukan keberhasilan pemerintah untuk menjalankan program dan kebijakan pembangunan.
Jika birokrasi buruk akan menciptakan pasar bagi terjadi transaksi korupsi, upaya pembangunan akan dipastikan mengalami banyak hambatan. Sebaliknya, jika birokrasi bekerja secara baik, program- program pembangunan akan berjalan lebih lancar. Pembenahan harus segera mungkin dilakukan mulai dari pembenahan mental para birokrat kita, yang seharusnya mengubah paradigma bahwa menjadi birokrat adalah menjadi abdi rakyat, bukan berlaku layaknya tuan yang selalu meminta dilayani.
Birokrasi Indonesia baru tidak boleh lagi dipenuhi oleh para kleptokrasi! Karena itu, upaya menata ulang proses birokrasi dari tingkat tertinggi hingga terendah harus segera dilakukan dengan penuh kesungguhan dengan terobosan baru (breakthrough) secara bertahap, konkret, realistis, berpikir di luar kebiasaan/rutinitas yang ada, serta dengan upaya luar biasa.
Dimulai dengan merevisi dan memperbaiki berbagai regulasi, memodernkan berbagai kebijakan dan praktik manajemen pemerintah pusat dan daerah disesuaikan dengan tugas dan fungsi instansi pemerintah dengan paradigma baru.
Aparatur negara harus mengubah gaya dalam memberi pelayanan kepada masyarakat sebaikbaiknya dengan tidak lagi menerapkan istilah “... kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah...” atau terkadang mengeluarkan gurauan ancaman”... mau panjang atau pendek...“, karena sistem birokrasi yang benar harus bisa mengimplementasikan deteksi dini atas tindakan korup agar negeri ini terhindar dari kebangkrutan dan kalau kita gagal mewujudkan reformasi birokrasi, seluruh pemerintahan akan gagal!
Wahai generasi muda bangsa marilah kita bahu-membahu memerangi setiap perilaku korup di birokrasi lembaga kita masing-masing dengan satu tujuan Indonesia Jaya.
DRS DHARMA PONGREKUN MM MH
Dosen Utama STIK PTIK
(nfl)