Talkshow yang Islami?
A
A
A
Publik pendengar radio sudah terbiasa sahut-menyahut, ganti-berganti berbicara atau memberi komentar terhadap apa yang dibicarakan di studio. Dialog interaktif tampak terbuka dan komunikatif.
Di sana ada komentar yang tak setuju terhadap cara pandang mengenai suatu masalah dan ada counter balik dari studio. Tujuannya untuk membuat persoalan menjadi lebih jelas. Tapi, suara yang menyatakan ketidaksetujuan itu tetap bertahan. Akhirnya, ya sudahlah. Kalau begitu, tak perlu ada persetujuan bersama. Perbedaan cara pandang dianggap kekayaan kita semua.
Pemikiran dan sikap tidak harus sama dan tak perlu disama-samakan. Kita ini pada dasarnya memang tidak sama. Para pemirsa acara yang disiarkan suatu stasiun televisi kurang lebih juga sama. Jika kita bicara mengenai apa yang bersifat ”pada umumnya”, jelas bagi kita bahwa sahut-menyahut dan usaha berebut menyampaikan komentar atau pendapat sudah menjadi kebiasaan yang tertata baik.
Hikmah di Balik Perbedaan
Di sana terasa, yang penting ”suara” sudah disampaikan. Disetujui atau tidak, bertemu dalam kebersamaan sikap atau tidak, menjadi tidak penting lagi. Bisa bersuara dalam forum seperti itu sudah baik. Partisipasi di dalamnya sudah merupakan tanda kesadaran politik yang penting. Di atas segalanya, semua menyadari, saat itu semua pihak sedang bersama-sama mencari kebenaran.
Kebenaran itu tak boleh diklaim oleh salah satu pihak. Sebaliknya, kebenaran pun tak pernah memihak selain pada dirinya sendiri. Kita berbahagia menyaksikan sikap dan pemikiran yang diungkapkan secara dialektis macam itu. Kita senang menyaksikan bahwa pelan-pelan, publik kita— juga publik milik media cetak maupun publik dalam konteks lain yang mungkin lebih luas—tampaknya makin dewasa dan makin siap menerima perbedaan.
Kita tahu, para ustaz sudah kelewat sering menyampaikan ”wisdom” yang dipetik dari Hadits Kanjeng Nabi bahwa perbedaan itu merupakan rahmat. Setiap muslim atau muslimat tahu akan itu. Sebagian bahkan sudah tahu sejak kecil. Diam-diam semua menikmati rahmat tersebut. Wujudnya mungkin keteduhan, kedekatan hati, dan persaudaraan. Tak peduli kita berbeda agama, berbeda etnisitas, berbeda kebangsaan.
Kita ini bangsa terhormat dan mulia karena mampu memetik hikmah yang tersembunyi dan bersifat rahasia, yang ditaruh di balik perbedaan tadi. Kita juga berbahagia melihat bangsa kita makin dewasa menghadapi keruwetan persoalan dalam hidup kita sehari-hari. Dalam perkara itu kelihatannya orang bersikap serupa: hidup ini sudah sulit dan ruwet. Jadi tak perlu kita bikin menjadi tambah sulit dan tambah ruwet. Kesulitan dan keruwetan yang ada ini sudah cukup untuk kita nikmati bersama. Syukur kalau kita bahkan menjadi semakin terampil meniadakan kesulitan dan keruwetan hidup tadi.
”Talkshow” Islami?
Publik sudah matang dan dewasa. Mungkin sejak reformasi kita belajar berbicara karena pada zaman Orde Baru berbicara dilarang keras. Dalam waktu panjang jiwa publik kita digembleng oleh keadaan. Ibaratnya kita dimatangkan oleh situasi yang penuh tekanan. Bagaimana media? Apakah media sedewasa publik pendengar, pemirsa, atau pembacanya? Dari dulu media tetap media, tapi publik lain.
Mereka yang tak pernah kebagian kesempatan di media umum, radio, televisi, dan semua jenis media cetak kelihatannya tak menjadi soal. Mereka tidak kecewa. Diam-diam mereka bisa membikin media sosial tersendiri. Itu menjadi kebebasan yang tak harus -terikat mengapa harus?—pada media mapan yang selama ini tak memberi mereka kesempatan tampil. Sekarang mereka membikin sendiri media khusus dan di sana mereka tampil dan berbahagia.
Kalauadastasiuntelevisi yang gencar mengadu orang, publik tahu dan belajar untuk menghindarinya. Televisi macam itu sebaiknya tak usah kita pakai sebagai media pembelajaran bagi publik untuk menyuarakan pemikiran dan aspirasi secara dewasa, adil, dan manusiawi. Publik sedang bersusah payah mengembangkan sikap adil dan manusiawi yang terbuka dan demokratis, mengapa media malah sibuk mempertajam perbedaan di antara kita?
Mempertemukan dan membikin panas mereka yang sangat berbeda sikap dan pandangan hidup dan ideologi politik dan keagamaannya sangat tidak bijaksana. Apalagi pertanyaanpertanyaannya provokatif dan memanaskan. Siapa pun yang dihadirkan di studio, niscaya terpancing suasana. Alhasil, kita terpojok dalam suatu situasi ””talkshow”” yang menjauhkan kita dari adil dan manusiawi tadi.
Kalau mereka berpendapat bahwa media yang terbuka dan demokratis itu artinya dia harus juga merangsang perbedaan menjadi kemarahan dan memanaskan mereka dengan provokasi, biarkan saja dia hidup dengan pandangannya sendiri. Tapi, di tengah perkembangan publik yang makin dewasa dan makin matang tadi, televisi macam itu bakal ditinggalkan orang. Nara sumber yang diundang untuk bertengkar di studio mereka akan tidak sudi datang.
Ini kegetiran mengenaskan. Demokratis berarti berkelahi? Terbuka berarti bertengkar di depan publik dan dijadikan tontonan sebagai contoh orangorang yang menjauhi tata susila? Tidak. Kita tidak sedang menuju ke arah tata kehidupan media seperti itu. Kita berjuang, bersama-sama, untuk menampilkan media yang ramah, yang menampilkan tontonan publik yang ”mendidik” dan memberi ”inspirasi” bahwa perbedaan tak usah dipaksakan untuk sama.
Bukankah jelas, perbedaan itu rahmat? Pendeknya, kita berusaha membangun media yang tak perlu ”kenes.” Dengan begitu, dialog, obrolan, ”talkshow” di dalamnya tak pernah tampak memperuncing suasana. Juga tak perlu, demi kebebasan, kita bakar perbedaan menjadi wujud kekerasan yang memalukan. ”Talkshow” yang tenang, tapi dialogis tetap produktif membahas persoalan, saya yakin masih mungkin. Tenang, adem, adil, danmanusiabisadiselenggarakan.
Pendeknya, sebuah ”talkshow” yang mungkin bisa disebut ”islami?”—karena sifat adil dan manusiawinya itu—jelas bisa diprogramkan. Selama kita belum bisa bikin stasiun televisi sendiri, kita bersabar. Tapi, kita menolak hadir— biarpun diminta-minta— di suatu ”talkshow” yang diselenggarakan sebuah stasiun televisi kalau kita hanya disuruh berkelahi di situ dan dijadikan tontonan orang banyak.
MOHAMAD SOBARY
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia,
untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi.
Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.
Email: [email protected]
Di sana ada komentar yang tak setuju terhadap cara pandang mengenai suatu masalah dan ada counter balik dari studio. Tujuannya untuk membuat persoalan menjadi lebih jelas. Tapi, suara yang menyatakan ketidaksetujuan itu tetap bertahan. Akhirnya, ya sudahlah. Kalau begitu, tak perlu ada persetujuan bersama. Perbedaan cara pandang dianggap kekayaan kita semua.
Pemikiran dan sikap tidak harus sama dan tak perlu disama-samakan. Kita ini pada dasarnya memang tidak sama. Para pemirsa acara yang disiarkan suatu stasiun televisi kurang lebih juga sama. Jika kita bicara mengenai apa yang bersifat ”pada umumnya”, jelas bagi kita bahwa sahut-menyahut dan usaha berebut menyampaikan komentar atau pendapat sudah menjadi kebiasaan yang tertata baik.
Hikmah di Balik Perbedaan
Di sana terasa, yang penting ”suara” sudah disampaikan. Disetujui atau tidak, bertemu dalam kebersamaan sikap atau tidak, menjadi tidak penting lagi. Bisa bersuara dalam forum seperti itu sudah baik. Partisipasi di dalamnya sudah merupakan tanda kesadaran politik yang penting. Di atas segalanya, semua menyadari, saat itu semua pihak sedang bersama-sama mencari kebenaran.
Kebenaran itu tak boleh diklaim oleh salah satu pihak. Sebaliknya, kebenaran pun tak pernah memihak selain pada dirinya sendiri. Kita berbahagia menyaksikan sikap dan pemikiran yang diungkapkan secara dialektis macam itu. Kita senang menyaksikan bahwa pelan-pelan, publik kita— juga publik milik media cetak maupun publik dalam konteks lain yang mungkin lebih luas—tampaknya makin dewasa dan makin siap menerima perbedaan.
Kita tahu, para ustaz sudah kelewat sering menyampaikan ”wisdom” yang dipetik dari Hadits Kanjeng Nabi bahwa perbedaan itu merupakan rahmat. Setiap muslim atau muslimat tahu akan itu. Sebagian bahkan sudah tahu sejak kecil. Diam-diam semua menikmati rahmat tersebut. Wujudnya mungkin keteduhan, kedekatan hati, dan persaudaraan. Tak peduli kita berbeda agama, berbeda etnisitas, berbeda kebangsaan.
Kita ini bangsa terhormat dan mulia karena mampu memetik hikmah yang tersembunyi dan bersifat rahasia, yang ditaruh di balik perbedaan tadi. Kita juga berbahagia melihat bangsa kita makin dewasa menghadapi keruwetan persoalan dalam hidup kita sehari-hari. Dalam perkara itu kelihatannya orang bersikap serupa: hidup ini sudah sulit dan ruwet. Jadi tak perlu kita bikin menjadi tambah sulit dan tambah ruwet. Kesulitan dan keruwetan yang ada ini sudah cukup untuk kita nikmati bersama. Syukur kalau kita bahkan menjadi semakin terampil meniadakan kesulitan dan keruwetan hidup tadi.
”Talkshow” Islami?
Publik sudah matang dan dewasa. Mungkin sejak reformasi kita belajar berbicara karena pada zaman Orde Baru berbicara dilarang keras. Dalam waktu panjang jiwa publik kita digembleng oleh keadaan. Ibaratnya kita dimatangkan oleh situasi yang penuh tekanan. Bagaimana media? Apakah media sedewasa publik pendengar, pemirsa, atau pembacanya? Dari dulu media tetap media, tapi publik lain.
Mereka yang tak pernah kebagian kesempatan di media umum, radio, televisi, dan semua jenis media cetak kelihatannya tak menjadi soal. Mereka tidak kecewa. Diam-diam mereka bisa membikin media sosial tersendiri. Itu menjadi kebebasan yang tak harus -terikat mengapa harus?—pada media mapan yang selama ini tak memberi mereka kesempatan tampil. Sekarang mereka membikin sendiri media khusus dan di sana mereka tampil dan berbahagia.
Kalauadastasiuntelevisi yang gencar mengadu orang, publik tahu dan belajar untuk menghindarinya. Televisi macam itu sebaiknya tak usah kita pakai sebagai media pembelajaran bagi publik untuk menyuarakan pemikiran dan aspirasi secara dewasa, adil, dan manusiawi. Publik sedang bersusah payah mengembangkan sikap adil dan manusiawi yang terbuka dan demokratis, mengapa media malah sibuk mempertajam perbedaan di antara kita?
Mempertemukan dan membikin panas mereka yang sangat berbeda sikap dan pandangan hidup dan ideologi politik dan keagamaannya sangat tidak bijaksana. Apalagi pertanyaanpertanyaannya provokatif dan memanaskan. Siapa pun yang dihadirkan di studio, niscaya terpancing suasana. Alhasil, kita terpojok dalam suatu situasi ””talkshow”” yang menjauhkan kita dari adil dan manusiawi tadi.
Kalau mereka berpendapat bahwa media yang terbuka dan demokratis itu artinya dia harus juga merangsang perbedaan menjadi kemarahan dan memanaskan mereka dengan provokasi, biarkan saja dia hidup dengan pandangannya sendiri. Tapi, di tengah perkembangan publik yang makin dewasa dan makin matang tadi, televisi macam itu bakal ditinggalkan orang. Nara sumber yang diundang untuk bertengkar di studio mereka akan tidak sudi datang.
Ini kegetiran mengenaskan. Demokratis berarti berkelahi? Terbuka berarti bertengkar di depan publik dan dijadikan tontonan sebagai contoh orangorang yang menjauhi tata susila? Tidak. Kita tidak sedang menuju ke arah tata kehidupan media seperti itu. Kita berjuang, bersama-sama, untuk menampilkan media yang ramah, yang menampilkan tontonan publik yang ”mendidik” dan memberi ”inspirasi” bahwa perbedaan tak usah dipaksakan untuk sama.
Bukankah jelas, perbedaan itu rahmat? Pendeknya, kita berusaha membangun media yang tak perlu ”kenes.” Dengan begitu, dialog, obrolan, ”talkshow” di dalamnya tak pernah tampak memperuncing suasana. Juga tak perlu, demi kebebasan, kita bakar perbedaan menjadi wujud kekerasan yang memalukan. ”Talkshow” yang tenang, tapi dialogis tetap produktif membahas persoalan, saya yakin masih mungkin. Tenang, adem, adil, danmanusiabisadiselenggarakan.
Pendeknya, sebuah ”talkshow” yang mungkin bisa disebut ”islami?”—karena sifat adil dan manusiawinya itu—jelas bisa diprogramkan. Selama kita belum bisa bikin stasiun televisi sendiri, kita bersabar. Tapi, kita menolak hadir— biarpun diminta-minta— di suatu ”talkshow” yang diselenggarakan sebuah stasiun televisi kalau kita hanya disuruh berkelahi di situ dan dijadikan tontonan orang banyak.
MOHAMAD SOBARY
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia,
untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi.
Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.
Email: [email protected]
(nfl)