Kekerasan polisi dipermasalahkan
A
A
A
Kekerasan horizontal dan konflik komunal sebagai dimensi dari bentuk gangguan keamanan dalam negeri selama tahun 2012 memperlihatkan kondisi yang cukup memprihatinkan.
Berdasarkan catatan peristiwa tahun 2012, terjadi kekerasan horizontal dan konflik komunal yang menonjol di Sulawesi Tengah sebanyak lima belas peristiwa; di Papua enam peristiwa; di Lampung lima peristiwa; di NAD lima peristiwa; hal serupa terjadi juga di Barong Tongkok, Kutai Barat, Kalimantan Timur, serta Seram Barat, Maluku (Wantimpres, 2013).
Dari perkembangan bentuk kekerasan dan konflik di masyarakat terdapat konflik yang secara spesifik terkait dengan masalah sumber daya alam. Konflik itu terjadi karena dimungkinkan masih terdapat perbedaan dalam akses sumber-sumber ekonomi, seperti mineral, lahan, hutan, juga dalam hal distribusi dan kesempatan menguasai di masyarakat. Selain itu, lemahnya perlindungan politik terhadap warga lapisan bawah juga menimbulkan “kekecewaan” masyarakat.
Apalagi terjadi kerusakan lingkungan hidup yang diduga akibat diskriminasi dalam peruntukan tanah dan kecerobohan investor dalam mengeksploitasi sumber daya alam. Berlarut-larutnya upaya penyelesaian masalah menambah geramnya masyarakat di sekitar daerah eksploitasi hingga muncul perlawanan terhadap investor dalam bentuk kekerasan dan konflik yang berkelanjutan.
Data 588 potensi konflik yang berasal dari sumber daya alam (Mabes Polri, 2013) jika dikaitkan dengan latar belakang masalah sebagaimana telah dijelaskan menunjukkan bahwa hal itu bukanlah sekedar fenomena “kasuistis”, melainkan telah menjadi “pola konflik” di daerah eksploitasi sumber daya alam. Indikasinya nampak dilihat dari penanganan masalah, umumnya setelah potensi konflik jadi nyata, Polri menjadi tumpu utama.
Padahal masalahnya sangat luas, karena itu sebaik apa pun pengamanan dilakukan kemungkinan kekerasan dan konflik, tetap akan terjadi selama akar masalahnya tidak diselesaikan secara tuntas. Untuk penanganan konflik dan kekerasan, Polri telah memiliki berbagai petunjuk antara lain Perkap No 08 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip- Prinsip Standar HAM, Perkap No 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Masa, Protap No 1 Tahun 2010 tentang Penanggulangan Tindakan Anarki.
Meskipun dalam petunjuk itu diatur langkahlangkah tugas, apa yang dilarang apa yang diwajibkan, kendali dan alih kendali. Namun, isinya hanya mengatur tindakan polisi sendiri, sedangkan konsepsi yang mengoordinasikan langkah-langkah yang harus dilakukan oleh instansi lain tidak terumuskan.
Selain itu untuk mengimplementasikan petunjukpetunjuk tersebut diperlukan antara lain seleksi aparat yang dapat menjadi anggota satuan pengamanan, dukungan sarana-prasarana dan biaya untuk latihan rutin yang semua itu harus terprogram, terawasi dan terkendali juga belum terinci secara terukur antarsatuan kerja (satker).
Dari sudut eksternal, dalam pelaksanaan pengamanan masih nampak ketidakjelasan aturan/sanksi, peranan, komposisi, team work, komunikasi dialogis, keputusan bertindak secara tepat dan benar, serta kepemimpinan yang efektif dalam pengamanan. Selain itu, penjelasan (pemberian pemahaman) terhadap para anggota satuan pengaman tentang masalah struktural yang terkait dengan dinamika pembangunan, terutama memahami masyarakat bawah yang kecewa oleh kenyataan dalam alokasi sumber daya alam, tanah, lahan, dan hutan belum setara untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehingga mereka melakukan tindakan anarkistis belum dilakukan secara benar, bahkan cenderung subyektif.
Akibatnya , tindakan anggota satuan pengamanan di lapangan kurang sensitif dan mudah terpancing untuk melakukan tindakan kekerasan yang berlebihan, sehingga mengundang persepsi negatif karena menganggap polisi memihak kepada kepentingan pengusaha ataupun kelompok politik tertentu. Inilah potret dari penanganan kekerasan dan konflik sumber daya alam di Indonesia.
Keamanan suatu negara itu sangat penting bagi jalannya pembangunan. Hal ini ditunjukkan oleh Marshall B. Clinard (2000) dari hasil penelitiannya di negara-negara berkembang yang menemukan adanya korelasi antara globalisasi ekonomi dan timbulnya masalah keamanan yang disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: Pertama, ketidakseimbangan antara konsentrasi modernisasi dan kekuatan-kekuatan ekonomi pada suatu wilayah dengan keterbelakangan populasi perdesaan.
Kedua, ketidakseimbangan antara pertambahan jumlah penduduk dan kemampuan ekonomi untuk menciptakan lapangan kerja. Ketiga, ketidakseimbangan antara tuntutan sistem ekonomi dengan perkembangan keterampilan warga masyarakat. Keempat, berkurangnya peran keluarga sebagai sarana sosial kontrol tanpa digantikan oleh pranata lain. Di Indonesia, pembangunan nasional telah menghasilkan dua strata sosial ekstrem yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat yaitu, kesenjangan antara golongan kaya dan golongan miskin sebagai dampak psikologis persaingan tidak sehat dalam mengejar status sosial dan materi.
Kesenjangan itu memicu timbulnya situasi keamanan tidak kondusif. Karena itu, penanggulangannya tidak mungkin hanya dengan menangkap, menghukum, dan merehabilitasi para kriminal. Seperti yang terjadi selama ini, Polri cenderung dijadikan alat pemadam kebakaran. Hal ini disebabkan adanya masalah di luar hukum seperti, politik, ekonomi, sosial, dan budaya ikut memengaruhi konflik sumber daya alam.
Oleh karena itu jika penanganannya hanya mengandalkan perundangundangan pidana, atau dengan penghukuman yang berat untuk menakut-nakuti pelaku, maka hasilnya tidak akan optimal. Jepang adalah salah satu negara yang menyertai usaha keamanan dengan sistem ”pertahanan sosial” (social defence) yang direncanakan secara teratur dalam program dan pelaksanaan pembangunan. Mengacu pada strategi tersebut, setiap upaya keamanan perlu dipahami lebih dahulu kekuatan- kekuatan dan tekanantekanan yang memengaruhi terjadinya perubahan-perubahan di dalam masyarakat.
Ini berkaitan dengan prasarana konsumsi kolektif dalam kehidupan masyarakat seharihari, seperti perumahan, pendidikan, kesehatan, kebudayaan, dan transportasi. Dalam perkembangan sistem perekonomian suatu masyarakat, masalah itu telah menimbulkan kontradiksi peningkatan sosial konsumsi di satu pihak dengan sistem ekonomi di sisi lain yang menuntut produksi dan distribusi sarana konsumsi secara merata. (Marshall B Clinard, dalam Comparative Criminology and Developing Countries, 1976).
Masalah konflik sumber daya alam sesungguhnya berada di luar hukum pidana. Pertentangan, kontradiksi, ataupun konflik, sebagai perilaku manusia tidak hanya berupa masalah fisik, tetapi melibatkan pula kompleksitas variabel seperti emosional, psikologi, sosial, budaya, dan lingkungan. Sebagai masalah sosial, upaya penanganannya tidaklah sesederhana seperti membuat vaksin atau obat penangkal penyakit.
Oleh karena itu, sangat penting untuk menanggulangi masalah pertentangan, kontradiksi, konflik dalam pengelolaan sumber daya alam ditinjau dari strategi ”pertahanan sosial” yang tidak didasarkan pada perundang-undangan pidana atau dengan penghukuman yang berat semata. Mengacu pada strategi tersebut, Marc Ancel (1994) menjelaskan bahwa pertahanan sosial tidak semata-mata terfokus pada terjadinya kejahatan, tetapi juga pada kebijakan pembangunan yang terorganisir secara baik.
Kebijakan itu menyangkut aspek properity dan security yang dalam dunia pembangunan dikenal dengan istilah keamanan manusia (Human Security). Untuk itu, penanganan konflik sumber daya alam perlu dimulai dari hulu hingga hilir secara koordinatif sistemik. Melandasi pemikiran tersebut tidak mungkin Polri mampu mengatasi sendiri konflik sumber daya alam seperti yang berlangsung selama ini. Artinya, pada fase-fase tertentu diperlukan penanganan oleh departemen terkait sesuai dengan karakter ancaman yang terjadi.
Penanganan konflik sumber daya alam perlu disusun secara “konsepsional” dalam hubungan antara departemen terkait dan mengikutsertakan lembaga-lembaga sosial, dikelola dalam satu wadah oleh Polri untuk mencapai efisiensi dan efektivitas dalam pelaksanaan. Selanjutnya dirumuskan cara kerja penanganannya dengan memerinci jenis-jenis ancaman mulai dari yang bersifat sosial hingga extraordinary crime, susunan kekuatan, cara bertindak dan pengendalian, serta pelibatan sumber daya yang dimiliki untuk menanggulangi jenis-jenis ancaman sesuai fungsionalisasinya.
Akhirnya masalah penanganan kekerasan dan konflik sumber daya alam merupakan penempatan peran dan kewenangan lembaga-lembaga pemerintah yang berkompeten di bidang keamanan bersama lembaga-lembaga sosial untuk membangun keharmonisan masyarakat dalam rangka kelancaran pembangunan nasional. Keputusannya ditentukan melalui proses dua arah antara kewenangan formal Polri pada lapis otoritas politik dengan kesepakatan lembaga nonformal (sosial) untuk memadukan peran dalam rangka membangun kehidupan yang harmonis.
PROF. DR. BAMBANG WIDODO UMAR
Pengamat Kepolisian,
Staf Pengajar Departemen Kriminologi FISIP UI
Berdasarkan catatan peristiwa tahun 2012, terjadi kekerasan horizontal dan konflik komunal yang menonjol di Sulawesi Tengah sebanyak lima belas peristiwa; di Papua enam peristiwa; di Lampung lima peristiwa; di NAD lima peristiwa; hal serupa terjadi juga di Barong Tongkok, Kutai Barat, Kalimantan Timur, serta Seram Barat, Maluku (Wantimpres, 2013).
Dari perkembangan bentuk kekerasan dan konflik di masyarakat terdapat konflik yang secara spesifik terkait dengan masalah sumber daya alam. Konflik itu terjadi karena dimungkinkan masih terdapat perbedaan dalam akses sumber-sumber ekonomi, seperti mineral, lahan, hutan, juga dalam hal distribusi dan kesempatan menguasai di masyarakat. Selain itu, lemahnya perlindungan politik terhadap warga lapisan bawah juga menimbulkan “kekecewaan” masyarakat.
Apalagi terjadi kerusakan lingkungan hidup yang diduga akibat diskriminasi dalam peruntukan tanah dan kecerobohan investor dalam mengeksploitasi sumber daya alam. Berlarut-larutnya upaya penyelesaian masalah menambah geramnya masyarakat di sekitar daerah eksploitasi hingga muncul perlawanan terhadap investor dalam bentuk kekerasan dan konflik yang berkelanjutan.
Data 588 potensi konflik yang berasal dari sumber daya alam (Mabes Polri, 2013) jika dikaitkan dengan latar belakang masalah sebagaimana telah dijelaskan menunjukkan bahwa hal itu bukanlah sekedar fenomena “kasuistis”, melainkan telah menjadi “pola konflik” di daerah eksploitasi sumber daya alam. Indikasinya nampak dilihat dari penanganan masalah, umumnya setelah potensi konflik jadi nyata, Polri menjadi tumpu utama.
Padahal masalahnya sangat luas, karena itu sebaik apa pun pengamanan dilakukan kemungkinan kekerasan dan konflik, tetap akan terjadi selama akar masalahnya tidak diselesaikan secara tuntas. Untuk penanganan konflik dan kekerasan, Polri telah memiliki berbagai petunjuk antara lain Perkap No 08 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip- Prinsip Standar HAM, Perkap No 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Masa, Protap No 1 Tahun 2010 tentang Penanggulangan Tindakan Anarki.
Meskipun dalam petunjuk itu diatur langkahlangkah tugas, apa yang dilarang apa yang diwajibkan, kendali dan alih kendali. Namun, isinya hanya mengatur tindakan polisi sendiri, sedangkan konsepsi yang mengoordinasikan langkah-langkah yang harus dilakukan oleh instansi lain tidak terumuskan.
Selain itu untuk mengimplementasikan petunjukpetunjuk tersebut diperlukan antara lain seleksi aparat yang dapat menjadi anggota satuan pengamanan, dukungan sarana-prasarana dan biaya untuk latihan rutin yang semua itu harus terprogram, terawasi dan terkendali juga belum terinci secara terukur antarsatuan kerja (satker).
Dari sudut eksternal, dalam pelaksanaan pengamanan masih nampak ketidakjelasan aturan/sanksi, peranan, komposisi, team work, komunikasi dialogis, keputusan bertindak secara tepat dan benar, serta kepemimpinan yang efektif dalam pengamanan. Selain itu, penjelasan (pemberian pemahaman) terhadap para anggota satuan pengaman tentang masalah struktural yang terkait dengan dinamika pembangunan, terutama memahami masyarakat bawah yang kecewa oleh kenyataan dalam alokasi sumber daya alam, tanah, lahan, dan hutan belum setara untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehingga mereka melakukan tindakan anarkistis belum dilakukan secara benar, bahkan cenderung subyektif.
Akibatnya , tindakan anggota satuan pengamanan di lapangan kurang sensitif dan mudah terpancing untuk melakukan tindakan kekerasan yang berlebihan, sehingga mengundang persepsi negatif karena menganggap polisi memihak kepada kepentingan pengusaha ataupun kelompok politik tertentu. Inilah potret dari penanganan kekerasan dan konflik sumber daya alam di Indonesia.
Keamanan suatu negara itu sangat penting bagi jalannya pembangunan. Hal ini ditunjukkan oleh Marshall B. Clinard (2000) dari hasil penelitiannya di negara-negara berkembang yang menemukan adanya korelasi antara globalisasi ekonomi dan timbulnya masalah keamanan yang disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: Pertama, ketidakseimbangan antara konsentrasi modernisasi dan kekuatan-kekuatan ekonomi pada suatu wilayah dengan keterbelakangan populasi perdesaan.
Kedua, ketidakseimbangan antara pertambahan jumlah penduduk dan kemampuan ekonomi untuk menciptakan lapangan kerja. Ketiga, ketidakseimbangan antara tuntutan sistem ekonomi dengan perkembangan keterampilan warga masyarakat. Keempat, berkurangnya peran keluarga sebagai sarana sosial kontrol tanpa digantikan oleh pranata lain. Di Indonesia, pembangunan nasional telah menghasilkan dua strata sosial ekstrem yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat yaitu, kesenjangan antara golongan kaya dan golongan miskin sebagai dampak psikologis persaingan tidak sehat dalam mengejar status sosial dan materi.
Kesenjangan itu memicu timbulnya situasi keamanan tidak kondusif. Karena itu, penanggulangannya tidak mungkin hanya dengan menangkap, menghukum, dan merehabilitasi para kriminal. Seperti yang terjadi selama ini, Polri cenderung dijadikan alat pemadam kebakaran. Hal ini disebabkan adanya masalah di luar hukum seperti, politik, ekonomi, sosial, dan budaya ikut memengaruhi konflik sumber daya alam.
Oleh karena itu jika penanganannya hanya mengandalkan perundangundangan pidana, atau dengan penghukuman yang berat untuk menakut-nakuti pelaku, maka hasilnya tidak akan optimal. Jepang adalah salah satu negara yang menyertai usaha keamanan dengan sistem ”pertahanan sosial” (social defence) yang direncanakan secara teratur dalam program dan pelaksanaan pembangunan. Mengacu pada strategi tersebut, setiap upaya keamanan perlu dipahami lebih dahulu kekuatan- kekuatan dan tekanantekanan yang memengaruhi terjadinya perubahan-perubahan di dalam masyarakat.
Ini berkaitan dengan prasarana konsumsi kolektif dalam kehidupan masyarakat seharihari, seperti perumahan, pendidikan, kesehatan, kebudayaan, dan transportasi. Dalam perkembangan sistem perekonomian suatu masyarakat, masalah itu telah menimbulkan kontradiksi peningkatan sosial konsumsi di satu pihak dengan sistem ekonomi di sisi lain yang menuntut produksi dan distribusi sarana konsumsi secara merata. (Marshall B Clinard, dalam Comparative Criminology and Developing Countries, 1976).
Masalah konflik sumber daya alam sesungguhnya berada di luar hukum pidana. Pertentangan, kontradiksi, ataupun konflik, sebagai perilaku manusia tidak hanya berupa masalah fisik, tetapi melibatkan pula kompleksitas variabel seperti emosional, psikologi, sosial, budaya, dan lingkungan. Sebagai masalah sosial, upaya penanganannya tidaklah sesederhana seperti membuat vaksin atau obat penangkal penyakit.
Oleh karena itu, sangat penting untuk menanggulangi masalah pertentangan, kontradiksi, konflik dalam pengelolaan sumber daya alam ditinjau dari strategi ”pertahanan sosial” yang tidak didasarkan pada perundang-undangan pidana atau dengan penghukuman yang berat semata. Mengacu pada strategi tersebut, Marc Ancel (1994) menjelaskan bahwa pertahanan sosial tidak semata-mata terfokus pada terjadinya kejahatan, tetapi juga pada kebijakan pembangunan yang terorganisir secara baik.
Kebijakan itu menyangkut aspek properity dan security yang dalam dunia pembangunan dikenal dengan istilah keamanan manusia (Human Security). Untuk itu, penanganan konflik sumber daya alam perlu dimulai dari hulu hingga hilir secara koordinatif sistemik. Melandasi pemikiran tersebut tidak mungkin Polri mampu mengatasi sendiri konflik sumber daya alam seperti yang berlangsung selama ini. Artinya, pada fase-fase tertentu diperlukan penanganan oleh departemen terkait sesuai dengan karakter ancaman yang terjadi.
Penanganan konflik sumber daya alam perlu disusun secara “konsepsional” dalam hubungan antara departemen terkait dan mengikutsertakan lembaga-lembaga sosial, dikelola dalam satu wadah oleh Polri untuk mencapai efisiensi dan efektivitas dalam pelaksanaan. Selanjutnya dirumuskan cara kerja penanganannya dengan memerinci jenis-jenis ancaman mulai dari yang bersifat sosial hingga extraordinary crime, susunan kekuatan, cara bertindak dan pengendalian, serta pelibatan sumber daya yang dimiliki untuk menanggulangi jenis-jenis ancaman sesuai fungsionalisasinya.
Akhirnya masalah penanganan kekerasan dan konflik sumber daya alam merupakan penempatan peran dan kewenangan lembaga-lembaga pemerintah yang berkompeten di bidang keamanan bersama lembaga-lembaga sosial untuk membangun keharmonisan masyarakat dalam rangka kelancaran pembangunan nasional. Keputusannya ditentukan melalui proses dua arah antara kewenangan formal Polri pada lapis otoritas politik dengan kesepakatan lembaga nonformal (sosial) untuk memadukan peran dalam rangka membangun kehidupan yang harmonis.
PROF. DR. BAMBANG WIDODO UMAR
Pengamat Kepolisian,
Staf Pengajar Departemen Kriminologi FISIP UI
(hyk)