Alternatif capres dan konvensi partai demokrat
A
A
A
Ke mana harapan akan tersedianya alternatif calon presiden RI untuk 2014 dilabuhkan? Mestinya pertanyaan pembuka di atas tidak sulit untuk dijawab. Menurut undangundang, partai politik masih merupakan satu-satunya lembaga yang boleh mengajukan calon presiden.
Karena itu, labuhan terakhir bagi munculnya calon-calon presiden juga adalah partai politik. Sebagaimana diketahui, sampai hari ini, adalah Partai Golkar, Partai Gerindra, dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang tampaknya sudah relatif pasti memiliki calon presiden. Sudah beberapa tahun terakhir ini, tokoh-tokoh utama mereka seperti Aburizal Bakrie, Prabowo Subianto, dan Megawati, sering disebut sebagai bakal capres.
Dua yang pertama bahkan secara rutin beriklankan ke publik, baik melalui televisi, radio, koran, dan majalah— serta baliho. Sementara yang terakhir lebih memilih untuk mengonsolidasikan kekuatan PDIP di daerah, sekalian membantu calon-calon dari partainya yang tengah berlaga memenangkan kursi walikota, bupati, atau gubernur. Partai-partai lain masih gamang, atau mungkin masih belum bersemangat untuk masuk ke dalam bursa pencapresan.
Meski demikian, penting untuk dicatat bahwa Partai Demokrat dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) telah mengeluarkan pernyataan bakal menggelar konvensi untuk menjaring calon presiden. Walaupun masyarakat luas belum mengetahui kapan konvensi akan dilaksanakan, dan dengan cara atau mekanisme apa, setidaknya niatan tersebut, khususnya dari Partai Demokrat, telah mendatangkan respons dari sejumlah pihak yang menyatakan bersedia ikut—atau setidaknya mempertimbangkannya untuk ikut.
Tak kurang, misalnya, Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman, mantan Panglima TNI Djoko Santoso, dan Menteri Perdagangan Gita Wirjawan menyatakan bersedia ikut konvensi Partai Demokrat. Beberapa media massa juga berulang kali memberitakan bahwa mantan ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mempertimbangkan secara serius mengenai keikutsertaannya dalam konvensi—bergantung bagaimana nanti hal tersebut dirancang dan dilaksanakan.
Nama-nama lain seperti Menteri BUMN Dahlan Iskan, pengusaha Chairul Tanjung, dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Marzuki Alie juga disebut-sebut sebagai figur yang mungkin ikut meramaikan konvensi Partai Demokrat. Bahkan, Joko Widodo yang belum setahun menjadi gubernur Jakarta pun dipersilakan untuk ikut!
Secara simbolis, ini merupakan perkembangan yang menarik. Sejak beberapa tahun terakhir, bursa pencapresan didominasi oleh tiga tokoh yang disebut pertama di atas. Demikian seringnya mereka diberitakan, sehingga membuat publik berpikir betapa terbatasnya pilihan capres yang tersedia.
Bagi mereka yang mengamati secara agak serius mengenai calon-calon yang tersedia itu, baik mengenai gagasan maupun rekam jejak mereka, bukan tidak mustahil hal tersebut telah mendatangkan kejenuhan— bahkan apatisme. Rasa fatigue ini “diperparah” dengan hasil survei dan polling yang cenderung konsisten, dalam artian tidak terdapat perubahan yang berarti.
Dengan munculnya namanama lain, bursa pencapresan menjadi penuh warna. Meskipun masih harus melalui jalan panjang, serta ujung yang tak pasti, kemunculan nama-nama itu telah membuat politik pencapresan menjadi menggairahkan. Sedikit banyaknya hal tersebut telah menghilangkan rasa jenuh, sebab “objek bahasan” menjadi lebih banyak, tingkat diversifikasinya menjadi lebih tinggi.
Setidaknya ada tiga hal penting yang dapat dicatat dalam hal ini. Pertama,terbukanya kesempatan yang bagi sejumlah pihak, khususnya orang-orang nonpartai, untuk ikut masuk dalam bursa pencapresan. Selama ini banyak pembicaraan yang berkembang bahwa di samping orang-orang partai, sebenarnya terdapat sejumlah orang yang layak dipertimbangkan untuk dimasukkan ke dalam bursa pencapresan.
Hambatan utama mereka adalah tidak tersedianya kendaraan politik yang bakal mengusung mereka. Sebab biasanya partai politik cenderung untuk mencalonkan orangorang mereka sendiri, terutama untuk posisi calon presiden. Sementara itu, orang-orang nonpartai hanya diberi kesempatan untuk disanding pada posisi calon orang kedua (cawapres). Inilah yang dulu terjadi pada tokoh seperti mantan Ketua PBNU Hasyim Muzadi, Pengasuh Pesantren Tebu Ireng Solahuddin Wahid, atau Jenderal Agum Gumelar, Dengan konvensi, kesempatan bagi mereka untuk dicapreskan menjadi terbuka.
Kedua, dengan tersedianya kendaraan politik yang bakal mencalonkan mereka, para tokoh itu menjadi lebih sungguh-sungguh dalam mempersiapkan diri mereka, antara lain, kini mereka bakal dituntut untuk menjelaskan gagasan-gagasan mereka baik yang bersifat sosial keagamaan, ekonomi, dan politik. Mereka tidak mungkin menghindar dari isu-isu ini, sebab hal-hal itulah—di samping penampilan, gesture, dan mungkin juga charm—yang juga bakal menarik dukungan publik.
Menjelaskan dan memaparkan gagasan mereka untuk membuat Indonesia menjadi lebih baik, untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang masih ada di sekitar kita (seperti soal korupsi, penegakan hukum, intoleransi, radikalisme, dan sebagainya) merupakan indikator kesungguhan para calon-calon itu di satu pihak, dan merupakan bagian dari upaya mereka untuk menarik dukungan publik di pihak lain.
Dengan itu, mereka tidak hanya akan diberitakan oleh media massa, tetapi juga dipertimbangkan secara sungguhsungguh oleh masyarakat pemilih— kendatipun mungkin tidak semuanya. Ketiga, gabungan antara keinginan masyarakat untuk memperoleh capres-capres lain dan kesungguhan para capres untuk mempersiapkan diri, karena tersedianya kendaraan politik yang diperoleh melalui konvensi diharapkan bakal membuat Partai Demokrat lebih sungguh-sungguh di dalam menyiapkan agenda konvensi.
Karena itu, konvensi harus benar-benar dimaksudkan untuk menyediakan caprescapres yang potensial menggerakkan masyarakat untuk menyongsong pemilihan presiden pada 2014 nanti. Untuk itu, proses dan mekanismenya harus benar-benar transparan yang memberikan rasa nyaman bagi para pesertanya.
Karena itu, sudah saatnya bagi para capres, terutama mereka yang baru muncul, seperti Mahfud MD, Gita Wirjawan, atau Irman Gusman, untuk segera meningkatkan frekuensi penjajakan gagasan dan penampilan mereka kepada publik.
Tidak perlu lagi merasa sungkan, sebab masyarakat memang tengah menimbang-nimbang siapa yang sebenarnya bersedia dan mampu untuk memimpin dan memerintah. Siapa tahu, gagasan dan penampilan mereka menjadi faktor pembeda dari calon-calon lain yang telah terlebih dahulu bersosialisasi.
BAHTIAR EFFENDY
Dekan Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif
Karena itu, labuhan terakhir bagi munculnya calon-calon presiden juga adalah partai politik. Sebagaimana diketahui, sampai hari ini, adalah Partai Golkar, Partai Gerindra, dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang tampaknya sudah relatif pasti memiliki calon presiden. Sudah beberapa tahun terakhir ini, tokoh-tokoh utama mereka seperti Aburizal Bakrie, Prabowo Subianto, dan Megawati, sering disebut sebagai bakal capres.
Dua yang pertama bahkan secara rutin beriklankan ke publik, baik melalui televisi, radio, koran, dan majalah— serta baliho. Sementara yang terakhir lebih memilih untuk mengonsolidasikan kekuatan PDIP di daerah, sekalian membantu calon-calon dari partainya yang tengah berlaga memenangkan kursi walikota, bupati, atau gubernur. Partai-partai lain masih gamang, atau mungkin masih belum bersemangat untuk masuk ke dalam bursa pencapresan.
Meski demikian, penting untuk dicatat bahwa Partai Demokrat dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) telah mengeluarkan pernyataan bakal menggelar konvensi untuk menjaring calon presiden. Walaupun masyarakat luas belum mengetahui kapan konvensi akan dilaksanakan, dan dengan cara atau mekanisme apa, setidaknya niatan tersebut, khususnya dari Partai Demokrat, telah mendatangkan respons dari sejumlah pihak yang menyatakan bersedia ikut—atau setidaknya mempertimbangkannya untuk ikut.
Tak kurang, misalnya, Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman, mantan Panglima TNI Djoko Santoso, dan Menteri Perdagangan Gita Wirjawan menyatakan bersedia ikut konvensi Partai Demokrat. Beberapa media massa juga berulang kali memberitakan bahwa mantan ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mempertimbangkan secara serius mengenai keikutsertaannya dalam konvensi—bergantung bagaimana nanti hal tersebut dirancang dan dilaksanakan.
Nama-nama lain seperti Menteri BUMN Dahlan Iskan, pengusaha Chairul Tanjung, dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Marzuki Alie juga disebut-sebut sebagai figur yang mungkin ikut meramaikan konvensi Partai Demokrat. Bahkan, Joko Widodo yang belum setahun menjadi gubernur Jakarta pun dipersilakan untuk ikut!
Secara simbolis, ini merupakan perkembangan yang menarik. Sejak beberapa tahun terakhir, bursa pencapresan didominasi oleh tiga tokoh yang disebut pertama di atas. Demikian seringnya mereka diberitakan, sehingga membuat publik berpikir betapa terbatasnya pilihan capres yang tersedia.
Bagi mereka yang mengamati secara agak serius mengenai calon-calon yang tersedia itu, baik mengenai gagasan maupun rekam jejak mereka, bukan tidak mustahil hal tersebut telah mendatangkan kejenuhan— bahkan apatisme. Rasa fatigue ini “diperparah” dengan hasil survei dan polling yang cenderung konsisten, dalam artian tidak terdapat perubahan yang berarti.
Dengan munculnya namanama lain, bursa pencapresan menjadi penuh warna. Meskipun masih harus melalui jalan panjang, serta ujung yang tak pasti, kemunculan nama-nama itu telah membuat politik pencapresan menjadi menggairahkan. Sedikit banyaknya hal tersebut telah menghilangkan rasa jenuh, sebab “objek bahasan” menjadi lebih banyak, tingkat diversifikasinya menjadi lebih tinggi.
Setidaknya ada tiga hal penting yang dapat dicatat dalam hal ini. Pertama,terbukanya kesempatan yang bagi sejumlah pihak, khususnya orang-orang nonpartai, untuk ikut masuk dalam bursa pencapresan. Selama ini banyak pembicaraan yang berkembang bahwa di samping orang-orang partai, sebenarnya terdapat sejumlah orang yang layak dipertimbangkan untuk dimasukkan ke dalam bursa pencapresan.
Hambatan utama mereka adalah tidak tersedianya kendaraan politik yang bakal mengusung mereka. Sebab biasanya partai politik cenderung untuk mencalonkan orangorang mereka sendiri, terutama untuk posisi calon presiden. Sementara itu, orang-orang nonpartai hanya diberi kesempatan untuk disanding pada posisi calon orang kedua (cawapres). Inilah yang dulu terjadi pada tokoh seperti mantan Ketua PBNU Hasyim Muzadi, Pengasuh Pesantren Tebu Ireng Solahuddin Wahid, atau Jenderal Agum Gumelar, Dengan konvensi, kesempatan bagi mereka untuk dicapreskan menjadi terbuka.
Kedua, dengan tersedianya kendaraan politik yang bakal mencalonkan mereka, para tokoh itu menjadi lebih sungguh-sungguh dalam mempersiapkan diri mereka, antara lain, kini mereka bakal dituntut untuk menjelaskan gagasan-gagasan mereka baik yang bersifat sosial keagamaan, ekonomi, dan politik. Mereka tidak mungkin menghindar dari isu-isu ini, sebab hal-hal itulah—di samping penampilan, gesture, dan mungkin juga charm—yang juga bakal menarik dukungan publik.
Menjelaskan dan memaparkan gagasan mereka untuk membuat Indonesia menjadi lebih baik, untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang masih ada di sekitar kita (seperti soal korupsi, penegakan hukum, intoleransi, radikalisme, dan sebagainya) merupakan indikator kesungguhan para calon-calon itu di satu pihak, dan merupakan bagian dari upaya mereka untuk menarik dukungan publik di pihak lain.
Dengan itu, mereka tidak hanya akan diberitakan oleh media massa, tetapi juga dipertimbangkan secara sungguhsungguh oleh masyarakat pemilih— kendatipun mungkin tidak semuanya. Ketiga, gabungan antara keinginan masyarakat untuk memperoleh capres-capres lain dan kesungguhan para capres untuk mempersiapkan diri, karena tersedianya kendaraan politik yang diperoleh melalui konvensi diharapkan bakal membuat Partai Demokrat lebih sungguh-sungguh di dalam menyiapkan agenda konvensi.
Karena itu, konvensi harus benar-benar dimaksudkan untuk menyediakan caprescapres yang potensial menggerakkan masyarakat untuk menyongsong pemilihan presiden pada 2014 nanti. Untuk itu, proses dan mekanismenya harus benar-benar transparan yang memberikan rasa nyaman bagi para pesertanya.
Karena itu, sudah saatnya bagi para capres, terutama mereka yang baru muncul, seperti Mahfud MD, Gita Wirjawan, atau Irman Gusman, untuk segera meningkatkan frekuensi penjajakan gagasan dan penampilan mereka kepada publik.
Tidak perlu lagi merasa sungkan, sebab masyarakat memang tengah menimbang-nimbang siapa yang sebenarnya bersedia dan mampu untuk memimpin dan memerintah. Siapa tahu, gagasan dan penampilan mereka menjadi faktor pembeda dari calon-calon lain yang telah terlebih dahulu bersosialisasi.
BAHTIAR EFFENDY
Dekan Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif
(hyk)