Mencermati Gaya Komunikasi Capres
A
A
A
Jadwal pemilihan presiden memang masih lama, kurang lebih satu setengah tahun lagi, tapi calon presiden (capres) yang akan berlaga di arena penuh onak dan duri itu sudah banyak bermunculan— baik melalui jalur resmi (partai politik) maupun jalur tak resmi (komunitas).Jadwal pemilihan presiden memang masih lama, kurang lebih satu setengah tahun lagi, tapi calon presiden (capres) yang akan berlaga di arena penuh onak dan duri itu sudah banyak bermunculan— baik melalui jalur resmi (partai politik) maupun jalur tak resmi (komunitas).
Untuk menyosialisasikan pencalonan dirinya, para capres sudah rajin berkampanye, minimal dengan cara berkomunikasi dengan berbagai pihak. Kalau kita cermati, setiap capres punya gaya yang berbeda dalam berkomunikasi. Coba kita perhatikan Hatta Rajasa, capres yang juga Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) ini memiliki gaya komunikasi yang sudah dimirip-miripkan dengan sang besan, yakni Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Kata-katanya tertata dengan baik dan kadang dibumbui metafora yang bersayap.
Sangat berbeda misalnya dengan Jusuf Kalla yang gaya bicaranya terkesan blak-blakan, tanpa basa-basi. Untuk memahami gaya komunikasi para capres, ada baiknya kita merujuk ahli budaya komunikasi, Edward T Hilal, yang membagi dua konteks budaya (1) konteks budaya tinggi (high context culture), yang umumnya dianut masyarakat dunia Timur, dan (b) konteks budaya rendah (low context culture) yang umumnya dianut masyarakat dunia Barat. Dua konteks budaya inilah yang mempengaruhi gaya komunikasi seseorang.
Budaya konteks tinggi akan menghasilkan gaya komunikasi konteks tinggi (high context), dan budaya konteks rendah akan menghasilkan gaya komunikasi konteks rendah (low context). Perlu digarisbawahi bahwa tinggi-rendah di sini tidak bermakna yang satu lebih tinggi atau lebih mulia dari yang lain. Tinggi-rendah menunjukkan bahwa yang satu lebih rumit dan yang lain lebih mudah dipahami. Yang satu lebih cocok dalam masyarakat kelas atas yang berbudaya tinggi, dan yang satunya lagi lebih pas untuk masyarakat bawah.
Gaya komunikasi konteks tinggi mengapa lebih rumit karena pada umumnya menggunakan bahasa nonverbal (bahasa isyarat), perumpamaan- perumpamaan, metafor, dan kiasan. Gaya bahasa yang digunakan cenderung dibungkus dengan kepura-puraan, dengan menggunakan bahasa yang berputarputar, dan tidak langsung ke sasaran. Sebaliknya, gaya komu-nikasi konteks rendah lebih mengutamakan bahasa yang vulgar, mudah dipahami, tidak basa-basi, dan langsung ke sasaran, tidak menggunakan istilah- istilah yang rumit dan susah dipahami.
Gaya komunikasi konteks rendah mencerminkan budaya egaliter yang penuh canda tawa. Kalau kita merujuk pada dua contoh yang ada di awal kolom ini tentu Anda bisa menebak siapa yang mewakili gaya komunikasi yang mana. Dari sekian banyak capres yang sudah memaparkan visi dan misi di hadapan publik, kita bisa mengklasifikasi capres mana yang cenderung menggunakan gaya komunikasi konteks tinggi dan mana yang cenderung menggunakan gaya komunikasi konteks rendah.
Dari gaya bahasa, gaya berbicara, dan gesturnya, kita bisa menebak siapa menggunakan gaya komunikasi apa. Apakah gaya komunikasi punya kaitan erat dengan popularitas dan elektabilitas seorang capres? Tidak mudah menjawab pertanyaan ini. Dalam kalkulasi yang logis capres yang bahasanya mudah dipahami mestinya lebih mudah berinteraksi dengan rakyat sebagai pemilih. Namun apakah dia akan dipilih, ternyata belum tentu.
Buktinya, pada Pemilu Presiden 2009 SBY yang bahasanya berkonteks tinggi lebih dipilih ketimbang Jusuf Kalla yang gaya bahasanya berkonteks rendah. Akan tetapi, pada kasus Pemilukada DKI Jakarta, Joko Widodo (Jokowi) yang gaya bahasanya berkonteks rendah lebih dipilih dari Fauzi Bowo (Foke) yang cenderung berkonteks tinggi. Artinya, dengan mencermati kasus SBY dan Jokowi, tampaknya penggunaan gaya komunikasi tidak berdampak secara langsung pada tingkat elektabilitas politisi. Ada banyak faktor yang lebih menentukan ketimbang sekadar penggunaan bahasa.
Sebenarnya, gaya komunikasi lebih menunjukkan apakah seorang capres memiliki kecenderungan lebih dekat dengan rakyat atau tidak. Gaya komunikasi berkonteks rendah jauh lebih merakyat karena menggunakanbahasa rakyat yang mudah dipahami. Artinya, capres yang bergaya bahasa konteks rendah sebenarnya lebih mudah dipilih rakyat ketimbang yang berkonteks tinggi. Tapidalam praktik mengapa bisa terjadi sebaliknya? Bisa jadi karena masih adanya faktor feodalisme.
Dalam budaya feodal, ada jarak yang jauh antara pemimpin dan rakyat. Dalam budaya feodal, pemimpin harus berada di singgasana, tidak boleh kotor. Pemimpin yang kotor akan kehilangan wibawa. Cara pandang seperti inilah yang membuat capres bergaya bahasa konteks tinggi lebih diminati dan membuat Presiden SBY terpilih dua kali. Tapi apakah Presiden SBY berhasil membawa kesejahteraan rakyat? Inilah masalahnya. Keberhasilan, jika dianggap ada, hanya semu belaka. Mengapa demikian?
Karena gaya bahasa atau gaya komunikasi konteks tinggi hanya bisa menghasilkan wibawa, hanya bisa memproduksi citra, tidak mampu merealisasikan cita-cita. Untuk sampai pada tahapan merealisasikan cita-cita atau janji pada saat kampanye, yang pertama-tama dibutuhkan pemimpin adalah bagaimana ia mampu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa rakyatnya.
Dengan kemampuan ini titah-titahnya akan lebih mudah dipahami dan (karenanya) akan lebih mudah pula diikuti. Kebersamaan antara pemimpin dan yang dipimpin akan berpengaruh secara signifikan dalam melaksanakan program-program yang akan dan sedang dilaksanakan seorang pemimpin.
JEFFRIE GEOVANIE
Founder The Indonesian Institute
Untuk menyosialisasikan pencalonan dirinya, para capres sudah rajin berkampanye, minimal dengan cara berkomunikasi dengan berbagai pihak. Kalau kita cermati, setiap capres punya gaya yang berbeda dalam berkomunikasi. Coba kita perhatikan Hatta Rajasa, capres yang juga Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) ini memiliki gaya komunikasi yang sudah dimirip-miripkan dengan sang besan, yakni Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Kata-katanya tertata dengan baik dan kadang dibumbui metafora yang bersayap.
Sangat berbeda misalnya dengan Jusuf Kalla yang gaya bicaranya terkesan blak-blakan, tanpa basa-basi. Untuk memahami gaya komunikasi para capres, ada baiknya kita merujuk ahli budaya komunikasi, Edward T Hilal, yang membagi dua konteks budaya (1) konteks budaya tinggi (high context culture), yang umumnya dianut masyarakat dunia Timur, dan (b) konteks budaya rendah (low context culture) yang umumnya dianut masyarakat dunia Barat. Dua konteks budaya inilah yang mempengaruhi gaya komunikasi seseorang.
Budaya konteks tinggi akan menghasilkan gaya komunikasi konteks tinggi (high context), dan budaya konteks rendah akan menghasilkan gaya komunikasi konteks rendah (low context). Perlu digarisbawahi bahwa tinggi-rendah di sini tidak bermakna yang satu lebih tinggi atau lebih mulia dari yang lain. Tinggi-rendah menunjukkan bahwa yang satu lebih rumit dan yang lain lebih mudah dipahami. Yang satu lebih cocok dalam masyarakat kelas atas yang berbudaya tinggi, dan yang satunya lagi lebih pas untuk masyarakat bawah.
Gaya komunikasi konteks tinggi mengapa lebih rumit karena pada umumnya menggunakan bahasa nonverbal (bahasa isyarat), perumpamaan- perumpamaan, metafor, dan kiasan. Gaya bahasa yang digunakan cenderung dibungkus dengan kepura-puraan, dengan menggunakan bahasa yang berputarputar, dan tidak langsung ke sasaran. Sebaliknya, gaya komu-nikasi konteks rendah lebih mengutamakan bahasa yang vulgar, mudah dipahami, tidak basa-basi, dan langsung ke sasaran, tidak menggunakan istilah- istilah yang rumit dan susah dipahami.
Gaya komunikasi konteks rendah mencerminkan budaya egaliter yang penuh canda tawa. Kalau kita merujuk pada dua contoh yang ada di awal kolom ini tentu Anda bisa menebak siapa yang mewakili gaya komunikasi yang mana. Dari sekian banyak capres yang sudah memaparkan visi dan misi di hadapan publik, kita bisa mengklasifikasi capres mana yang cenderung menggunakan gaya komunikasi konteks tinggi dan mana yang cenderung menggunakan gaya komunikasi konteks rendah.
Dari gaya bahasa, gaya berbicara, dan gesturnya, kita bisa menebak siapa menggunakan gaya komunikasi apa. Apakah gaya komunikasi punya kaitan erat dengan popularitas dan elektabilitas seorang capres? Tidak mudah menjawab pertanyaan ini. Dalam kalkulasi yang logis capres yang bahasanya mudah dipahami mestinya lebih mudah berinteraksi dengan rakyat sebagai pemilih. Namun apakah dia akan dipilih, ternyata belum tentu.
Buktinya, pada Pemilu Presiden 2009 SBY yang bahasanya berkonteks tinggi lebih dipilih ketimbang Jusuf Kalla yang gaya bahasanya berkonteks rendah. Akan tetapi, pada kasus Pemilukada DKI Jakarta, Joko Widodo (Jokowi) yang gaya bahasanya berkonteks rendah lebih dipilih dari Fauzi Bowo (Foke) yang cenderung berkonteks tinggi. Artinya, dengan mencermati kasus SBY dan Jokowi, tampaknya penggunaan gaya komunikasi tidak berdampak secara langsung pada tingkat elektabilitas politisi. Ada banyak faktor yang lebih menentukan ketimbang sekadar penggunaan bahasa.
Sebenarnya, gaya komunikasi lebih menunjukkan apakah seorang capres memiliki kecenderungan lebih dekat dengan rakyat atau tidak. Gaya komunikasi berkonteks rendah jauh lebih merakyat karena menggunakanbahasa rakyat yang mudah dipahami. Artinya, capres yang bergaya bahasa konteks rendah sebenarnya lebih mudah dipilih rakyat ketimbang yang berkonteks tinggi. Tapidalam praktik mengapa bisa terjadi sebaliknya? Bisa jadi karena masih adanya faktor feodalisme.
Dalam budaya feodal, ada jarak yang jauh antara pemimpin dan rakyat. Dalam budaya feodal, pemimpin harus berada di singgasana, tidak boleh kotor. Pemimpin yang kotor akan kehilangan wibawa. Cara pandang seperti inilah yang membuat capres bergaya bahasa konteks tinggi lebih diminati dan membuat Presiden SBY terpilih dua kali. Tapi apakah Presiden SBY berhasil membawa kesejahteraan rakyat? Inilah masalahnya. Keberhasilan, jika dianggap ada, hanya semu belaka. Mengapa demikian?
Karena gaya bahasa atau gaya komunikasi konteks tinggi hanya bisa menghasilkan wibawa, hanya bisa memproduksi citra, tidak mampu merealisasikan cita-cita. Untuk sampai pada tahapan merealisasikan cita-cita atau janji pada saat kampanye, yang pertama-tama dibutuhkan pemimpin adalah bagaimana ia mampu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa rakyatnya.
Dengan kemampuan ini titah-titahnya akan lebih mudah dipahami dan (karenanya) akan lebih mudah pula diikuti. Kebersamaan antara pemimpin dan yang dipimpin akan berpengaruh secara signifikan dalam melaksanakan program-program yang akan dan sedang dilaksanakan seorang pemimpin.
JEFFRIE GEOVANIE
Founder The Indonesian Institute
(stb)