Job Security Vs Covid-19
A
A
A
Dwi Putra Apri Setianugraha, MM
Konsultan, Jasa Pengembangan Organisasi PPM Manajemen
PERTENGAHAN Desember 2019, dunia dikejutkan dengan kemunculan virus Covid-19 atau virus corona. Mata dunia tertuju ke Wuhan, tempat virus ini disinyalir ada untuk pertama kali.
Aktivitas preventif dari Kota Wuhan telah tersebar ke seluruh dunia. Bagaimana mereka menutup jalan utama, bagaimana sekolah dan perkantoran dibatasi aktivitasnya, bagaimana kerumunan masyarakat dihindari, dan aktivitas lainnya yang semula berjalan seperti biasa kini mulai dibatasi.
Saat Desember 2019 terjadi kepanikan di Wuhan, Indonesia masih merayakan pergantian tahun baru 2020 dan disambut dengan naiknya permukaan air di beberapa wilayah Jakarta. Beberapa wilayah tidak bisa dilalui, beberapa warga di wilayah tertentu tidak bisa memenuhi kebutuhan nya, termasuk untuk berangkat kerja karena akses menuju transportasi umum maupun kantor masing-masing terputus oleh banjir.
Lantas apa yang menjadi persamaan keduanya? Banjir dan corona berimbas kepada para karyawan sebuah perusahan.
Employement Relationship, adalah relasi-relasi yang timbul antara perusahaan sebagai pemberi kerja dengan karyawan sebagai pelaksana pekerjaan. Dalam relasi yang dibuat antara perusahaan dengan karyawan terdapat suatu kontrak psikologis yang merupakan sebuah deskripsi dari apa yang menjadi ekspektasi karyawan terhadap perusahaan dan apa yang perusahaan berikan kepada karyawan sebagai timbal balik.
Kontrak psikologis ini mendeskripsikan beberapa hal yang tidak terdeskripsi dengan baik antara karyawan dengan perusahaan. Sebagai contoh adalah suasana kerja, kondisi lingkungan kerja, dan tentu yang menjadi sorotan saat ini adalah keamanan kerja (job security).
Job security sendiri dikutip dari laman business dictionary adalah suatu kepastian yang diterima oleh seorang karyawan terhadap keberlanjutan dirinya dalam bekerja di perusahaan tertentu yang dipengaruhi oleh preferensi individu dan juga kondisi ekonomi secara umum baik di negara tersebut maupun global.
Persepsi tersebut kemudian menimbulkan harapan dari seorang karyawan bahwa keberadaan pekerjaan dan dirinya akan selalu dinilai penting bagi dirinya maupun perusahaan, harapan terkait dengan insentif, karir, dan ekspektasi lain yang dideskripsikan oleh karyawan.
Covid-19 yang mulai merebak hingga organisasi kesehatan dunia WHO menyatakan bahwa ini sebagai pandemi mulai memberikan dampak juga terhadap job security setiap pekerjaan di dunia, tak terkecuali di Indonesia. Melihat dari sudut pandang ketenagakerjaan, menjadi wajar jika saat ini aspek psikologis karyawan (dan juga perusahaan sebagai entitas bisnis) mulai dihinggapi kecemasan terkait dengan job security.
Apa pasal? Sebab secara global pandemi ini telah membuat aktivitas perekonomian lumpuh dengan penutupan maupun pengurangan aktivitas manusia termasuk aktivitas bisnis. Akibatnya bisnis melemah, proses transaksi melambat, diikuti juga dengan pengurangan aktivitas tatap muka langsung yang membuat proses pelayanan pelanggan menjadi terganggu.
Itu baru secara mikro. Secara makro, pengurangan karyawan di berbagai industri menjadi praktik yang ikut-ikutan merebak karena efisiensi bisnis. Pengurangan pembayaran upah juga menjadi new normal di era pandemi seperti ini. Hal ini semakin membuat karyawan bertanya “bagaimana keamanan kerja saya saat ini? Akankah saya tetap bekerja di perusahaan ini? Atau jangan-jangan saya yang terpilih untuk pengurangan tenaga kerja?”
Pertanyaan di atas menjadi wajar hinggap di telinga para manajer SDM yang juga (mungkin) bertanya kepada dirinya sendiri dengan pertanyaan yang sama. Seluruh elemen bisnis dari pelaksana hingga pengambil keputusan sama bingungnya. Seluruh bentuk bisnis dari mulai mikro hingga korporasi besar juga tidak luput dari kibasan virus corona ini, termasuk entitas utama dalam bisnis itu sendiri, manusia.
Lantas, apa yang bisa dilakukan oleh perusahaan maupun karyawan? Solusi yang diharapkan tentu harus disetujui antara perusahaan dan juga karyawan. Untuk menanggulangi dampak psikologis yang mungkin terjadi, perusahaan perlu mengenali bagaimana karakteristik dari karyawan yang ada di dalamnya beserta jenis-jenis pekerjaan yang ada di perusahaan.
Memindahkan pekerjaan yang semula dilakukan di kantor menjadi di rumah para karyawan menjadi alternatif yang adil bagi kedua belah pihak dengan memastikan bahwa pekerjaan memang bisa dilakukan dari rumah dengan target pekerjaan yang terukur.
Istilah ini dikenal dengan Work From Home (WFH) alias Kerja Dari Rumah (KDR). Memang tidak semua pekerjaan bisa di WFH-kan. Namun ini menjadi alternatif yang bisa dilakukan oleh perusahaan dengan menempatkan karyawan di rumah masing-masing namun tetap melakukan aktivitas seperti biasa.
Secara keamanan dalam bekerja, karyawan bisa merasakan lebih aman dan merasa pekerjaannya memang masih dinilai penting oleh perusahaan. Teknologi pun sekarang memudahkan untuk pelaksanaan hal tersebut, dan perusahaan (sebetulnya) bisa melakukan pemangkasan biaya transportasi yang diberikan kepada karyawan dan digantikan dengan biaya koneksi internet yang digunakan oleh karyawan.
Fleksibilitas kerja dalam masa pandemi menjadi suatu yang berharga bagi para karyawan yang (mungkin) melebihi dari keuntungan yang diterima secara rutin per bulan. Dengan ini, bukan hanya perasaan aman selama bekerja, tetapi kejelasan mereka dalam bekerja di tempat saat ini tetap terjaga. Selain itu, perusahaan juga pada akhirnya bisa menilai mana pekerjaan yang sebenarnya bisa dikerjakan dari rumah dan mana yang harus tetap hadir di kantor secara fisik.
Sehingga setelah pandemi ini berakhir, ada harapan bahwa pekerjaan kantor bisa dibuat sangat fleksibel sesuai kebutuhan tanpa harus menghilangkan aspek keamanan secara psikologis dalam bekerja dan tetap produktif dalam menyelesaikan tanggung jawab pekerjaannya.
Keamanan dalam bekerja bagi karyawan menjadi salah satu modal utama perusahaan untuk bangkit kembali dari masa pandemi ini. Tetap Semangat!
Konsultan, Jasa Pengembangan Organisasi PPM Manajemen
PERTENGAHAN Desember 2019, dunia dikejutkan dengan kemunculan virus Covid-19 atau virus corona. Mata dunia tertuju ke Wuhan, tempat virus ini disinyalir ada untuk pertama kali.
Aktivitas preventif dari Kota Wuhan telah tersebar ke seluruh dunia. Bagaimana mereka menutup jalan utama, bagaimana sekolah dan perkantoran dibatasi aktivitasnya, bagaimana kerumunan masyarakat dihindari, dan aktivitas lainnya yang semula berjalan seperti biasa kini mulai dibatasi.
Saat Desember 2019 terjadi kepanikan di Wuhan, Indonesia masih merayakan pergantian tahun baru 2020 dan disambut dengan naiknya permukaan air di beberapa wilayah Jakarta. Beberapa wilayah tidak bisa dilalui, beberapa warga di wilayah tertentu tidak bisa memenuhi kebutuhan nya, termasuk untuk berangkat kerja karena akses menuju transportasi umum maupun kantor masing-masing terputus oleh banjir.
Lantas apa yang menjadi persamaan keduanya? Banjir dan corona berimbas kepada para karyawan sebuah perusahan.
Employement Relationship, adalah relasi-relasi yang timbul antara perusahaan sebagai pemberi kerja dengan karyawan sebagai pelaksana pekerjaan. Dalam relasi yang dibuat antara perusahaan dengan karyawan terdapat suatu kontrak psikologis yang merupakan sebuah deskripsi dari apa yang menjadi ekspektasi karyawan terhadap perusahaan dan apa yang perusahaan berikan kepada karyawan sebagai timbal balik.
Kontrak psikologis ini mendeskripsikan beberapa hal yang tidak terdeskripsi dengan baik antara karyawan dengan perusahaan. Sebagai contoh adalah suasana kerja, kondisi lingkungan kerja, dan tentu yang menjadi sorotan saat ini adalah keamanan kerja (job security).
Job security sendiri dikutip dari laman business dictionary adalah suatu kepastian yang diterima oleh seorang karyawan terhadap keberlanjutan dirinya dalam bekerja di perusahaan tertentu yang dipengaruhi oleh preferensi individu dan juga kondisi ekonomi secara umum baik di negara tersebut maupun global.
Persepsi tersebut kemudian menimbulkan harapan dari seorang karyawan bahwa keberadaan pekerjaan dan dirinya akan selalu dinilai penting bagi dirinya maupun perusahaan, harapan terkait dengan insentif, karir, dan ekspektasi lain yang dideskripsikan oleh karyawan.
Covid-19 yang mulai merebak hingga organisasi kesehatan dunia WHO menyatakan bahwa ini sebagai pandemi mulai memberikan dampak juga terhadap job security setiap pekerjaan di dunia, tak terkecuali di Indonesia. Melihat dari sudut pandang ketenagakerjaan, menjadi wajar jika saat ini aspek psikologis karyawan (dan juga perusahaan sebagai entitas bisnis) mulai dihinggapi kecemasan terkait dengan job security.
Apa pasal? Sebab secara global pandemi ini telah membuat aktivitas perekonomian lumpuh dengan penutupan maupun pengurangan aktivitas manusia termasuk aktivitas bisnis. Akibatnya bisnis melemah, proses transaksi melambat, diikuti juga dengan pengurangan aktivitas tatap muka langsung yang membuat proses pelayanan pelanggan menjadi terganggu.
Itu baru secara mikro. Secara makro, pengurangan karyawan di berbagai industri menjadi praktik yang ikut-ikutan merebak karena efisiensi bisnis. Pengurangan pembayaran upah juga menjadi new normal di era pandemi seperti ini. Hal ini semakin membuat karyawan bertanya “bagaimana keamanan kerja saya saat ini? Akankah saya tetap bekerja di perusahaan ini? Atau jangan-jangan saya yang terpilih untuk pengurangan tenaga kerja?”
Pertanyaan di atas menjadi wajar hinggap di telinga para manajer SDM yang juga (mungkin) bertanya kepada dirinya sendiri dengan pertanyaan yang sama. Seluruh elemen bisnis dari pelaksana hingga pengambil keputusan sama bingungnya. Seluruh bentuk bisnis dari mulai mikro hingga korporasi besar juga tidak luput dari kibasan virus corona ini, termasuk entitas utama dalam bisnis itu sendiri, manusia.
Lantas, apa yang bisa dilakukan oleh perusahaan maupun karyawan? Solusi yang diharapkan tentu harus disetujui antara perusahaan dan juga karyawan. Untuk menanggulangi dampak psikologis yang mungkin terjadi, perusahaan perlu mengenali bagaimana karakteristik dari karyawan yang ada di dalamnya beserta jenis-jenis pekerjaan yang ada di perusahaan.
Memindahkan pekerjaan yang semula dilakukan di kantor menjadi di rumah para karyawan menjadi alternatif yang adil bagi kedua belah pihak dengan memastikan bahwa pekerjaan memang bisa dilakukan dari rumah dengan target pekerjaan yang terukur.
Istilah ini dikenal dengan Work From Home (WFH) alias Kerja Dari Rumah (KDR). Memang tidak semua pekerjaan bisa di WFH-kan. Namun ini menjadi alternatif yang bisa dilakukan oleh perusahaan dengan menempatkan karyawan di rumah masing-masing namun tetap melakukan aktivitas seperti biasa.
Secara keamanan dalam bekerja, karyawan bisa merasakan lebih aman dan merasa pekerjaannya memang masih dinilai penting oleh perusahaan. Teknologi pun sekarang memudahkan untuk pelaksanaan hal tersebut, dan perusahaan (sebetulnya) bisa melakukan pemangkasan biaya transportasi yang diberikan kepada karyawan dan digantikan dengan biaya koneksi internet yang digunakan oleh karyawan.
Fleksibilitas kerja dalam masa pandemi menjadi suatu yang berharga bagi para karyawan yang (mungkin) melebihi dari keuntungan yang diterima secara rutin per bulan. Dengan ini, bukan hanya perasaan aman selama bekerja, tetapi kejelasan mereka dalam bekerja di tempat saat ini tetap terjaga. Selain itu, perusahaan juga pada akhirnya bisa menilai mana pekerjaan yang sebenarnya bisa dikerjakan dari rumah dan mana yang harus tetap hadir di kantor secara fisik.
Sehingga setelah pandemi ini berakhir, ada harapan bahwa pekerjaan kantor bisa dibuat sangat fleksibel sesuai kebutuhan tanpa harus menghilangkan aspek keamanan secara psikologis dalam bekerja dan tetap produktif dalam menyelesaikan tanggung jawab pekerjaannya.
Keamanan dalam bekerja bagi karyawan menjadi salah satu modal utama perusahaan untuk bangkit kembali dari masa pandemi ini. Tetap Semangat!
(poe)