Holopis Kuntul Baris Hadapi Korona
A
A
A
Aris Heru Utomo
Direktur Sosialisasi, Komunikasi dan Jaringan BPIP
“Sebagai tadi telah saya katakan: kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia, semua buat semua! Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan gotong-royong. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong-royong! Alangkah hebatnya! Negara gotong-royong!”
BEGITU kata Soekarno dalam pertemuan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) tanggal 1 Juni 1945 di Gedung Tyuuoo Sangi-In (sekarang Gedung Pancasila Kementerian Luar Negeri). Dalam pandangan Soekarno, “gotong-royong” adalah paham yang dinamis, lebih dinamis dari “kekeluargaan”. Gotong-royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, yang dinamakan satu karyo, satu gawe. Gotong-royong adalah pembantingan-tulang bersama, pemerasan-keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Holopis kuntulbaris buat kepentingan bersama! Itulah gotong-royong!
Slogan "holopis kuntul baris", yang disebutkan Soekarno dalam pertemuan tersebut, adalah aba-aba yang biasa digunakan masyarakat Jawa sebagai paduan suara untuk memberi semangat ketika mengerjakan tugas berat yang hanya bisa dikerjakan secara bergotong-royong, bersama-sama. Slogan tersebut diteriakkan ketika kita membutuhkan gerak yang seirama, agar tujuan kita satu semata, bagaikan barisan burung bangau yang sedang terbang berbaris di angkasa.
Hari-hari ini, di tengah wabah virus korona (Covid-19) slogan holopis kuntul baris, aba-aba untuk saling menyemangati dan bergerak bersama menghadapi Covid-19 menjadi mantra yang dinantikan oleh seluruh masyarakat. Apabila slogan holopis kuntul baris bisa digelorakan kembali, sebagaimana mantra Bung Karno dalam melawan penjajah, maka pencegahan dan penanganan wabah Covid-19 dapat dilakukan dengan lebih baik.
Suka atau tidak suka, Covid-19 yang telah menjadi bencana kemanusiaan yang mengancam keselamatan kita semua, hanya bisa dihadapi bila kita bergotong-royong dan tolong-menolong. Saatnya bekerja sama, bergotong-royong menghadirkan solidaritas sosial sesuai dengan kemampuan masing-masing dengan jujur dan transparan. Tidak perlu saling menyalahkan dan menuding satu sama lain, apalagi membawa setiap kebijakan dan penanganan Covid-19 ke ranah politik.
Pandemi Covid-19 mesti disikapi dengan kebijakan yang tepat dan gerak cepat secara proporsional dari berbagai aspek tanpa harus selalu mengaitkannya dengan politik sesaat yang justru berpotensi memecah belah masyarakat. Kehadiran para influencer atau buzzer yang terbiasa memproduksi narasi-narasi kebohongan untuk kepentingan politiknya pun kiranya tidak dapat dibiarkan, pemerintah mesti bersikap tegas untuk mengakhiri politisasi penanganan Covid-19 dan harus berpihak pada kepentingan dan keselamatan rakyat.
Kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar penanganan pandemi Covid-19 di bawah koordinasi Gugus Tugas Percepatan Penanganan yang dipimpin Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana, kiranya dapat dipahami dalam kerangka holopis kuntul baris, satu karyo, satu gawe. Suatu semangat gotong-royong berupa pembantingan-tulang bersama, pemerasan-keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama.
Sebagai penjabaran dari kebijakan tersebut, pada 24 Maret 2020 Presiden memberikan arahan kepada para kepala daerah agar menghitung kesiapan daerahnya menghadapi berbagai situasi terkait pencegahan penularan Covid-19. Pelaksanaan kegiatan dilakukan satu visi, memiliki kebijakan yang sama, dan setiap kebijakan-kebijakan yang ada di provinsi semuanya dihitung baik dampak dari kesehatan dan keselamatan rakyat maupun dampak sosial ekonomi yang mengikutinya. Arahnya jelas, yaitu keselamatan, penyiapan bantuan sosial, dan memperhitungkan dampak ekonomi.
Terkait kebijakan lockdown atau penguncian negara secara nasional, pemerintah memutuskan untuk tidak melakukannya. Tidak diambil. Dalam menghadapi Covid-19 setiap negara memiliki kebijakan sendiri dan pemerintah menilai tidak sepatutnya memilih jalan itu.
Semua kebijakan dan arahan yang disampaikan Presiden tentu sudah melalui pertimbangan saksama dengan memperhatikan dan mendengarkan masukan dari semua pihak terkait, termasuk kepala daerah, melalui proses musyawarah dan mufakat. Karenanya, kepatuhan terhadap kebijakan dan arahan Presiden pada dasarnya merupakan bagian dari perwujudan nilai-nilai Pancasila, terutama sila keempat, yaitu musyawarah mufakat. Karena itu, perdebatan mengenai perlu tidaknya penerapan kebijakan lockdown menghadapi pandemi Covid-19, misalnya, hendaknya dihentikan dan tidak perlu dipolitisasi.
Hal yang diperlukan saat ini adalah saling bergotong-royong, holopis kuntul baris, saling menguatkan dan tolong-menolong. Masyarakat mematuhi imbauan untuk antara lain tidak panik dan melakukan social distancing, tinggal di rumah, untuk mencegah meluasnya Covid-19. Sementara pemerintah dan mereka yang bertugas seperti tenaga medis bekerja menangani anggota masyarakat yang berstatus orang dalam pengawasan dan pasien dalam pengawasan Covid-19.
Hal ini perlu segera dilakukan mengingat daya sebar Covid-19 yang sedemikian cepat, eksponensial, bertahap dan tiba-tiba, apabila tidak segera bertindak, maka hanya dalam beberapa minggu saja akan terus bertambah banyak. Ibarat multilevel marketing yang dengan cepat mendapatkan downline, sampai akhirnya ketemu downline yang rentan dan perlu dirawat di instalasi gawat darurat atau intesive care unit dan sebagainya, tapi rumah sakit penuh semua karena pasien yang membeludak.
Saat ini rumah sakit dan petugas kesehatan mulai kewalahan menangani pasien Covid-19 yang jumlahnya meningkat tajam, di tengah kapasitas ruang rawat, persediaan obat-obatan dan alat pelindung diri yang terbatas. Para dokter, perawat, dan staf rumah sakit, termasuk tenaga pembersih, sudah bekerja keras bahu membahu menyelamatkan pasien Covid-19. Mereka bekerja melewati batas jam kerja normal, meninggalkan keluarga dengan risiko tertular Covid-19, dan banyak tenaga medis yang gugur saat bertugas.
Karena itu, gerak cepat masyarakat membantu pemerintah, baik perorangan maupun kelompok, dalam menginisiasi gerakan kebajikan merupakan wujud nyata holopis kuntul baris di era modern. Masyarakat antara lain berinisiatif memetakan pola penyebaran Covid-19 agar mudah penanganannya.
Bukan hanya itu, masyarakat pun ramai-ramai melakukan penggalangan dana guna memenuhi kekurangan obat-obatan dan peralatan medis di rumah sakit. Munculnya inisiatif masyarakat tersebut menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara gotong-royong seperti yang dicita-citakan Soekarno. Nilai-nilai gotong-royong dan tolong-menolong menjadi kearifan lokal yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia.
Akhirnya, memaknai negara gotong-royong seperti yang dicita-citakan Soekarno, dipandang perlu untuk senantiasa mengedukasi masyarakat mengenai pelestarian nilai-nilai gotong-royong dalam kehidupan bermasyarakat. Edukasi mengenai gotong-royong diperlukan antara lain untuk menjawab tantangan perkembangan global setelah Covid-19.
Karena, seperti kata Yuval Noah Harari dalam artikelnya di Financial Times, “The World After Coronavirus”, hari-hari mendatang kita masing-masing harus memilih memercayai data ilmiah dan ahli kesehatan, ketimbang teori konspirasi yang tidak berdasar dan politisi yang mementingkan diri sendiri.”
Direktur Sosialisasi, Komunikasi dan Jaringan BPIP
“Sebagai tadi telah saya katakan: kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia, semua buat semua! Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan gotong-royong. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong-royong! Alangkah hebatnya! Negara gotong-royong!”
BEGITU kata Soekarno dalam pertemuan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) tanggal 1 Juni 1945 di Gedung Tyuuoo Sangi-In (sekarang Gedung Pancasila Kementerian Luar Negeri). Dalam pandangan Soekarno, “gotong-royong” adalah paham yang dinamis, lebih dinamis dari “kekeluargaan”. Gotong-royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, yang dinamakan satu karyo, satu gawe. Gotong-royong adalah pembantingan-tulang bersama, pemerasan-keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Holopis kuntulbaris buat kepentingan bersama! Itulah gotong-royong!
Slogan "holopis kuntul baris", yang disebutkan Soekarno dalam pertemuan tersebut, adalah aba-aba yang biasa digunakan masyarakat Jawa sebagai paduan suara untuk memberi semangat ketika mengerjakan tugas berat yang hanya bisa dikerjakan secara bergotong-royong, bersama-sama. Slogan tersebut diteriakkan ketika kita membutuhkan gerak yang seirama, agar tujuan kita satu semata, bagaikan barisan burung bangau yang sedang terbang berbaris di angkasa.
Hari-hari ini, di tengah wabah virus korona (Covid-19) slogan holopis kuntul baris, aba-aba untuk saling menyemangati dan bergerak bersama menghadapi Covid-19 menjadi mantra yang dinantikan oleh seluruh masyarakat. Apabila slogan holopis kuntul baris bisa digelorakan kembali, sebagaimana mantra Bung Karno dalam melawan penjajah, maka pencegahan dan penanganan wabah Covid-19 dapat dilakukan dengan lebih baik.
Suka atau tidak suka, Covid-19 yang telah menjadi bencana kemanusiaan yang mengancam keselamatan kita semua, hanya bisa dihadapi bila kita bergotong-royong dan tolong-menolong. Saatnya bekerja sama, bergotong-royong menghadirkan solidaritas sosial sesuai dengan kemampuan masing-masing dengan jujur dan transparan. Tidak perlu saling menyalahkan dan menuding satu sama lain, apalagi membawa setiap kebijakan dan penanganan Covid-19 ke ranah politik.
Pandemi Covid-19 mesti disikapi dengan kebijakan yang tepat dan gerak cepat secara proporsional dari berbagai aspek tanpa harus selalu mengaitkannya dengan politik sesaat yang justru berpotensi memecah belah masyarakat. Kehadiran para influencer atau buzzer yang terbiasa memproduksi narasi-narasi kebohongan untuk kepentingan politiknya pun kiranya tidak dapat dibiarkan, pemerintah mesti bersikap tegas untuk mengakhiri politisasi penanganan Covid-19 dan harus berpihak pada kepentingan dan keselamatan rakyat.
Kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar penanganan pandemi Covid-19 di bawah koordinasi Gugus Tugas Percepatan Penanganan yang dipimpin Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana, kiranya dapat dipahami dalam kerangka holopis kuntul baris, satu karyo, satu gawe. Suatu semangat gotong-royong berupa pembantingan-tulang bersama, pemerasan-keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama.
Sebagai penjabaran dari kebijakan tersebut, pada 24 Maret 2020 Presiden memberikan arahan kepada para kepala daerah agar menghitung kesiapan daerahnya menghadapi berbagai situasi terkait pencegahan penularan Covid-19. Pelaksanaan kegiatan dilakukan satu visi, memiliki kebijakan yang sama, dan setiap kebijakan-kebijakan yang ada di provinsi semuanya dihitung baik dampak dari kesehatan dan keselamatan rakyat maupun dampak sosial ekonomi yang mengikutinya. Arahnya jelas, yaitu keselamatan, penyiapan bantuan sosial, dan memperhitungkan dampak ekonomi.
Terkait kebijakan lockdown atau penguncian negara secara nasional, pemerintah memutuskan untuk tidak melakukannya. Tidak diambil. Dalam menghadapi Covid-19 setiap negara memiliki kebijakan sendiri dan pemerintah menilai tidak sepatutnya memilih jalan itu.
Semua kebijakan dan arahan yang disampaikan Presiden tentu sudah melalui pertimbangan saksama dengan memperhatikan dan mendengarkan masukan dari semua pihak terkait, termasuk kepala daerah, melalui proses musyawarah dan mufakat. Karenanya, kepatuhan terhadap kebijakan dan arahan Presiden pada dasarnya merupakan bagian dari perwujudan nilai-nilai Pancasila, terutama sila keempat, yaitu musyawarah mufakat. Karena itu, perdebatan mengenai perlu tidaknya penerapan kebijakan lockdown menghadapi pandemi Covid-19, misalnya, hendaknya dihentikan dan tidak perlu dipolitisasi.
Hal yang diperlukan saat ini adalah saling bergotong-royong, holopis kuntul baris, saling menguatkan dan tolong-menolong. Masyarakat mematuhi imbauan untuk antara lain tidak panik dan melakukan social distancing, tinggal di rumah, untuk mencegah meluasnya Covid-19. Sementara pemerintah dan mereka yang bertugas seperti tenaga medis bekerja menangani anggota masyarakat yang berstatus orang dalam pengawasan dan pasien dalam pengawasan Covid-19.
Hal ini perlu segera dilakukan mengingat daya sebar Covid-19 yang sedemikian cepat, eksponensial, bertahap dan tiba-tiba, apabila tidak segera bertindak, maka hanya dalam beberapa minggu saja akan terus bertambah banyak. Ibarat multilevel marketing yang dengan cepat mendapatkan downline, sampai akhirnya ketemu downline yang rentan dan perlu dirawat di instalasi gawat darurat atau intesive care unit dan sebagainya, tapi rumah sakit penuh semua karena pasien yang membeludak.
Saat ini rumah sakit dan petugas kesehatan mulai kewalahan menangani pasien Covid-19 yang jumlahnya meningkat tajam, di tengah kapasitas ruang rawat, persediaan obat-obatan dan alat pelindung diri yang terbatas. Para dokter, perawat, dan staf rumah sakit, termasuk tenaga pembersih, sudah bekerja keras bahu membahu menyelamatkan pasien Covid-19. Mereka bekerja melewati batas jam kerja normal, meninggalkan keluarga dengan risiko tertular Covid-19, dan banyak tenaga medis yang gugur saat bertugas.
Karena itu, gerak cepat masyarakat membantu pemerintah, baik perorangan maupun kelompok, dalam menginisiasi gerakan kebajikan merupakan wujud nyata holopis kuntul baris di era modern. Masyarakat antara lain berinisiatif memetakan pola penyebaran Covid-19 agar mudah penanganannya.
Bukan hanya itu, masyarakat pun ramai-ramai melakukan penggalangan dana guna memenuhi kekurangan obat-obatan dan peralatan medis di rumah sakit. Munculnya inisiatif masyarakat tersebut menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara gotong-royong seperti yang dicita-citakan Soekarno. Nilai-nilai gotong-royong dan tolong-menolong menjadi kearifan lokal yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia.
Akhirnya, memaknai negara gotong-royong seperti yang dicita-citakan Soekarno, dipandang perlu untuk senantiasa mengedukasi masyarakat mengenai pelestarian nilai-nilai gotong-royong dalam kehidupan bermasyarakat. Edukasi mengenai gotong-royong diperlukan antara lain untuk menjawab tantangan perkembangan global setelah Covid-19.
Karena, seperti kata Yuval Noah Harari dalam artikelnya di Financial Times, “The World After Coronavirus”, hari-hari mendatang kita masing-masing harus memilih memercayai data ilmiah dan ahli kesehatan, ketimbang teori konspirasi yang tidak berdasar dan politisi yang mementingkan diri sendiri.”
(thm)