Larangan Mudik dan Bela Negara

Rabu, 08 April 2020 - 07:35 WIB
Larangan Mudik dan Bela...
Larangan Mudik dan Bela Negara
A A A
Dahnil Anzar Simanjuntak
Juru Bicara Menteri Pertahanan Republik Indonesia

DALAM
suasana Idul Fitri 1976 Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, yang ketika itu bersama pasukannya dalam perjuangan di Timor Timur, mengirim sepucuk surat kepada kakeknya, Margono Djojohadikusumo.

"Eyang, pada Hari Raya Idul Fitri ini saya tidak ada di lingkungan keluarga. Maafkanlah segala kesalahan saya. Salam dari medan juang. Kami sudah lebih dari satu bulan berada di pegunungan. Tugas kami lumayan juga beratnya."

Demikian cuplikan surat Prabowo yang dimuat sang kakek dalam salah satu artikelnya, ”Feodalisme, New-Feodalisme, Aristokrasi” yang terdapat dalam buku Manusia Indonesia (2001) karya wartawan yang juga sastrawan, Mochtar Lubis.

Membaca surat dari sang cucu yang tidak bisa berhari raya bersama keluarga karena dalam tugas perjuangan antara hidup dan mati membela Tanah Air membuat pendiri Bank Nasional Indonesia (BNI), yang juga anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) itu bersedih. Dia sampai terpaksa mengundurkan diri beberapa menit masuk ke kamar untuk menenangkan hati.

Berkumpul bersama keluarga, melepas kerinduan dengan suasana riang gembira, dan saling bermaaf-maafan setelah sekian lama berpisah merupakan suasana spiritual yang kuat setiap hari Raya Idul Fitri bagi masyarakat muslim Indonesia. Orang rela melalui perjuangan yang sangat berat agar bisa merasakannya. Menempuh perjalanan panjang, macet, berdesakan dalam transportasi umum, sampai menginap di stasiun dan terminal. Ancaman kecelakaan di jalan yang kerap terjadi bahkan tidak jarang sampai jatuh korban jiwa tidak mengendurkan semangat agar bisa bersama keluarga melalui hari-hari nan fitri tersebut.

Karena itu, kesedihan tidak terelakkan kalau ada anggota keluarga yang tidak dapat ngariung bersama. Inilah yang juga dialami Margono, Prabowo, dan umumnya mereka yang tidak bisa berkumpul bersama keluarga, tentu dengan berbagai alasan dan sebab. Sekarang, hampir setengah abad kemudian, Prabowo dengan otoritasnya sebagai menteri pertahanan melarang jajarannya di Kementerian Pertahanan Republik Indonesia untuk pulang kampung alias mudik merayakan Idul Fitri tahun ini. Bila dulu tidak bisa berkumpul bersama keluarga karena sedang berjuang mengangkat senjata demi bangsa dan negara, kini baginya tidak mudik juga demi alasan yang sama. Menurut Prabowo, tidak mudik merupakan bagian dari implementasi bela negara dalam konteks kekinian.

Bela negara adalah tekad, sikap, dan perilaku serta tindakan warga negara baik secara perseorangan maupun kolektif dalam menjaga kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa dan negara yang dijiwai oleh kecintaannya kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 dalam menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara dari berbagai ancaman.

Saat ini kita, rakyat Indonesia, bahkan seluruh warga dunia sedang menghadapi ancaman. Ancaman nonmiliter: terkait penyebaran Severe Acute Respiratory Syindrom Koronavirus 2 (SARS-CoV-2). Per 5 April 2020, virus korona sudah hampir menyebar ke seluruh provinsi di Indonesia. Pasien Covid-19 sudah mencapai 2.273 orang. Sebanyak 198 pasien meninggal dunia dan 164 sembuh. Dalam skala global, terdapat 1,2 juta kasus, 64.787 jiwa meninggal, dan 247.273 orang sembuh. Untuk memutus mata rantai penyebaran virus korona tersebut, tidak ada cara lain yang lebih praktis selain kita semua harus disiplin menerapkan jaga jarak fisik, menghindari kerumunan, dan tidak keluar rumah kecuali untuk hal-hal yang sangat mendesak.

Memang tantangan untuk tetap bertahan di rumah saat ini semakin berat mengingat sebentar lagi memasuki bulan puasa dan Lebaran, yang umumnya pada momentum tersebut dimanfaatkan oleh para perantau untuk pulang kampung. Bahkan mudik telah menjadi perjalanan ritual kolosal tahunan di negeri ini. Segala persiapan dan oleh-oleh yang akan dipersembahkan kepada orang-orang tercinta di kampung biasanya sudah disiapkan jauh-jauh hari. Pemerintah dan pihak-pihak terkait juga tidak ketinggalan menyiapkan infrastruktur dan fasilitas lain untuk menjamin kelancaran dan kenyamanan bagi pemudik.

Di sisi lain, hasrat untuk mudik juga tidak bisa terelakkan, karena dalam suasana wabah Covid-19 ini seluruh kegiatan ekonomi berdampak, bahkan banyak yang terpaksa terhenti, sehingga PHK penurunan pendapatan terjadi secara masif. Akibatnya, banyak saudara-saudara kita tidak memiliki pilihan lain selain mudik, namun pemerintah berusaha mencari formula tentunya melalui bantuan-bantuan sosial untuk memastikan seluruh masyarakat yang paling berdampak secara ekonomi bisa dibantu, dengan tetap berusaha menjaga diri agar tidak tertular Covid-19.

Namun, mengingat virus korona sedang mewabah dan menjadi ancaman nyata bangsa sekarang, semua kita harus turut andil dalam mengatasi dan menyetop penyebarannya. Salah satunya dengan mengikuti anjuran Presiden Joko Widodo untuk tidak mudik. Tidak mudah memang, namun pilihan ini harus kita ambil.

Entah sudah berapa kasus pemudik yang terpapar korona sehingga merepotkan pihak keluarga, bahkan kesehatan mereka dan lingkungan sekitar terancam. Di Cimahi, Jawa Barat, misalnya, terdapat warga lanjut usia yang positif Covid-19 setelah anaknya mudik. Bukannya mencicipi bersama buah tangan yang dibawa dengan hati riang, yang terjadi malah suasana sedih dan murung disebabkan "oleh-oleh" yang terbawa tanpa sepengetahuan tersebut sangat mengerikan.

Mengapa Mudik Harus Dilarang?
Setidaknya ada tiga pertimbangan utama kenapa sebaiknya umat Islam dan rakyat Indonesia pada umumnya tidak mudik ke kampung halaman saat ini. Pertama, secara demografi penduduk kampung atau desa di Indonesia rata-rata warga berusia lanjut (senior citizen). Warga lansia merupakan salah satu kelompok masyarakat yang paling rentan terpapar virus korona, apalagi bila memiliki penyakit bawaan.

Ketika sebagian besar dari kita memutuskan untuk mudik, apalagi banyak kasus orang terjangkit Covid-19 tanpa gejala sama sekali, maka orang yang terjangkit tanpa gejala tersebut tanpa sadar akan menjadi carrier, menularkan dan menyebarkan ke orang lain. Bayangkan bila para pemudik tersebut menjadi carrier yang menularkan Covid-19 kepada orang-orang tua kita di desa. Maka, penyebaran akan semakin luas dan sangat berpotensi tinggi menimbulkan kematian karena menjangkit banyak orang tua di perdesaan.

Kedua, fasilitas kesehatan di perdesaan atau kampung sangat terbatas. Demikian pula jumlah dokter sangat sedikit, apalagi dokter spesialis. Jadi, bayangkan bila wabah terjadi secara masif di perdesaan, yang di perkotaan saja dengan fasilitas layanan kesehatan cukup masih kelabakan dan masih kekurangan alat pelindung diri(APD) bagi para dokter dan tenaga medis. Artinya, bila terjadi di perdesaan bencana yang teramat serius harus kita hadapi dan akan banyak memakan korban jiwa.

Ketiga, Desa atau kampung merupakan lumbung pangan. Bila wabah penyakit melanda desa dan kampung, tentu akan berdampak pula pada ketersediaan pangan karena masyarakat tidak bisa bercocok tanam. Krisis kesehatan akan diikuti oleh krisis pangan, dan krisis pangan akan berdampak sistemik terhadap ketahanan dan pertahanan kita sebagai bangsa.

Maka, mengurungkan niat bagi mereka yang sudah berencana mudik merupakan keputusan yang heroik. Tidak saja demi keselamatan generasi, tapi juga untuk kebaikan bangsa dan negara. Karena itu, tepatlah bila disebut tidak mudik adalah aksi nyata bela negara saat ini.

Pendamlah rindu kita kepada keluarga di kampung demi keselamatan kita semua, demi kebaikan kita sebagai bangsa dan negara, demi keberlangsungan peradaban Indonesia. Bila kita mampu melakukan hal tersebut, pada kondisi normal nanti kita bisa melunasi semua rindu tersebut, dengan kondisi kehidupan kebangsaan yang lebih baik. Daripada memaksa melampiaskannya saat ini tapi untuk yang terakhir kali.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7074 seconds (0.1#10.140)