Nalar Despotik RUU Cipta Kerja
A
A
A
Khairul Fahmi
Dosen HTN, Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO)
Fakultas Hukum Universitas Andalas
Sebagai sebuah produk politik, setiap undang-undang memiliki nalarnya sendiri. Nalar tersebut berkorelasi dengan prinsip legislasi yang dianut oleh otoritas yang berwenang dalam merancang suatu undang-undang. Jeremy Bentham dalam The Theory of Legislation mengidentifikasi setidaknya tiga alternatif prinsip yang dianut dalam proses legislasi, yaitu prinsip manfaat, asketik, dan sewenang-wenang.
Prinsip manfaat berdiri di atas nalar manfaat atau kebaikan publik dari sebuah peraturan. Sementara prinsip asketik berangkat dari logika hendak membatasi diri dari menghadirkan regulasi yang mendatangkan kesenangan serta memilih agar adanya pengorbanan publik dalam setiap pilihan kebijakan. Adapun prinsip sewenang-wenang atau juga disebut dengan prinsip simpati dan empati berdiri di atas kerangka pikir bahwa baik atau buruknya sesuatu diukur dari menyenangkan atau tidaknya ia bagi orang yang membentuk aturan, bukan bagi orang yang dikenai peraturan tersebut.
Menurut Bentham, salah satu dari tiga prinsip tersebut akan dapat ditemui dalam setiap produk legislasi yang dihasilkan. Hanya, prinsip yang paling dominan memengaruhi pemerintahan adalah yang disebut paling akhir. Prinsip sewenang-wenang yang berangkat dari nalar despotik itu mewujud dalam rupa bahwa pemerintah hanya sibuk dengan kekayaan dan perniagaan. Masyarakat hanya dilihat sebagai bengkel kerja dan manusia hanya sebagai mesin produksi. Hal yang diharapkan pemerintah hanyalah menghasilkan sarana kesenangan dalam jumlah besar dengan memasukkan berbagai risiko-risiko baru dalam meraihnya (Bentham: 1979) .
Nalar Despotik
Nukilan Bentham tersebut kiranya menemukan relevansinya dalam rancangan produk legislasi terbaru berupa RUU Cipta Kerja yang telah diajukan Pemerintah kepada DPR. Sulit memberi sangkalan bahwa RUU tersebut tidak berangkat dari nalar despotik yang mengandung kesewenang-wenangan.
Beberapa temuan berikut dapat menjadi basis argumen tersebut. Pertama, RUU Cipta Kerja dibangun di atas paradigma memberikan fleksibilitas bagi pemerintah. Dalam sebuah pemerintahan negara hukum yang demokratis, fleksibilitas bukan tak mungkin. Sesuai prinsip pembatasan kekuasaan oleh hukum, fleksibilitas pemerintahan demokrasi konstitusional tetap tersedia sesuai prinsip kebebasan bertindak sang pemegang kekuasaan.
Hanya, fleksibilitas yang dikonstruksi dalam omnibus law cipta lapangan kerja bukan sekadar itu, melainkan fleksibilitas dalam makna mengurangi fungsi undang-undang dalam mengatur dan menyerahkan fungsi tersebut kepada pemerintah. Pada saat yang sama, hal tersebut akan linear dengan mengurangi fungsi pembatasan hukum terhadap pemerintah. Dalil ini didasarkan atas munculnya lebih kurang 500-an delegasi pengaturan dari RUU Cipta Kerja kepada Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden dalam rangka memberikan fleksibilitas kepada Pemerintah. Kondisi tersebut diyakini akan berkonsekuensi terhadap terbukanya ruang penyalahgunaan kekuasaan yang teramat lebar.
Kedua, sentralisasi kekuasaan pemerintahan. Berbagai wewenang konkuren pemerintahan yang selama ini dibagi secara proporsional dalam UU Pemda sesuai tingkat pemerintahan ditarik menjadi wewenang pemerintah pusat. Berbagai wewenang pemerintah kabupaten/kota ditarik menjadi wewenang pusat di mana pelaksanaannya didelegasikan kepada pemerintah provinsi.
Bahkan, perda sebagai produk hukum daerah yang memiliki dasar konstitusional sesuai Pasal 18 ayat (6) UUD 1945, dapat dengan mudah dibatalkan pemerintah pusat dengan sebuah Peraturan Presiden. Tidak hanya sebatas itu, memungut kembali wewenang pusat untuk membatalkan perda juga bertentangan dengan putusan MK. MK menegaskan, hanya MA yang berwenang membatalkan perda melalui proses judial review .
Ketiga , mendewakan investasi. Dengan memberikan karpet merah bagi investasi, fungsi lingkungan dan kondisi sosial pekerja justru dikerdilkan. Di samping melakukan sentralisasi pengelolaan lingkungan, atas nama memudahkan investasi, izin amdal diperlonggar, izin lingkungan dihapus, dan tanggung jawab pengawasan lingkungan dikaburkan.Pada saat yang sama, hak-hak pekerja seperti sistem kontrak, pengupahan, dan cuti digeser ke arah yang merugikan pekerja. Dalam konteks ini, sangat tepat jika dikatakan RUU Cipta Kerja hendak mendatangkan keuntungan investasi sebesar-besarnya bagi pemilik modal dan secara bersamaan mendatangkan risiko lingkungan dan sosial yang lebih tinggi.
Nalar despotik RUU Cipta Kerja tersebut berbanding lurus dengan terjadi privatisasi pembentukan norma hukum publik. Dikatakan demikian karena pertimbangan pembentukan regulasi ini lebih mengedepankan aspek keinginan orang atau kelompok yang membentuknya dibandingkan semangat memenuhi harapan dan kepentingan publik.
Maria Farida Indrati menukilkan, sebuah norma hukum publik seharusnya dirumuskan secara hati-hati dan memenuhi kehendak dan kepentingan publik. Ketika tidak demikian, para pembentuk peraturan tersebut sesungguhnya sedang melakukan swastanisasi pembentukan peraturan negara.
Asa Kemanfaatan Publik
Jika masih bermimpi untuk hidup dalam sebuah negara hukum demokratis yang menghormati dan melindungi hak-hak dasar manusia, nalar despotik RUU Cipta Kerja tentu tidak boleh dibiarkan. Nalar itu haruslah diimbangi bahkan harus dikalahkan oleh nalar kemanfaatan publik sebuah undang-undang.
Upaya pemerintah mempermudah proses perizinan berusaha harus diakui sebagai langkah brilian, namun memboncengnya ide sentralisasi kekuasaan tidak boleh dibiarkan. Membuka jalan yang memudahkan masuknya investasi adalah pilihan yang tepat, namun menggusur kepentingan masyarakat lemah merupakan tindakan yang jauh dari Pancasilais. Membangun regulasi multisektor dalam rangka menjamin kepastian hukum adalah gagasan penting, namun mengurangi fungsi undang-undang sebagai instrumen pembatasan dan alat kontrol kekuasaan eksekutif merupakan pikiran menyimpang yang tidak boleh dipertahankan.
Dalam rangka mengimbangi nalar despotik yang destruktif itu, peran para wakil rakyat di parlemen amat menentukan. Secara formal, mandataris rakyat itulah yang memegang kuasa sekaligus kontrol pembentukan undang-undang. Dengan peran tersebut tentunya tertumpang harapan agar pembahasan RUU Cipta Kerja oleh DPR dilakukan sesuai nalar kemanfaatan publik.
Jika kekuatan politik di DPR berpihak pada nalar publik, asa omnibus law tidak mendatangkan bencana bagi masyarakat tentu masih akan terjaga. Sebaliknya, bila kekuatan politik di DPR pun mengikuti logika despotik RUU ini, dalam waktu yang tidak terlalu lama bangsa ini akan menyaksikan sendiri cita negara hukum demokratis mati di tangan para elite politik yang mereka pilih dalam pemilihan umum.
(nag)