Pancasila dan Akrobat Kata

Jum'at, 21 Februari 2020 - 06:59 WIB
Pancasila dan Akrobat Kata
Pancasila dan Akrobat Kata
A A A
Komaruddin Hidayat
Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII)

KATA bermula dari perasaan dan pikiran, lalu terucap dan sebagian tertuliskan. Selanjutnya kata bisa berdiri otonom, lepas dari pencetus awalnya, tak lagi mengandung makna dan gagasan sebagaimana dikehendaki awal kelahirannya.

Hal yang demikian ini bisa terjadi pada wacana keagamaan dan Pancasila. Agama dan Pancasila tampil dalam akrobat kata tanpa ruh yang memancarkan bimbingan budi. Wacana agama dan Pancasila kehilangan wibawa karena telah menjadi bagian dari instrumen politik, birokrasi dan ideologi, serta bisnis kekuasaan.

Pancasila sebagai nilai dan pedoman perilaku tempatnya di sanubari. Bukan dalam disket otak atau lembaran-lembaran kertas. Hal yang menggerakkan pikiran dan perilaku agar seseorang menempuh jalan mulia itu bimbingan dan kekuatan hati. Bukan oleh akrobat dan retorika kata yang kemudian disebarkan lewat pidato serta media massa.

Bangsa ini kaya dengan budaya verbalisme dan upacara. Dulu ketika zaman Orde Baru, sejak dari presiden sampai ketua RT, kalau pidato mesti mengucapkan Pancasila. Ada semacam konsensus tidak tertulis waktu itu, untuk menunjukkan dirinya Pancasilais. Tak berlebihan, seorang tokoh ketika pidato mesti menyampaikan statement dukungan terhadap Pancasila.

Saat ini yang lebih dibutuhkan adalah pelaksanaan Pancasila yang dielaborasi sebagai panduan dan alat evaluasi kinerja pimpinan serta institusi, apakah mereka sudah sejalan dengan Pancasila ataukah belum. Kemudian tak kalah pentingnya adalah keteladanan para elite pemerintah dan parpol agar menjadi contoh dan panutan masyarakat dalam melaksanakan Pancasila.

Jadi, terpenting itu contoh riil yang bisa ditiru dan menginspirasi masyarakat, bukannya perdebatan konseptual yang mengundang polemik. Karakter itu menginspirasi, menggerakkan dan akan ditiru banyak orang, sedangkan konsep itu menghasilkan diskusi dan perdebatan.

Karakter berakar pada niat dan tekad mulia yang digerakkan oleh hati nurani, perdebatan itu olah pikir dan emosi untuk mencari kalah-menang. Pancasila berangkat dari kesadaran dan komitmen kebertuhanan menghasilkan pribadi yang peduli pada problem kemanusiaan, bermuara pada agenda menciptakan kesejahteraan yang adil bagi rakyat Indonesia. Caranya? Melalui permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan.

Dengan demikian, pemahaman, kesadaran, dan pelaksanaan Pancasila itu bersifat built in dan embedded pada setiap departemen pemerintah. Lebih khusus lagi pada Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Kementerian Dalam Negeri.

Mereka punya porsi besar berurusan langsung dalam pembinaan masyarakat. Dalam kerangka agenda pembinaan Pancasila itu, pemerintah mesti menjalin kemitraan dengan ormas dan parpol dalam posisi sejajar, tanpa merasa lebih tinggi.

Parpol yang tidak menerapkan asas permusyarawatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan, berarti tidak Pancasilais. Lebih parah lagi kalau parpol itu tidak punya agenda konkret untuk menyejahterakan rakyat secara adil.

Kalau itu yang terjadi, maka musuh Pancasila yang pertama adalah para elite pemerintah yang korup, tidak punya peduli kemanusiaan, dan tidak punya prestasi dalam menyejahterakan rakyat, padahal mereka memperoleh fasilitas negara.

Kedua, para elite parpol yang selalu berbicara untuk memperjuangkan rakyat, tetapi benarkah nurani mereka berpihak pada rakyat? Ibarat jualan, siapa pun yang berbicara atas nama Pancasila jangan sampai membuat sentimen pasar malah turun, atau bahkan anti, sehingga Pancasila hanya menjadi mainan politik belaka dengan ongkos yang mahal.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4307 seconds (0.1#10.140)