Ketuhanan Yang Maha Esa
loading...
A
A
A
Al Makin
Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
SILA Ketuhanan ditempatkan pada sila pertama, menandakan perhatian rakyat kita pada urusan agama begitu besar. Agama penting dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi rakyat Nusantara, bahkan cara berfikirpun dengan selalu mengaitkan pada hal-hal keagamaan.
Jenis dan asal agama memang bermacam-macam, dari segi waktu yang berganti dan pulau yang terpisah lautan, tetapi sikap agamis umat selalu begitu. Para peleteak dasar negara kita kala itu tentu sadar keadaan ini.
Memang, dalam sejarah Nusantara, kerajaan-kerajaan era pra-penjajahan selalu melegitimasi wewenangnya dalam memerintah dengan konsep keagamaan. Peninggalan-peninggalan abad tujuh sampai abad enam belas Masehi menunjukkan relasi yang kuat antara agama dan kerajaan, terlepas dari tradisi keagamaan apa dan datang dari mana.
Kenyataannya, tradisi keagamaan datang silih berganti, bahkan itulah yang menjadi resep ramuan Nusantara. Agama, politik, sosial dan ekonomi selalu terkait, atau dikait-kaitkan.
Dalam sejarahnya, Nusantara ini selalu menerima unsur-unsur luar, namun dimodifikasi sesuai dengan udara iklim udara tropis bermusim dua saja. Dalam praktik keagamaan, dan juga konsep dasarnya, juga kurang lebih begitu. Tradisi India, China, Timur Tengah, Eropa berjumpa dan penyelarasan demi penyelarasan terjadi dari satu masa ke masa lainnya.
Tradisi yang lahir di tanah luar diterima para pengikut di sini, dan udara sepoi-sepoi di bawah nyiur melambai menumbuhkan berbagai bentuk dan tafsir baru. Modifikasi dan penyelarasan menghasilkan tafsir model Nusantara.
Bukti-bukti menunjukkan kreativitas konsep yang berbeda di dunia luar seperti Hindu dan Buddha di India, misalnya dengan yang berkembang di Majapahit tampak nyata. Raja Nusantara tidak keberatan bertindak sebagai rekonsiliator hal-hal yang tidak sama.
Persaingan lama di Jenggala, Kediri, Daha, Kahuripan dan Singosari abad dua belas menunjukkan bahwa Sivaisme, Wisnuisme, dan Tantrayana mengarah pada saling kompromi. Beberapa penguasa setempat berusaha tampil sebagai pelindung dari aliran yang bermacam-macam.
Catatan manuskrip dan prasasti kuno menunjukkan klaim para penguasa sebagai pelindung semua aliran. Watak kompromi di tengah konflik yang tak berkesudahan dari satu kerajaan ke kerajaan yang lain.
Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
SILA Ketuhanan ditempatkan pada sila pertama, menandakan perhatian rakyat kita pada urusan agama begitu besar. Agama penting dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi rakyat Nusantara, bahkan cara berfikirpun dengan selalu mengaitkan pada hal-hal keagamaan.
Jenis dan asal agama memang bermacam-macam, dari segi waktu yang berganti dan pulau yang terpisah lautan, tetapi sikap agamis umat selalu begitu. Para peleteak dasar negara kita kala itu tentu sadar keadaan ini.
Memang, dalam sejarah Nusantara, kerajaan-kerajaan era pra-penjajahan selalu melegitimasi wewenangnya dalam memerintah dengan konsep keagamaan. Peninggalan-peninggalan abad tujuh sampai abad enam belas Masehi menunjukkan relasi yang kuat antara agama dan kerajaan, terlepas dari tradisi keagamaan apa dan datang dari mana.
Kenyataannya, tradisi keagamaan datang silih berganti, bahkan itulah yang menjadi resep ramuan Nusantara. Agama, politik, sosial dan ekonomi selalu terkait, atau dikait-kaitkan.
Dalam sejarahnya, Nusantara ini selalu menerima unsur-unsur luar, namun dimodifikasi sesuai dengan udara iklim udara tropis bermusim dua saja. Dalam praktik keagamaan, dan juga konsep dasarnya, juga kurang lebih begitu. Tradisi India, China, Timur Tengah, Eropa berjumpa dan penyelarasan demi penyelarasan terjadi dari satu masa ke masa lainnya.
Tradisi yang lahir di tanah luar diterima para pengikut di sini, dan udara sepoi-sepoi di bawah nyiur melambai menumbuhkan berbagai bentuk dan tafsir baru. Modifikasi dan penyelarasan menghasilkan tafsir model Nusantara.
Bukti-bukti menunjukkan kreativitas konsep yang berbeda di dunia luar seperti Hindu dan Buddha di India, misalnya dengan yang berkembang di Majapahit tampak nyata. Raja Nusantara tidak keberatan bertindak sebagai rekonsiliator hal-hal yang tidak sama.
Persaingan lama di Jenggala, Kediri, Daha, Kahuripan dan Singosari abad dua belas menunjukkan bahwa Sivaisme, Wisnuisme, dan Tantrayana mengarah pada saling kompromi. Beberapa penguasa setempat berusaha tampil sebagai pelindung dari aliran yang bermacam-macam.
Catatan manuskrip dan prasasti kuno menunjukkan klaim para penguasa sebagai pelindung semua aliran. Watak kompromi di tengah konflik yang tak berkesudahan dari satu kerajaan ke kerajaan yang lain.