Tafsir Kontekstual Pancasila

Rabu, 14 Juli 2021 - 20:20 WIB
loading...
Tafsir Kontekstual Pancasila
Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Al Makin. FOTO/DOK.PRIBADI
A A A
Al Makin
Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

KITA berkewajiban memberi tafsir kontekstual terhadap Lima Sila itu, di mana posisi dan peran kita, nilai-nilai apa yang bisa dikembangkan, dan apa yang harus kita perkuat sebagai manusia, pribadi, dan bangsa. Dalam suasana pandemi covid-19 ini tentu kembali ke jati diri sebagai manusia adalah langkah yang tepat, supaya memperoleh penerangan makhluk apa kita ini, bagaimana diri bersikap sebaiknya, dan pegangan apa yang menambah daya solidaritas antar makhluk.

Mari saling menguatkan, atas nama sesama pewaris Lima Sila itu: berdoa sesama hamba, bekerja sama sesama manusia, bersolidaritas sesama warga, bermusyawarah antar individu, dan berkeadilan dalam berfikir. Mari ber pancasila .

Tafsir bisa banyak dari arah masing-masing. Semua mempunyai hak yang sama, karena penafsiran adalah pengalaman pribadi masing-masing. Lima Sila itu tetap, tafsir dan pemahaman berubah sesuai dengan kemampuan, peran, dan kondisi. Tafsir masa lalu, tafsir masa depan, dan tafsir sekarang. Tiga hal yang berbeda.

Baca juga: CSPS UI Sebut Filosofi Pancasila Senjata Ampuh Perangi Covid-19

Jika kita kembali pada ajaran lama India, kira-kira empat ribu tahun yang lalu, yang diwariskan lewat Hinduisme dan masih tertera di kitab-kitab sastra, klasifikasi warga berdasar dua unsur utama: jati dan varna. Asal kelahiran dan etnisitas, atau tempat lahir dan bahasa.

Tentu pulau-pulau Nusantara ini menjadikan kita berbagai macam jati, karena asal kelahiran kita semua tidak sama: ekonomi, sosial, budaya, tradisi dan iman yang berbeda. Varna kita sebagai etnis konon mencapai lebih dari seribu macam. Tujuh ratus bahasa dan dialek tersebar. Satu provinsi menampung banyak etnis, macam-macam bahasa, dan itu semua menambah kekayaan cara berkomunikasi.

Tentu yang kita kenali terbatas pada etnis Jawa, Sunda, Madura, Minangkabau, Batak, Banjar, Dayak, Bugis, Dani, dan banyak lagi. Kalau Anda mampir di pulau Papua, ada tiga ratus lebih suku dan bahasa. Masing-masing kelompok yang tinggal di satu lembah atau ngarai, berbahasa berbeda dengan gunung seberang. Betapa kayanya pulau itu. Seribu kelompok manusia dari dua puluh ribu pulau di Nusantara adalah perkiraan kasar para antropolog dan sensus. Kenyataannya varna jauh lebih dari itu. Nusantara jauh lebih beragam, lebih berwarna, dan itulah jati diri kita.

Menurut tradisi lama India, masing-masing jati dan varna itu mengagungkan dewa tertentu dan membangun tempat puja yang berbeda. Namun, idealnya apapun cara puja, bhakti, dan dharma mereka, harusnya saling berdampingan, memahami, dan melindungi. Itulah harmonis, dan itulah idealnya berpancasila. Berbeda pulau, berbeda jati, berlainan varna, mempunyai jatidiri satu, kebersamaan sebagai warga negeri.

Baca juga: UNS Wujudkan Harmonisasi Perguruan Tinggi Melalui Kampus Benteng Pancasila

Sektarianisme adalah jika umat dari kuil atau pura merasa menjadi kelompok yang terhebat melebihi yang lain dan bahkan memaksa kelompok lain untuk mengikuti atau mematuhi. Kelompok lain tidak penting, atau tidak berhak atas desa, bahkan negeri. Hanya kelompoknya yang berhak atas tafsir suci berdoa dan tafsir bermasyarakat.

Sikap ini sudah disinggung oleh Abdurrachman Wachid (Gus Dur) dan Nurcholish Madjid (Cak Nur) tiga puluh tahun yang lalu, tentang fenomena sektarianisme dan primordialisme dan hendaknya kita berhati-hati dalam berbangsa dan bernegara. Dalam bahasa kunonya, jati dan varna, dan dalam bahasa cendekiawan berdua itu adalah primordialisme dan sektarianisme.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3380 seconds (0.1#10.140)