Demokrasi Kita
A
A
A
Firman Noor
Kepala Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Demokrasi kita saat ini berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, masyarakat Indonesia dewasa ini memiliki lebih banyak alternatif atau pilihan politik dibanding masa Orde Baru yang demikian membatasi pilihan politik. Demokrasi juga memberikan banyak kesempatan kepada lebih banyak orang, termasuk kepada mereka yang selama ini terpinggirkan, untuk berkiprah dalam dunia politik dan pemerintahan. Demokrasi juga memunculkan keteraturan pergantian kepemimpinan, baik pada level nasional maupun daerah secara berkala dan relatif damai.
Di sisi lain, terdapat beberapa persoalan yang kontraproduktif terhadap penumbuhan demokrasi. Saat ini terlihat adanya sebuah penjagaan atas pemerintah secara berlebihan (over-protective ) dari beragam kalangan pendukung. Muncul kemudian reaksi terhadap kalangan kritis, dari sekadar perlawanan verbal hingga kriminalisasi.
Tidak mengherankan jika saat ini terjadi kembali penangkapan atau perlakuan yang tidak tepat atas beberapa tokoh aktivis, artis, dosen, pendidik, pengguna media sosial seperti Facebook , hingga tokoh agama, yang intinya pembatasan gerak kalangan kritis. Demokrasi akhirnya menghasilkan kecenderungan penguatan eksekutif yang demikian eksesif yang menurut Indonesianis asal Australia, Thomas Power, telah bernuansakan otoriter (Power 2018, 307-338).
Saat ini juga adalah masa kegelapan bagi netralitas dan profesionalitas birokrasi. Baik pada level nasional maupun lokal muncul fenomena pemanfaatan birokrasi dan aparat keamanan sebagai mesin pemenangan pemilu. Hal ini bahkan sampai pada titik amat mengganggu dan telah dikeluhkan oleh aparat birokrasi sendiri yang merasa dipaksa untuk terjun dalam proses pemenangan kontestasi elektoral.
Selain itu, situasi media atau pers juga tidak terlalu menggembirakan. Di satu sisi, masih terdapat kalangan media atau pers yang menjunjung tinggi etika jurnalistik, dengan bersikap independen dan objektif. Namun, secara umum banyak pula kalangan media atau pers yang berperan sebagai corong penguasa. Mereka bahkan cenderung tidak imbang dalam memberitakan sesuatu dan tidak memberikan cukup ruang bagi opini kalangan oposisi.
Demokrasi kita pada akhirnya masih sekadar bersifat prosedural yang kehilangan rohnya. Makna demokrasi secara substansi tidak terjadi karena telah menjadi alat elite semata dan kelompok-kelompok oportunis, yang justru makin menyuburkan praktik antidemokrasi di negara kita. Singkatnya, demokrasi kita tersandera oleh kepentingan elite dan para pendukungnya yang akhirnya tidak memberikan banyak manfaat bagi rakyat banyak.
Dengan kondisi ini beberapa kalangan menilai demokrasi kita mengalami stagnasi atau penurunan. Kajian terbaru dari Economist Intelligence Unit (2019) menunjukkan kualitas demokrasi Indonesia masuk dalam kategori flawed democracy dan dalam wilayah Asia Tenggara berada di bawah Timor Leste, Malaysia, dan Filipina. Ini sungguh merupakan ironi mengingat sudah dua lebih dari dua dekade kita terlepas dari pemerintahan otoriter Orde Baru.
Mengapa? Secara umum kualitas demokrasi seperti ini merupakan imbas dari beberapa hal. Pertama , berkuasanya para pimpinan politik dengan komitmen yang minim bagi perbaikan demokrasi. Ini tecermin dari sikap mereka yang cenderung mendiamkan situasi demokrasi yang tidak sehat saat ini. Mereka misalnya tetap membiarkan partainya lemah dan tidak terlembaga dengan baik.
Kemudian tidak ada keseriusan dalam menangkal oligarki dan politik uang, yang menyebabkan jaringan oligarki makin meluas dan praktik korupsi tidak juga kunjung reda. Pendidikan politik baik bagi kader dan rakyat banyak juga tidak serius digarap secara menyeluruh. Sementara orientasi mereka adalah sedapat mungkin berkuasa dengan beragam cara, kerap dengan membiarkan sebuah janji tinggal janji.
Hal yang juga mengkhawatirkan, dengan membiarkan terus dilakukannya pendekatan menghasut (demagoguery ) dengan memanfaatkan isu-isu primordialisme yang jelas membawa dampak buruk bagi pertarungan politik programatik. Pembiaran ini memunculkan kemudian sebentuk partisipasi politik atas dasar kesadaran palsu yang destruktif bagi keutuhan bangsa.
Kedua , partai politik tidak kunjung menjadi modern. Sebagai aktor utama demokrasi kondisi internal partai pada umumnya masih diatur atas dasar kepentingan elite ketimbang aspirasi kader. Partai bukanlah tempat bersemainya nilai-nilai demokrasi, karena demokrasi internal partai mati suri. Hal ini sering ditunjukkan dengan kaderisasi partai yang apa adanya hingga model rekrutmen yang amat tidak objektif. Pendanaan partai juga masih bergantung pada kelompok atau figur tertentu, yang membuat partai menjadi semakin terjerat kepentingan eksklusif para elite yang ditopang oleh kalangan oligarki.
Ketiga , lemahnya civil society . Demokrasi jelas membutuhkan eksistensi masyarakat yang kritis, mandiri, berkesadaran hukum, dan paham akan hak dan kewajibannya. Sebuah entitas yang berjarak dengan penguasa dan mampu menghidupi dirinya secara memadai, yang berperan terutama sebagai penyeimbang dan pengontrol jalannya kekuasaan.
Pada negara yang mapan demokrasinya, civil society itu tidak saja eksis, namun benar-benar berperan. Namun, di Indonesia keberadaannya justru lemah atau dilemahkan. Satu dekade terakhir menunjukkan gelagat makin terserapnya civil society ke dalam jaringan kekuasaan. Beberapa figur civil society saat ini justru terjerembap dan menikmati kedekatan dengan penguasa, membuat kerja-kerja penguatan demokrasi menjadi makin terbengkalai.
Keempat , kondisi perekonomian kita saat ini tidak kunjung membaik. Laju pertumbuhan yang diharapkan tinggi tidak terjadi dan mengakibatkan masyarakat lemah secara ekonomi. Di tengah ketidakmandirian ekonomi itu jaring-jaring oligarki mengokohkan perannya. Kemiskinan mengakibatkan kemandirian politik tidak mudah mewujud dan membuat aktivitas politik menjadi sekadar "transaksi material" tanpa makna.
Kondisi ini jelas juga berkontribusi dengan bentuk-bentuk politik negatif yang mengokohkan kolusi dan nepotisme. Kondisi itu pun menyebabkan pendekatan politik uang guna memperoleh dukungan dan kekuasaan tetap marak sehingga muncullah istilah "democracy for sale " untuk menggambarkan situasi demokrasi kita. Partisipasi yang kemudian terjadi adalah sebuah partisipasi yang terbeli.
Kelima , lemahnya pendidikan politik. Saat ini pemahaman politik masyarakat didapat dari beragam sumber, yang sayangnya tidak seluruhnya benar. Bahkan masih banyak kalangan yang mendapatkan pendidikan politik sama sekali, yang pada akhirnya menyebabkan mereka menjadi benar-benar awam dalam berpolitik yang patut.
Dalam situasi seperti ini terbuka peluang bagi masuknya nilai-nilai yang tidak kompatibel bagi kehidupan demokrasi. Keawaman berpolitik secara demokratis inilah yang menyebabkan masyarakat menjadi amat mudah terbajak oleh manuver politik maupun cara pandang yang mengabaikan rasionalitas, kesadaran hukum, maupun penghargaan atas keragaman demi kepentingan politik sesaat.
Kepala Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Demokrasi kita saat ini berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, masyarakat Indonesia dewasa ini memiliki lebih banyak alternatif atau pilihan politik dibanding masa Orde Baru yang demikian membatasi pilihan politik. Demokrasi juga memberikan banyak kesempatan kepada lebih banyak orang, termasuk kepada mereka yang selama ini terpinggirkan, untuk berkiprah dalam dunia politik dan pemerintahan. Demokrasi juga memunculkan keteraturan pergantian kepemimpinan, baik pada level nasional maupun daerah secara berkala dan relatif damai.
Di sisi lain, terdapat beberapa persoalan yang kontraproduktif terhadap penumbuhan demokrasi. Saat ini terlihat adanya sebuah penjagaan atas pemerintah secara berlebihan (over-protective ) dari beragam kalangan pendukung. Muncul kemudian reaksi terhadap kalangan kritis, dari sekadar perlawanan verbal hingga kriminalisasi.
Tidak mengherankan jika saat ini terjadi kembali penangkapan atau perlakuan yang tidak tepat atas beberapa tokoh aktivis, artis, dosen, pendidik, pengguna media sosial seperti Facebook , hingga tokoh agama, yang intinya pembatasan gerak kalangan kritis. Demokrasi akhirnya menghasilkan kecenderungan penguatan eksekutif yang demikian eksesif yang menurut Indonesianis asal Australia, Thomas Power, telah bernuansakan otoriter (Power 2018, 307-338).
Saat ini juga adalah masa kegelapan bagi netralitas dan profesionalitas birokrasi. Baik pada level nasional maupun lokal muncul fenomena pemanfaatan birokrasi dan aparat keamanan sebagai mesin pemenangan pemilu. Hal ini bahkan sampai pada titik amat mengganggu dan telah dikeluhkan oleh aparat birokrasi sendiri yang merasa dipaksa untuk terjun dalam proses pemenangan kontestasi elektoral.
Selain itu, situasi media atau pers juga tidak terlalu menggembirakan. Di satu sisi, masih terdapat kalangan media atau pers yang menjunjung tinggi etika jurnalistik, dengan bersikap independen dan objektif. Namun, secara umum banyak pula kalangan media atau pers yang berperan sebagai corong penguasa. Mereka bahkan cenderung tidak imbang dalam memberitakan sesuatu dan tidak memberikan cukup ruang bagi opini kalangan oposisi.
Demokrasi kita pada akhirnya masih sekadar bersifat prosedural yang kehilangan rohnya. Makna demokrasi secara substansi tidak terjadi karena telah menjadi alat elite semata dan kelompok-kelompok oportunis, yang justru makin menyuburkan praktik antidemokrasi di negara kita. Singkatnya, demokrasi kita tersandera oleh kepentingan elite dan para pendukungnya yang akhirnya tidak memberikan banyak manfaat bagi rakyat banyak.
Dengan kondisi ini beberapa kalangan menilai demokrasi kita mengalami stagnasi atau penurunan. Kajian terbaru dari Economist Intelligence Unit (2019) menunjukkan kualitas demokrasi Indonesia masuk dalam kategori flawed democracy dan dalam wilayah Asia Tenggara berada di bawah Timor Leste, Malaysia, dan Filipina. Ini sungguh merupakan ironi mengingat sudah dua lebih dari dua dekade kita terlepas dari pemerintahan otoriter Orde Baru.
Mengapa? Secara umum kualitas demokrasi seperti ini merupakan imbas dari beberapa hal. Pertama , berkuasanya para pimpinan politik dengan komitmen yang minim bagi perbaikan demokrasi. Ini tecermin dari sikap mereka yang cenderung mendiamkan situasi demokrasi yang tidak sehat saat ini. Mereka misalnya tetap membiarkan partainya lemah dan tidak terlembaga dengan baik.
Kemudian tidak ada keseriusan dalam menangkal oligarki dan politik uang, yang menyebabkan jaringan oligarki makin meluas dan praktik korupsi tidak juga kunjung reda. Pendidikan politik baik bagi kader dan rakyat banyak juga tidak serius digarap secara menyeluruh. Sementara orientasi mereka adalah sedapat mungkin berkuasa dengan beragam cara, kerap dengan membiarkan sebuah janji tinggal janji.
Hal yang juga mengkhawatirkan, dengan membiarkan terus dilakukannya pendekatan menghasut (demagoguery ) dengan memanfaatkan isu-isu primordialisme yang jelas membawa dampak buruk bagi pertarungan politik programatik. Pembiaran ini memunculkan kemudian sebentuk partisipasi politik atas dasar kesadaran palsu yang destruktif bagi keutuhan bangsa.
Kedua , partai politik tidak kunjung menjadi modern. Sebagai aktor utama demokrasi kondisi internal partai pada umumnya masih diatur atas dasar kepentingan elite ketimbang aspirasi kader. Partai bukanlah tempat bersemainya nilai-nilai demokrasi, karena demokrasi internal partai mati suri. Hal ini sering ditunjukkan dengan kaderisasi partai yang apa adanya hingga model rekrutmen yang amat tidak objektif. Pendanaan partai juga masih bergantung pada kelompok atau figur tertentu, yang membuat partai menjadi semakin terjerat kepentingan eksklusif para elite yang ditopang oleh kalangan oligarki.
Ketiga , lemahnya civil society . Demokrasi jelas membutuhkan eksistensi masyarakat yang kritis, mandiri, berkesadaran hukum, dan paham akan hak dan kewajibannya. Sebuah entitas yang berjarak dengan penguasa dan mampu menghidupi dirinya secara memadai, yang berperan terutama sebagai penyeimbang dan pengontrol jalannya kekuasaan.
Pada negara yang mapan demokrasinya, civil society itu tidak saja eksis, namun benar-benar berperan. Namun, di Indonesia keberadaannya justru lemah atau dilemahkan. Satu dekade terakhir menunjukkan gelagat makin terserapnya civil society ke dalam jaringan kekuasaan. Beberapa figur civil society saat ini justru terjerembap dan menikmati kedekatan dengan penguasa, membuat kerja-kerja penguatan demokrasi menjadi makin terbengkalai.
Keempat , kondisi perekonomian kita saat ini tidak kunjung membaik. Laju pertumbuhan yang diharapkan tinggi tidak terjadi dan mengakibatkan masyarakat lemah secara ekonomi. Di tengah ketidakmandirian ekonomi itu jaring-jaring oligarki mengokohkan perannya. Kemiskinan mengakibatkan kemandirian politik tidak mudah mewujud dan membuat aktivitas politik menjadi sekadar "transaksi material" tanpa makna.
Kondisi ini jelas juga berkontribusi dengan bentuk-bentuk politik negatif yang mengokohkan kolusi dan nepotisme. Kondisi itu pun menyebabkan pendekatan politik uang guna memperoleh dukungan dan kekuasaan tetap marak sehingga muncullah istilah "democracy for sale " untuk menggambarkan situasi demokrasi kita. Partisipasi yang kemudian terjadi adalah sebuah partisipasi yang terbeli.
Kelima , lemahnya pendidikan politik. Saat ini pemahaman politik masyarakat didapat dari beragam sumber, yang sayangnya tidak seluruhnya benar. Bahkan masih banyak kalangan yang mendapatkan pendidikan politik sama sekali, yang pada akhirnya menyebabkan mereka menjadi benar-benar awam dalam berpolitik yang patut.
Dalam situasi seperti ini terbuka peluang bagi masuknya nilai-nilai yang tidak kompatibel bagi kehidupan demokrasi. Keawaman berpolitik secara demokratis inilah yang menyebabkan masyarakat menjadi amat mudah terbajak oleh manuver politik maupun cara pandang yang mengabaikan rasionalitas, kesadaran hukum, maupun penghargaan atas keragaman demi kepentingan politik sesaat.
(pur)