Menerka Standing Position MK atas UU KPK
A
A
A
Mohammad Agus Maulidi
Alumnus Program Politik Cerdas Berintegritas (PCB) Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia
JALAN panjang demonstrasi masyarakat untuk menolak Undang-Undang No 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No 30 Tahun 2002 tentang Komisi.
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) telah dilalui. Upaya tersebut (jika tidak dikatakan tidak membuahkan hasil) ternyata tidak menghalangi disahkannya revisi UU KPK.
Upaya konstitusional lain yang menjadi tumpuan harapan masyarakat adalah melalui executive review dengan menuntut dan menunggu Presiden untuk mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) yang secara substansial akan mencabut keberlakuan revisi UU KPK.
Harapan yang bertumpu pada hak prerogatif presiden dengan dasar kegentingan memaksa tersebut tampaknya juga akan kandas. Hingga saat ini Presiden belum memberikan sinyal positif untuk menerbitkan perppu.
Jalan konstitusional lain yang paling strategis dan terbuka bagi setiap orang saat ini adalah jalur yudisial melalui upaya uji materiil (judicial review ) di Mahkamah Konstitusi (MK).
Jalur judicial review ke MK ini ternyata sudah dilalui banyak pihak. Sebanyak 18 mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi telah mengajukan upaya judicial review dengan Nomor Perkara 57/PUU-XVI/2019 serta permohonan lain yang juga oleh mahasiswa pada perkara Nomor 73/PUU-XVII/2019.
Dari elemen perseorangan, hadir sebagai pemohon Zico Leonard dengan Nomor Perkara 71/PUU-XVII/2019. Dari elemen kampus, Universitas Islam Indonesia (UII) juga mengajukan permohonan dengan nomor register perkara 70/PUU-XVII/2019. Bahkan institusi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga mengajukan permohonan uji materiil terhadap revisi UU KPK dengan nomor perkara 79/PUU XVII/2019.
Berdasarkan permohonan uji materiil tersebut, tampaknya akan cukup sulit (meskipun tidak menutup kemungkinan) bagi MK untuk mengeluarkan putusan yang berkonsekuensi pada pembatalan atau tidak berlakunya revisi UU KPK.
Kedudukan Hukum Pemohon
Kedudukan hukum atau legal standing pemohon menjadi kunci atas perkara uji konstitusionalitas suatu undang-undang di MK. Memang semua orang berhak mengajukan permohonan kepada MK, tetapi tanpa adanya legal standing yang jelas, permohonan pemohon akan kandas.
Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), bahwa pemohon merupakan pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang yang dalam hal ini adalah UU KPK.
Kualifikasi pemohon di antaranya adalah perseorangan warga negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam undang-undang; badan hukum publik atau privat; atau lembaga negara. Adapun hak konstitusional dimaknai dalam UU MK sebagai hak-hak yang diatur dalam UUD 1945.
Kerugian konstitusional atas berlakunya suatu undang-undang sebenarnya telah ditafsirkan oleh MK melalui beberapa putusan sebelumnya, yaitu Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007.
Bahwa kerugian tersebut harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu adanya hak konstitusional pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; hak konstitusional tersebut oleh pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; kerugian hak konstitusional harus bersifat spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.
Kemudian adanya hubungan sebab akibat antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dimaksud dengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; serta adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Kelima syarat yang ditentukan oleh MK untuk menjadi legal standing pemohon uji materiil Revisi UU KPK akan sulit dipenuhi. Bagaimanapun keberlakuan revisi UU KPK tidak akan berkaitan secara spesifik dan aktual dengan kerugian konstitusional yang dialami pemohon.
Dalam keadaan yang lebih terang, akan sulit bagi pemohon untuk membuktikan hak konstitusional dalam konteks apakah yang diberikan oleh UUD 1945 dan kemudian dirugikan dengan keberlakuan revisi UU KPK ini. Dalam hal legal standing tersebut tidak terpenuhi, tentu MK tidak akan memiliki pijakan yang jelas untuk membatalkan keberlakuan revisi UU KPK.
MK sebagai Negative Legislature
Kendala selanjutnya akan berkaitan dengan original intent dibentuknya MK yang berposisi sebagai negative legislature . MK diidealkan sebagai lembaga yang hanya menilai dan menyatakan apakah suatu undang-undang bertentangan dengan UUD 1945.
Hal ini ditujukan untuk melindungi kemurnian UUD 1945 sebagai konstitusi bernegara (the guardian of constitution ). Karena itu kewenangan yang diberikan kepada MK hanya sebatas menafsirkan UUD 1945, yang dengan tafsir tersebut akan mengomparasi dengan materi muatan suatu undang-undang.
Pada bagian ini akan sulit mencari titik temu benturan langsung dan spesifik antara UU KPK dengan norma di dalam konstitusi. Hal ini karena konstitusi mengatur norma umum, sedangkan revisi UU KPK lebih mengatur hal-hal yang sifatnya teknis operasional dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Oleh karena itu ruang tersebut akan disadari sebagai open legal policy , yaitu ihwal kehendak politik pembentuk undang-undang yang tentu menjadi domain lembaga legislatif serta jauh dari kewenangan MK sebagai lembaga yudikatif.
Alumnus Program Politik Cerdas Berintegritas (PCB) Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia
JALAN panjang demonstrasi masyarakat untuk menolak Undang-Undang No 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No 30 Tahun 2002 tentang Komisi.
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) telah dilalui. Upaya tersebut (jika tidak dikatakan tidak membuahkan hasil) ternyata tidak menghalangi disahkannya revisi UU KPK.
Upaya konstitusional lain yang menjadi tumpuan harapan masyarakat adalah melalui executive review dengan menuntut dan menunggu Presiden untuk mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) yang secara substansial akan mencabut keberlakuan revisi UU KPK.
Harapan yang bertumpu pada hak prerogatif presiden dengan dasar kegentingan memaksa tersebut tampaknya juga akan kandas. Hingga saat ini Presiden belum memberikan sinyal positif untuk menerbitkan perppu.
Jalan konstitusional lain yang paling strategis dan terbuka bagi setiap orang saat ini adalah jalur yudisial melalui upaya uji materiil (judicial review ) di Mahkamah Konstitusi (MK).
Jalur judicial review ke MK ini ternyata sudah dilalui banyak pihak. Sebanyak 18 mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi telah mengajukan upaya judicial review dengan Nomor Perkara 57/PUU-XVI/2019 serta permohonan lain yang juga oleh mahasiswa pada perkara Nomor 73/PUU-XVII/2019.
Dari elemen perseorangan, hadir sebagai pemohon Zico Leonard dengan Nomor Perkara 71/PUU-XVII/2019. Dari elemen kampus, Universitas Islam Indonesia (UII) juga mengajukan permohonan dengan nomor register perkara 70/PUU-XVII/2019. Bahkan institusi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga mengajukan permohonan uji materiil terhadap revisi UU KPK dengan nomor perkara 79/PUU XVII/2019.
Berdasarkan permohonan uji materiil tersebut, tampaknya akan cukup sulit (meskipun tidak menutup kemungkinan) bagi MK untuk mengeluarkan putusan yang berkonsekuensi pada pembatalan atau tidak berlakunya revisi UU KPK.
Kedudukan Hukum Pemohon
Kedudukan hukum atau legal standing pemohon menjadi kunci atas perkara uji konstitusionalitas suatu undang-undang di MK. Memang semua orang berhak mengajukan permohonan kepada MK, tetapi tanpa adanya legal standing yang jelas, permohonan pemohon akan kandas.
Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), bahwa pemohon merupakan pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang yang dalam hal ini adalah UU KPK.
Kualifikasi pemohon di antaranya adalah perseorangan warga negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam undang-undang; badan hukum publik atau privat; atau lembaga negara. Adapun hak konstitusional dimaknai dalam UU MK sebagai hak-hak yang diatur dalam UUD 1945.
Kerugian konstitusional atas berlakunya suatu undang-undang sebenarnya telah ditafsirkan oleh MK melalui beberapa putusan sebelumnya, yaitu Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007.
Bahwa kerugian tersebut harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu adanya hak konstitusional pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; hak konstitusional tersebut oleh pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; kerugian hak konstitusional harus bersifat spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.
Kemudian adanya hubungan sebab akibat antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dimaksud dengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; serta adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Kelima syarat yang ditentukan oleh MK untuk menjadi legal standing pemohon uji materiil Revisi UU KPK akan sulit dipenuhi. Bagaimanapun keberlakuan revisi UU KPK tidak akan berkaitan secara spesifik dan aktual dengan kerugian konstitusional yang dialami pemohon.
Dalam keadaan yang lebih terang, akan sulit bagi pemohon untuk membuktikan hak konstitusional dalam konteks apakah yang diberikan oleh UUD 1945 dan kemudian dirugikan dengan keberlakuan revisi UU KPK ini. Dalam hal legal standing tersebut tidak terpenuhi, tentu MK tidak akan memiliki pijakan yang jelas untuk membatalkan keberlakuan revisi UU KPK.
MK sebagai Negative Legislature
Kendala selanjutnya akan berkaitan dengan original intent dibentuknya MK yang berposisi sebagai negative legislature . MK diidealkan sebagai lembaga yang hanya menilai dan menyatakan apakah suatu undang-undang bertentangan dengan UUD 1945.
Hal ini ditujukan untuk melindungi kemurnian UUD 1945 sebagai konstitusi bernegara (the guardian of constitution ). Karena itu kewenangan yang diberikan kepada MK hanya sebatas menafsirkan UUD 1945, yang dengan tafsir tersebut akan mengomparasi dengan materi muatan suatu undang-undang.
Pada bagian ini akan sulit mencari titik temu benturan langsung dan spesifik antara UU KPK dengan norma di dalam konstitusi. Hal ini karena konstitusi mengatur norma umum, sedangkan revisi UU KPK lebih mengatur hal-hal yang sifatnya teknis operasional dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Oleh karena itu ruang tersebut akan disadari sebagai open legal policy , yaitu ihwal kehendak politik pembentuk undang-undang yang tentu menjadi domain lembaga legislatif serta jauh dari kewenangan MK sebagai lembaga yudikatif.
(maf)