Mimpi Buruk Perang Ekonomi AS-China

Senin, 23 Desember 2019 - 23:12 WIB
Mimpi Buruk Perang Ekonomi AS-China
Mimpi Buruk Perang Ekonomi AS-China
A A A
Dani Setiawan
Dosen FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

TAHUN 2019 tak lama lagi berakhir. Tensi panas hubungan antara Amerika Serikat (AS) dan China belum memperlihatkan tanda-tanda membaik. Kedua pemimpin negara itu masih terlibat konflik yang menyulut ketegangan dan ketidakpastian dalam skala yang semakin luas.

Dalam proyeksi ekonomi 2020 yang dibuat Indef (Institute for Development of Economics and Finance), disebutkan bahwa saat ini bukan hanya berlangsung perang dagang, melainkan juga perang mata uang, perang teknologi, dan perang investasi. Perang dagang (trade war) adalah istilah untuk menggambarkan situasi konflik ekonomi ketika suatu negara memberlakukan tarif atau hambatan perdagangan lainnya.

Negara-negara asing membalas dengan bentuk-bentuk proteksionisme perdagangan yang serupa. Sebagaimana sedang kita saksikan saat ini, drama saling membalas kenaikan tarif atas sejumlah produk dari AS dan China.

Ketidakpastian perdagangan meningkat 10 kali lipat terutama akibat eskalasi perang dagang yang terjadi belakangan ini. Indeks tingkat ketidakpastian perdagangan yang tinggi tercatat di sejumlah mitra dagang utama AS seperti Kanada, Meksiko, Jepang, beberapa negara Eropa, serta di negara lain yang secara geografis dekat dengan Amerika dan China. Asia merupakan salah satu kawasan dengan kenaikan indeks ketidakpastian yang paling terasa dampaknya.

Berikutnya adalah perang mata uang (currency war), yaitu situasi ketika sejumlah negara berusaha dengan sengaja mendepresiasi nilai mata uang domestik untuk merangsang perekonomian mereka. Negara-negara berusaha untuk mendapatkan keuntungan perdagangan dari negara-negara lain dengan menjadikan nilai tukar mata uang mereka jatuh dibandingkan mata uang lainnya.

Ketika nilai tukar mata uang suatu negara turun, ekspor menjadi lebih kompetitif dari negara lain dan impor ke negara itu menjadi semakin mahal. Hal ini terlihat dari langkah China melemahkan yuan sebesar 2% dalam merespons kebijakan Donald Trump yang mengenakan tambahan tarif 10% atas produk impor yang berasal dari China.

Perang mata uang adalah salah satu yang paling merusak dan ditakuti dalam ekonomi internasional. Hal itu seolah menghidupkan kembali “hantu-hantu” depresi besar (great depression), ketika negara-negara terlibat dalam devaluasi mata uang dan memberlakukan tarif yang meruntuhkan perdagangan dunia.

AS dan China juga bersaing dalam sebuah perang teknologi (technology war) untuk mendapatkan supremasi dalam rangkaian teknologi canggih yang akan memengaruhi sarana produksi ekonomi masa depan. AS menutup pasar dalam negerinya bagi produk teknologi informasi dari China, yang dianggap sebagai instrumen untuk melakukan aktivitas mata-mata yang dapat membahayakan keamanan nasional AS. Bukan hanya itu, AS berusaha keras untuk menutup akses bisnis perusahaan teknologi informasi asal China di seluruh dunia.

Sejumlah pihak di AS menyamakan langkah itu dengan kebijakan pemerintah mereka memerangi Irak karena kepemilikan senjata pemusnah massal, sebuah alasan sumir dan tidak pernah terbukti kebenarannya. Seperti diungkapkan ekonom Jeffrey D Sach, pemimpin di Amerika menciptakan kepanikan terhadap perusahaan teknologi China dengan meningkatkan dan melebih-lebihkan sebuah risiko yang sebenarnya relatif kecil. AS seolah sedang menciptakan bencana geopolitik baru yang tanpa alasan yang kuat.

Aktivitas “mata-mata” pada penggunaan teknologi canggih sesungguhnya sudah berlangsung sejak lama, justru lebih dulu dilakukan oleh perusahaan-perusahaan asal AS seperti Google atau Facebook. Mereka secara sadar mengeksploitasi data “prediksi perilaku” pengguna secara diam-diam di seluruh dunia dengan melakukan operasi perdagangan data yang amat menguntungkan (Zuboff, 2019).Para “kapitalis mata-mata” ini telah tumbuh sangat kaya karena banyak perusahaan bersedia untuk bertaruh sangat besar pada perilaku masa depan dan keseharian manusia.
Ketika semua mata tertuju pada pergulatan perang pada perdagangan barang, Washington membuka front lain dalam pertempuran dengan China: Perang investasi (investment war). Yaitu sebuah kondisi di mana suatu negara mengurangi, memindahkan dana, atau menarik seluruh investasinya (direct and indirect investement) ke negara lain.

Misalnya Donald Trump mendorong untuk menghapus semua perusahaan-perusahaan China dari bursa saham AS, NYSE (The New York Stock Exchange) dan National Association of Securities Dealers Automated Quotations (NASDAQ), dan memulangkan produksi semua perusahaan AS yang berinvestasi di China. Pada dasarnya, langkah ini untuk meningkatkan tekanan kepada Beijing agar mengikuti perubahan yang dituntut Washington.

Sebuah laporan menunjukkan bahwa terdapat sekitar 150–200 perusahaan China yang terdaftar di bursa saham AS dengan total kapitalisasi saham sebesar USD1,2–1,8 triliun. Logika politik di balik delisting perusahaan China adalah bahwa modal yang diperoleh dari listing tersebut dianggap telah berkontribusi untuk memasok dana yang sangat besar kepada pesaing ekonomi dan politik AS tersebut.Penasihat senior Gedung Putih Steve Bannon secara provokatif mengatakan, “We have unlimited financing for the Chinese Communist Party, and their front organizations… The Frankenstein monster that we have to destroy is created by the West. It’s created by our capital.”
Upaya mitigasi

Konflik ekonomi AS-China membuat Indonesia berada dalam situasi sulit. Indonesia mengalami tekanan ekspor yang kuat, terutama karena China, AS, Uni Eropa merupakan mitra dagang yang utama. Praktis hanya ASEAN dan India yang jadi andalan tujuan ekspor kita. Namun dalam kasus India, Indonesia mesti melakukan negosiasi perdagangan baru untuk membuka pasar Indonesia bagi sejumlah produk mereka: gula, beras, dan daging kerbau.

Apalagi, pelambatan ekonomi global juga diiringi penurunan harga-harga komoditas primer. Padahal, inilah yang menjadi andalan ekspor Indonesia selama ini. Struktur ekspor kita pada 2018 sekitar 57% komposisinya masih komoditas primer (seperti sawit, batubara, karet), 43% barang manufaktur.
Kalah dibandingkan Thailand dan Vietnam, yang komposisi ekspor barang manufakturnya mencapai 74% dan 81% pada tahun yang sama (CORE, 2019). Melihat gambaran ini, patut menjadi kesadaran bersama bahwa Indonesia relatif terlambat melakukan transformasi.
Dari sisi ini, cakupan ekspor kita juga masih sempit. Diperlukan komoditas-komoditas baru dan tidak harus dari sektor-sektor usaha besar, bisa menengah dan kecil, sehingga investasi juga bisa mengarah ke segmen usaha semacam ini. Komoditas lain yang potensial dioptimalkan adalah sektor perikanan, kerajinan, dan pertanian. Pendekatan pembangunan yang menyeluruh harus dijalankan, meningkatkan produksi sekaligus orientasi meningkatkan kesejahteraan petani, nelayan, dan pelaku usaha ekonomi rakyat lainnya.

Berikutnya, kebijakan fiskal dan moneter harus menjadi instrumen yang kuat untuk mendorong dan menjaga peningkatan daya beli masyarakat, mendorong produksi dalam negeri dan lapangan kerja. Pemangkasan sejumlah subsidi (solar, listrik, LPG) serta kenaikan iuran BPJS dan cukai rokok harus diantisipasi sebagai faktor penghambat melemahnya konsumsi swasta yang pada ujungnya menahan pertumbuhan ekonomi dan menambah jumlah orang jatuh miskin.Jika kebijakan ekonomi kita masih salah langkah, mimpi buruk bagi masa depan ekonomi Indonesia. Semoga tidak!
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7720 seconds (0.1#10.140)