Oligarki Parpol dan Ancaman Daulat Rakyat

Selasa, 17 Desember 2019 - 06:16 WIB
Oligarki Parpol dan...
Oligarki Parpol dan Ancaman Daulat Rakyat
A A A
Adi Prayitno
Dosen Ilmu Politik Fisip UIN Jakarta dan Direktur Eksekutif Parameter Politik


PERKEMBANGAN politik mutakhir menunjukkan gejala yang merisaukan karena mengarah pada penurunan kualitas demokrasi serta mempertontonkan arogansi oligarkis partai politik (parpol). Indikasinya relatif banyak. Mulai dari opsi pemilihan kepala daerah (pilkada) akan dipilih DPRD karena alasan mahal, usul menambah masa jabatan presiden tiga periode, dan opsi presiden dipilih MPR. Tentu realitas ini sangat paradoks. Di satu sisi demokrasi prosedural kian semarak, namun pada sisi lain substansi semakin minim dan ini membahayakan.

Freedom House merilis indikator ciri negara demokratis. Ciri tersebut, yakni jaminan hak politik (political rights) dan kebebasan sipil (civil liberty). Dua ukuran politik yang elementer dalam mengonsolidasi demokrasi. Memosisikan rakyat sebagai aktor kunci dalam menentukan semua kebijakan strategis seperti pemilu. Bukan elite yang kerap memonopoli kewenangan politik.

Pada level prosedural, demokrasi sebagai jaminan atas hak politik warga relatif maju. Minimal ritus suksesi lima tahunan reguler dilaksanakan. Tanpa letupan berarti. Namun, secara substansial perkembangan demokrasi cenderung mundur karena elite oligarkis ingin menutup ruang partisipasi rakyat. Keputusan politik sengaja didesain top down bukan buttom up.

Tentu ini menjadi tanda tanya besar. Di tengah semangat berdemokrasi, elite oligarki malah terlihat ingin mengamputasi kedaulatan rakyat. Mengebiri hak politik mereka dengan macam dalih. Rakyat tak lagi dinilai sebagai subjek politik yang bisa menentukan keputusan strategis. Caranya dengan mengembalikan semua proses suksesi politik pada segelintir elite parpol.

Tiga Parameter

Ada tiga parameter mencolok yang menandai perkongsian para oligarki. Pertama , isu pilkada dipilih oleh DPRD. Pilkada memang perlu dievaluasi. Praktiknya carut marut, berbiaya mahal, dan brutal, karena memobilisasi segala instrumen untuk menang. Tapi, bukan berarti pilkada dipilih dewan daerah. Bangsa ini susah payah merebut hak politik rakyat dari tangan elite diktator rezim Orde Baru.

Mahalnya ongkos politik karena banyak biaya yang dikeluarkan secara ilegal. Misalnya mahar politik yang diberikan kandidat ke parpol untuk "membeli" dukungan. Nominalnya fantastis dan tak pernah dilaporkan. Terjadi hubungan simbiosis mutualistis antaraktor politik. Seperti lingkaran setan sukar diputus. Setiap kontestan harus memiliki bekal komplet. Bukan hanya popularitas dan elektabilitas, namun juga "isi tas".

Kedua, perihal presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR. Hampir senada dengan pilkada, isu yang diembuskan relatif serupa. Misalnya potensi konflik horizontal, pembelahan rakyat di akar rumput cukup ekstrem, termasuk brutalitas pemilu karena maraknya politik uang. Seakan pilpres langsung banyak mudarat ketimbang manfaat positif.

Opsi ini jelas ingin mengamputasi kekuatan rakyat sebagai subjek radikal yang bisa menentukan arah politik. Para oligarki terlihat sangat ketakutan dengan bangkitnya kesadaran politik warga negara yang kian rasional dan matang. Oligarki takut kemewahan akses terhadap sumber daya politik dan ekonomi direbut rakyat yang mulai menggeliat menggusur dominasi mereka di berbagai panggung politik elektoral.

Ketiga, jabatan presiden tiga periode. Ini efek dari rekomendasi amendemen terbatas UUD 1945 kepada MPR. Bak membuka kotak pandora tak ada yang bisa menjamin makhluk apa saja yang keluar jika amandemen dilakukan. Bukan hanya soal GBHN sebagai blue print kebijakan presiden, isu panas lain seperti merombak jabatan presiden cukup terbuka. Padahal salah satu semangat reformasi ialah mengamputasi jabatan presiden yang tanpa batas. Agar tak lagi ada praktik korupsi, kolusi, nepotisme (KKN), mencegah presiden seumur hidup, dan membuka kran regenerasi.

Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam How Democracies Die (2018) menyebut kematian demokrasi bukan hanya di tangan kudeta pemimpin bersenjata. Demokrasi bisa mati di bawah pemimpin pilihan rakyat. Yakni, membajak proses demokrasi yang melanggengkan kekuasaan absolut. Seperti Hugo Chaves di Venezuela yang menghapus batas masa jabatan presiden agar bisa berkuasa selamanya. Dulu ada yang mengangkat dirinya presiden seumur hidup. Saat ini jangan ada lagi peristiwa yang serupa. Trauma itu masih membekas. Sangat menyakitkan.

Daulat Rakyat

Tentu sangat ironis. Di tengah gairah demokrasi yang kian semarak, justru ada upaya kuasa oligarkis merusak substansi demokrasi yang potensial membunuh masa depan kebebasan politik. Mestinya bangsa ini tinggal landas menyongsong Indonesia maju agar lebih kompetitif. Bukan terjerembab dengan isu abad pertengahan yang membuat gerak perubahan berjalan di tempat.

Karena itu, perlawanan terhadap arogansi oligarki mesti terus dikumandangkan. Melawan adalah satu-satunya jalan. Percuma pemilu dan pilkada diklaim sukses jika masih ada opsi kepala daerah dipilih DPRD, presiden dan wakil dipilih MPR, serta upaya memperpanjang masa jabatan presiden tentu menjadi kabar buruk bagi perjalanan demokrasi ke depan.

Sangat berbahaya jika oligarki politik bersekongkol dengan kelompok oligarki kultural keagamaan yang agresif memberikan basis legitimasi moral berupa fatwa politik kontekstual sesuai selera zaman. Seakan pemilu tak langsung adalah ikhtiar terbaik di tengah situasi politik yang dikesankan tak kondusif. Ini adalah wujud dari perkongsian jahat berbagai oligarkis yang bisa membunuh khittah demokrasi substantif.

Sebagai penguatan demokrasi, segala upaya mengebiri hak politik rakyat harus dilawan hingga titik darah penghabisan. Rakyat harus berdaulat seutuhnya. Sebab, demokrasi modern memosisikan rakyat sebagai aktor kunci pembangunan. Bukan malah dimarjinalkan sebagai pemanis polesan gincu demokrasi yang artifisial. Rakyat harus kembali bangkit.

Mengonsolidasi segala daya kekuatan politik menantang kepongahan oligarki parpol. Banyak sejarah membuktikan kekuatan rakyat akan terus menjadi momok menakutkan bagi elite yang terlalu lama mengangkangi demokrasi. Kekuatan massa rakyat menjadi pendobrak pintu tirani politik yang digembok rapat-rapat. Daulat rakyat sejatinya daulat Tuhan.

Di ujung spektrum dinamika politik yang tak menentu, bangsa ini perlu meratapi bahwa kemunduran demokrasi bukan karena ulah diktator, bukan pula junta militer, melainkan oleh persekongkolan elite politik oligarkis yang sengaja ingin merampok demokrasi ini dari tangan rakyat. Pada konteks inilah menjadi penting untuk terus mengepalkan tangan resistensi. Tanpa lelah tanpa henti. Bangsa ini mesti sadar selangkah lagi kemewahan demokrasi langsung rakyat dalam ancaman kelompok oligarki.
(cip)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0885 seconds (0.1#10.140)