Belajar Menerima Kesalahan dari Putusan Bebas Sofyan Basyir

Rabu, 06 November 2019 - 08:44 WIB
Belajar Menerima Kesalahan dari Putusan Bebas Sofyan Basyir
Belajar Menerima Kesalahan dari Putusan Bebas Sofyan Basyir
A A A
Maqdir Ismail
Praktisi Hukum/Advokat

Dalam persidangan tanggal 4 November 2019, Hariono, S.H., M.H, Ketua Majelis Hakim yang mengadili perkara Sofyan Basyir menyatakan, "Mengadili, satu, menyatakan terdakwa Sofyan Basyir tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana di dakwaan penuntut umum dalam dakwaan pertama dan kedua," "Terdakwa Sofyan Basyir tidak terbukti melakukan tindak pidana pembantuan sebagaimana dakwaan pertama. Maka Sofyan Basyir tidak terbukti melakukan tindak pidana pembantuan sebagaimana dakwaan kedua," kata majelis hakim.

Vonis bebas murni yang dijatuhkan majelis hakim pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) pada mantan Direktur Utama PLN, Sofyan Basyir (SB) cukup mengejutkan masyarakat. Selama ini sangat jarang ada putusan bebas murni pada kasus tindak pidana korupsi, khususnya di pengadilan tingkat pertama. Bahkan, jika dibandingkan dengan kebebasan yang diberoleh Syafrudin Arsyad Tumenggung (SAT) yang 'hanya' berkualifikasi 'lepas' dari dari segala tuntutan hukum (onslag), sedangkan putusan yang membebaskan SB berkategori bebas murni (vrijpraak).

Menyimak perkara Sofyan Basyir ini sebenarnya tidak terlalu sulit dan tidak terlalu rumit. Akan tetapi menjadi sulit dan rumit, ketika lahir nafsu besar tetapi pemahaman kurang terhadap kedaan perkara di lapangan. Hal ini kita bisa lacak dari keterangan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan, pihaknya menduga Sofyan telah menerima uang dari Johanes Budisutrisno Kotjo (JBK) selaku pemegang saham Blackgold Natural Resources Ltd.

"Sofyan diduga turut membantu Eni Maulani Saragih (EMS) dan kawan-kawan menerima hadiah atau janji dari Johanes Kotjo.."SFB diduga menerima janji dengan mendapatkan bagian yang sama besar dari jatah Eni Maulani Saragih dan Idrus Marham," jelasnya seperti dikutip sejumlah media nasional.

Inilah ujaran-ujaran yang memastikan bahwa SB bersalah. Meskipun selama persidangan dalam perkara SBK maupun perkara IM dan perkara EMS, tidak ada keterangan atau bukti yang tegas menyatakan bahwa SB telah menerima hadiah atau janji dari SBK.

Menilik dokumen Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan Nomor: B/230/Dik.00/23/04/2019, tanggal 22 April 2019, SB disangka melakukan perbuatan pidana melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke -1 KUHP atau Pasal 56 ke-2 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP”. Artinya SB diduga telah menerima suap atau gratifikasi secara bersama-sama atau melakukan pembantuan dalam menerima suap atau gratifikasi ayng dilakukan secara berlanjut.

Akan tetapi terjadi perubahan pasal yang diancamkan kepada SB, ketika dia didakwa di PN Tipikor Jakarta Pusat. Dalam Surat Dakwaa Pertama pasal yang di dakwakan adalah Pasal 12 huruf a jo. Pasal 15 UU Tipikor jo. Pasal 56 ke-2 KUHP, sedangkan Dakwaan Kedua melanggar Pasal 11 jo. Pasal 15 UU Tipikor jo Pasal 56 ke-2 KUHP.

Dengan surat dakwaan ini ada pasal yang semula dipersangkakan menjadi hilang yaitu Pasal 12 huruf b UU Tipikor dan Pasal 64 ayat (1) KUHP. Akan tetapi ada pasal baru yang didakwakan yaitu Pasal 15 UU Tipikor mengenai percobaan, pembantuan atau permufakatan jahat berkenaan dengan menerima hadiah atau janji dan hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya sesuai dengan bunyi Pasal 12 huf a UU Tipikor.

Perubahan Pasal berdasarkan Surat Perintah Penyidikan dan sesuai dengan surat dakwaan, adalah merupakan pelanggaran terhadap Pasal 52 ayat (1) UU KPK, sebab UU KPK tidak memberikan kewenangan kepada Penuntut Umum untuk melakukan perubahan apapun terhadap konstruksi perkara. Kewajiban Penuntut Umum dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah menerima berkas perkara wajib melimpahkan berkas perkara kepada Pengadilan Negeri.

Tidak ada jejaknya dalam berkas perkara bahwa perubahan pasal yang didakwakan ini, telah dilakukan melalui proses penyidikan tambahan oleh Penuntut Umum sebagaimana dimaksud oleh Pasal 30 ayat (1) huruf e UU No.16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Atau sebagaimana sering dilakukan menurut Surat JAKSA AGUNG MUDA TINDAK PIDANA UMUM Nomor : B-536/E/11/1993 Sifat : Biasa Lampiran : - Perihal : Melengkapi Berkas Perkara Dengan Melakukan Pemeriksaan Tambahan Jakarta, 1 Nopember 1993. Kalaulah sekiranya ada pemeriksaan tambahan untuk “Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik”, maka pemeriksaan tambahan tersebut tidak sesuai dengan hukum dan merupakan perbuatan melawan hukum.

Terjadinya perubahan pasal ini, tidak terlapas dari adanya nafsu besar untuk memenjarakan SB, sementara fakta yang dapat mendukung tidak cukup, paling kurang tidak ada bukti dalam membuktikan adanya perbuatan berlanjut yang dilakukan SB dalam menerima hadiah atau janji dari SBK. Lalu dimasukkanlah pasal percobaan dan pembantuan, dengan harapan dapat menyelamatkan muka, ketika pembuktian perbuatan berlanjut dalam menerima hadiah atau janji tidak terbukti.

Maka yang akan dibuktikan adanya percobaan atau pembantuan terhadap EMS yang secara nyata terbukti telah menerima hadiah atau janji dari SBK. Inilah yang hendak dibangun oleh JPU dengan melakukan perubahan pasal yang didakwakan kepada SB. Hal ini dilakukan tentu saja karena JPU menyadari betapa lemahnya fakta yang akan digunakan untuk membuktikan bahwa SB bersalah telah menerima hadiah atau janji secara berlanjut dari SBK.

Tentu ini dapat diduga, karena adanya kesadaran yang timbul kemudian bahwa ada yang salah dalam konstruksi awal perkara SB. Hal ini tidak terlepas dari tidak adanya konsultasi atau pemberian petunjuk dari JPU dalam proses penyidikan. Dan sulit juga untuk menyangkal bahwa kedaan seperti ini terjadi karena proses hokum di KPK, yang melakukan penetapan tersangka diawal penyidikan bukan diakhir penyidikan.

Hal yang patut dihargai adalah adanya keberanian dari Majelis Hakim untuk memutuskan perkara ini bahwa yang benar itu adalah benar dan yang salah itu adalah salah. Tentu diharapankan ketika Hakim tidak meyakini seorang Terdakwa bersalah, maka Hakim harus berani menyatakan kebenaran yang dimiliki Terdakwa termasuk dalam perkara korupsi.

Tentu kita tidak menginginkan proses hukum dalam perkara korupsi ini, harus menghukum semua orang yang di dakwa melakukan korupsi dengan hukuman tinggi. Hukuman sebagai bentuk pembalasan terhadap orang diduga sebagai korupsi, karena telah menyengsarakan rakyat dan telah mencuri hak rakyat. Seperti peradilan terhadap para penyihir diabad 15 dan 16an, yang menghukum semua penyihir dengan hukuman dibakar atau digantung.

Nafsu besar untuk menghukum, karena kurangnya pemahaman terhadap fakta dan struktur perkara seharusnya tidak terjadi dalam perkara seperti ini. Kita beruntung ada Hakim yang berani untuk membebaskan SB. Oleh karena itulah KPK harus belajar dari kesalahan yang dilakukan dalam perkara SB ini.

Kepada hakim kita percaya bahwa hukum ditegakkan untuk kebenaran dan keadilan.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6911 seconds (0.1#10.140)