BUMN, Mau Dibawa ke Mana?
A
A
A
Candra Fajri Ananda
Dosen dan Guru Besar FEB Universitas Brawijaya
TERBENTUKNYA Kabinet Indonesia Maju membuka optimisme publik terhadap kemajuan Indonesia di tengah kerasnya tantangan yang ada. Hadirnya sejumlah nama baru dari kalangan profesional dalam kabinet dinilai memiliki kapasitas yang mumpuni, tak terkecuali di Kementerian BUMN.
Bukan hal yang mudah bagi Menteri BUMN yang baru untuk mengelola setidaknya 142 perusahaan BUMN di tanah air. Sejumlah pekerjaan rumah yang tak mudah telah menanti formula baru dari Menteri BUMN untuk mampu menjadikan BUMN tumbuh sehat dan berdaya saing.
Dibalik banyaknya sorotan publik terhadap beberapa kasus perusahaan BUMN yang merugi, tak dapat dipungkiri bahwa kontribusi BUMN terhadap APBN cukup besar, meskipun bukan pula dominan. Pada tahun 2018, data menunjukkan bahwa kontribusi BUMN terhadap APBN dari deviden dan pajak sebesar 21,73% dari total pendapatan APBN.
Membandingkan kinerja BUMN Indonesia dengan negara lainnya, untuk pertama kalinya dalam sejarah sejak Reformasi 1998, BUMN Indonesia di tahun 2018 lebih unggul dibandingkan BUMN Malaysia. Laba BUMN Indonesia pada tahun 2018 sebesar Rp188 triliun, tumbuh 1,08% dibanding 2017.
Sebaliknya, kinerja Khazanah atau BUMN Malaysia di 2018 justru mengalami penurunan, di mana pada tahun tersebut untuk pertama kalinya mencatatkan kerugian RM6,3 miliar atau sekitar USD1,5 miliar atau dalam rupiah berarti rugi Rp21 triliun. Penurunan kinerja BUMN Malaysia tersebut akibat dinamika bisnis dan daya saing global yang cukup memberikan tekanan di berbagai bidang.
BUMN yang Merugi
Tak sedikit berbagai kasus perusahaan BUMN yang menjadi sorotan publik. Sepanjang semester I-2019, beberapa BUMN mengalami empat permasalahan keuangan perusahaan.
Ironisnya, BUMN tersebut berasal dari sektor yang berbeda yakni jasa transportasi, manufaktur, jasa logistik dan keuangan. Hal tersebut menunjukkan bahwa sejatinya tidak ada isu spesifik di satu industri yang membuat kinerja keuangan empat BUMN tersebut mengalami masalah.
Garuda Indonesia (GIAA) yang merupakan salah satu emiten penerbangan BUMN yang belakangan menjadi perbincangan publik karena kasus penyajian laporan keuangan tahun buku 2018 yang tak sesuai dengan standar akuntansi dan hasil restatement laporan keuangan tahun buku 2018 tersebut menunjukkan bahwa Perusahaan Garuda Indonesia mengalami kerugian.
Selanjutnya, yang kini paling hangat menjadi sorotan publik adalah nasib Krakatau Steel (KRAS). Perusahaan baja milik negara ini terus didera persoalan.
Krakatau Steel mengalami kerugian selama tujuh tahun berturut-turut hingga utang menggunung menjadi bayang-bayang buruk bagi Krakatau Steel. Berdasarkan laporan keuangan KRAS 2018, tercatat utang mencapai USD2,49 miliar, naik 10,45% dibandingkan 2017 sebesar USD2,26 miliar.
Dualisme Peran BUMN
Alasan ideologi lahirnya BUMN tak lain merupakan interpretasi dari kalimat yang tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945 ayat (2) dan ayat (3). Negara secara eksplisit telah diamanatkan oleh konstitusi untuk wajib menjaga dan mengelola kekayaan alam serta cabang-cabang produksi yang penting demi kemakmuran bangsa.
Sebagai pelaku ekonomi, pada dasarnya BUMN tidak berbeda dengan swasta. Hanya kepemilikannya yang sebagian besar dimiliki negara yang ditujukan untuk kemakmuran bangsa sebagaimana amanat dalam UUD 1945.
Sehingga, merujuk pada Undang-Undang BUMN Nomor 19 tahun 2003 yang menyebutkan bahwa tugas BUMN tidak serta merta hanya bermotif komersial, namun juga bisa mendapatkan tugas dari pemerintah yang sifatnya melayani kepentingan umum atau Public Service Obligation (PSO). Dua peran yang dimiliki oleh BUMN tersebut memaksa BUMN harus memijakkan kaki pada dua sisi yang bisa dikatakan kontradiktif.
Sebagai badan usaha yang memiliki peran ganda, BUMN memiliki kompleksitas permasalahan atau tantangan tersendiri yang lebih kompleks dari swasta. Banyak kondisi yang memengaruhi kinerja BUMN yang membedakannya dengan swasta. Jerat birokrasi, politisasi, dan regulasi yang rumit masih menjadi tantangan tersendiri bagi BUMN untuk dapat menjalankan bisnisnya.
Bilamana perusahaan swasta mengedepankan kecepatan dan keberaniannya dalam dalam berbagai prosedur yang membelenggu, lain halnya dengan pengelolaan sebagian besar BUMN yang hingga kini masih mengedepankan perilaku sebagai budget maximizer yang menjadi ciri khas perilaku birokrasi. Hal tersebut kontradiktif dengan prinsip usaha di perusahaan swasta pada umumnya yang justru mengutamakan efisiensi.
Selanjutnya, memiliki aset yang sangat besar menjadikan BUMN rentan diintervensi oleh kepentingan politik di dalamnya. Hingga kini, intervensi dari pemangku kepentingan terhadap berbagai keputusan strategis dalam diri BUMN masih sulit dihindari. Padahal, sebagai benteng ekonomi nasional dan alat milik negara, seharusnya BUMN bisa dikelola dengan tata kelola yang baik dan profesional agar dapat tumbuh lebih baik dan berdaya saing.
Kompleksitas regulasi yang ada dalam BUMN juga menjadi tantangan yang tak mudah bagi BUMN dalam mengelola bisnisnya. Selain tunduk pada Undang-Undang BUMN, perusahaan negara tersebut juga dituntut mengikuti berbagai undang-undang lainnya yang mengikat dalam menjalankan bisnisnya.
Begitu banyaknya aturan yang mengikat BUMN juga menyebabkan BUMN tidak memiliki level of playing field yang sama dengan swasta. BUMN tidak memiliki ruang gerak yang bebas dan leluasa dalam hal bersaing dengan swasta. Padahal perilaku enterpreuner yang cepat dan sigap dalam memutuskan dan menjalankan suatu rencana bisnis mutlak diperlukan dalam persaingan global.
Mengurai berbagai permasalahan dalam BUMN bukan hal yang mudah. Namun, memilih jalan pintas melalui privatisasi juga bukanlah solusi yang bijak bagi masing-masing sektor BUMN yang bermasalah. Pemerintah perlu mempertimbangkan secara matang dampak yang diakibatkan oleh privatisasi pada setiap perusahaan yang menghadapi masalah.
Sejatinya, privatisasi tidak semanis apa yang digambarkan. Sekilas masyarakat luas dilibatkan dalam kepemilikan BUMN, tetapi kepemilikan tersebut mempunyai makna khusus yaitu investor.
Hal tersebut akan menjadi kontradiktif dengan dengan amanat UUD 1945 yang menjadi alasan lahirnya BUMN di Indonesia. Privatisasi secara langsung dapat semakin membuka peluang bagi sektor-sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak juga ikut dilepas dan kemudian diambil alih oleh investor, terutama investor asing.
Memperbaiki kinerja BUMN melalui transformasi BUMN masih dan harus tetap dilakukan. Transparansi dan efisiensi menjadi kata kunci perbaikan BUMN. Perusahaan pelat merah tersebut perlu terus didorong untuk lebih efisien dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Dosen dan Guru Besar FEB Universitas Brawijaya
TERBENTUKNYA Kabinet Indonesia Maju membuka optimisme publik terhadap kemajuan Indonesia di tengah kerasnya tantangan yang ada. Hadirnya sejumlah nama baru dari kalangan profesional dalam kabinet dinilai memiliki kapasitas yang mumpuni, tak terkecuali di Kementerian BUMN.
Bukan hal yang mudah bagi Menteri BUMN yang baru untuk mengelola setidaknya 142 perusahaan BUMN di tanah air. Sejumlah pekerjaan rumah yang tak mudah telah menanti formula baru dari Menteri BUMN untuk mampu menjadikan BUMN tumbuh sehat dan berdaya saing.
Dibalik banyaknya sorotan publik terhadap beberapa kasus perusahaan BUMN yang merugi, tak dapat dipungkiri bahwa kontribusi BUMN terhadap APBN cukup besar, meskipun bukan pula dominan. Pada tahun 2018, data menunjukkan bahwa kontribusi BUMN terhadap APBN dari deviden dan pajak sebesar 21,73% dari total pendapatan APBN.
Membandingkan kinerja BUMN Indonesia dengan negara lainnya, untuk pertama kalinya dalam sejarah sejak Reformasi 1998, BUMN Indonesia di tahun 2018 lebih unggul dibandingkan BUMN Malaysia. Laba BUMN Indonesia pada tahun 2018 sebesar Rp188 triliun, tumbuh 1,08% dibanding 2017.
Sebaliknya, kinerja Khazanah atau BUMN Malaysia di 2018 justru mengalami penurunan, di mana pada tahun tersebut untuk pertama kalinya mencatatkan kerugian RM6,3 miliar atau sekitar USD1,5 miliar atau dalam rupiah berarti rugi Rp21 triliun. Penurunan kinerja BUMN Malaysia tersebut akibat dinamika bisnis dan daya saing global yang cukup memberikan tekanan di berbagai bidang.
BUMN yang Merugi
Tak sedikit berbagai kasus perusahaan BUMN yang menjadi sorotan publik. Sepanjang semester I-2019, beberapa BUMN mengalami empat permasalahan keuangan perusahaan.
Ironisnya, BUMN tersebut berasal dari sektor yang berbeda yakni jasa transportasi, manufaktur, jasa logistik dan keuangan. Hal tersebut menunjukkan bahwa sejatinya tidak ada isu spesifik di satu industri yang membuat kinerja keuangan empat BUMN tersebut mengalami masalah.
Garuda Indonesia (GIAA) yang merupakan salah satu emiten penerbangan BUMN yang belakangan menjadi perbincangan publik karena kasus penyajian laporan keuangan tahun buku 2018 yang tak sesuai dengan standar akuntansi dan hasil restatement laporan keuangan tahun buku 2018 tersebut menunjukkan bahwa Perusahaan Garuda Indonesia mengalami kerugian.
Selanjutnya, yang kini paling hangat menjadi sorotan publik adalah nasib Krakatau Steel (KRAS). Perusahaan baja milik negara ini terus didera persoalan.
Krakatau Steel mengalami kerugian selama tujuh tahun berturut-turut hingga utang menggunung menjadi bayang-bayang buruk bagi Krakatau Steel. Berdasarkan laporan keuangan KRAS 2018, tercatat utang mencapai USD2,49 miliar, naik 10,45% dibandingkan 2017 sebesar USD2,26 miliar.
Dualisme Peran BUMN
Alasan ideologi lahirnya BUMN tak lain merupakan interpretasi dari kalimat yang tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945 ayat (2) dan ayat (3). Negara secara eksplisit telah diamanatkan oleh konstitusi untuk wajib menjaga dan mengelola kekayaan alam serta cabang-cabang produksi yang penting demi kemakmuran bangsa.
Sebagai pelaku ekonomi, pada dasarnya BUMN tidak berbeda dengan swasta. Hanya kepemilikannya yang sebagian besar dimiliki negara yang ditujukan untuk kemakmuran bangsa sebagaimana amanat dalam UUD 1945.
Sehingga, merujuk pada Undang-Undang BUMN Nomor 19 tahun 2003 yang menyebutkan bahwa tugas BUMN tidak serta merta hanya bermotif komersial, namun juga bisa mendapatkan tugas dari pemerintah yang sifatnya melayani kepentingan umum atau Public Service Obligation (PSO). Dua peran yang dimiliki oleh BUMN tersebut memaksa BUMN harus memijakkan kaki pada dua sisi yang bisa dikatakan kontradiktif.
Sebagai badan usaha yang memiliki peran ganda, BUMN memiliki kompleksitas permasalahan atau tantangan tersendiri yang lebih kompleks dari swasta. Banyak kondisi yang memengaruhi kinerja BUMN yang membedakannya dengan swasta. Jerat birokrasi, politisasi, dan regulasi yang rumit masih menjadi tantangan tersendiri bagi BUMN untuk dapat menjalankan bisnisnya.
Bilamana perusahaan swasta mengedepankan kecepatan dan keberaniannya dalam dalam berbagai prosedur yang membelenggu, lain halnya dengan pengelolaan sebagian besar BUMN yang hingga kini masih mengedepankan perilaku sebagai budget maximizer yang menjadi ciri khas perilaku birokrasi. Hal tersebut kontradiktif dengan prinsip usaha di perusahaan swasta pada umumnya yang justru mengutamakan efisiensi.
Selanjutnya, memiliki aset yang sangat besar menjadikan BUMN rentan diintervensi oleh kepentingan politik di dalamnya. Hingga kini, intervensi dari pemangku kepentingan terhadap berbagai keputusan strategis dalam diri BUMN masih sulit dihindari. Padahal, sebagai benteng ekonomi nasional dan alat milik negara, seharusnya BUMN bisa dikelola dengan tata kelola yang baik dan profesional agar dapat tumbuh lebih baik dan berdaya saing.
Kompleksitas regulasi yang ada dalam BUMN juga menjadi tantangan yang tak mudah bagi BUMN dalam mengelola bisnisnya. Selain tunduk pada Undang-Undang BUMN, perusahaan negara tersebut juga dituntut mengikuti berbagai undang-undang lainnya yang mengikat dalam menjalankan bisnisnya.
Begitu banyaknya aturan yang mengikat BUMN juga menyebabkan BUMN tidak memiliki level of playing field yang sama dengan swasta. BUMN tidak memiliki ruang gerak yang bebas dan leluasa dalam hal bersaing dengan swasta. Padahal perilaku enterpreuner yang cepat dan sigap dalam memutuskan dan menjalankan suatu rencana bisnis mutlak diperlukan dalam persaingan global.
Mengurai berbagai permasalahan dalam BUMN bukan hal yang mudah. Namun, memilih jalan pintas melalui privatisasi juga bukanlah solusi yang bijak bagi masing-masing sektor BUMN yang bermasalah. Pemerintah perlu mempertimbangkan secara matang dampak yang diakibatkan oleh privatisasi pada setiap perusahaan yang menghadapi masalah.
Sejatinya, privatisasi tidak semanis apa yang digambarkan. Sekilas masyarakat luas dilibatkan dalam kepemilikan BUMN, tetapi kepemilikan tersebut mempunyai makna khusus yaitu investor.
Hal tersebut akan menjadi kontradiktif dengan dengan amanat UUD 1945 yang menjadi alasan lahirnya BUMN di Indonesia. Privatisasi secara langsung dapat semakin membuka peluang bagi sektor-sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak juga ikut dilepas dan kemudian diambil alih oleh investor, terutama investor asing.
Memperbaiki kinerja BUMN melalui transformasi BUMN masih dan harus tetap dilakukan. Transparansi dan efisiensi menjadi kata kunci perbaikan BUMN. Perusahaan pelat merah tersebut perlu terus didorong untuk lebih efisien dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat.
(poe)