Merawat Kebinekaan sebagai Prioritas

Senin, 14 Oktober 2019 - 07:56 WIB
Merawat Kebinekaan sebagai Prioritas
Merawat Kebinekaan sebagai Prioritas
A A A
Bambang Soesatyo Ketua MPR RI, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia, Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila, Kepala Badan Bela Negara FKPPIMERANGKUL kembali komunitas atau kelompok yang menolak takdir Indonesia Bineka Tunggal Ika itu pekerjaan yang patut jadi prioritas. Rumusan pendekatan kepada kelompok atau komunitas-komunitas tersebut perlu diperbarui. Untuk mendapatkan rumusan yang tepat, pemerintah dan parlemen patut menjalin kerja sama dengan semua lembaga atau institusi keagamaan.Teror terhadap negara sudah menjadi ancaman nyata yang bisa terjadi kapan saja dan di mana saja. Rongrongan terhadap kebinekaan pun sudah demikian nyata. Inilah realitas masalah yang harus dihadapi Indonesia. Sejatinya, sebagai masalah atau isu, teror dan rongrongan itu tidak baru. Benihnya sudah dirasakan sejak hampir dua dekade lalu. Tetapi, bangsa ini belum mendapatkan formula yang tepat dan efektif untuk menetralisasi persoalan.Upaya pembunuhan terhadap Menko Polhukam Wiranto baru-baru ini kiranya bisa memberi penjelasan sekaligus gambaran betapa masalahnya sudah sangat serius, dan sudah barang tentu harus ditanggapi dengan sungguh-sungguh pula. Kini Indonesia harus menghadapi kenyataan bahwa kelompok atau komunitas-komunitas yang menolak keberagaman Indonesia itu membangun kekuatan dengan membentuk sel-sel teroris, bukan berkelompok, melainkan individu. Begitu diperintahkan oleh pimpinan jaringan mereka, pelaku teror individual itu siap menyerang kapan saja.Jaringan sel teroris di Indonesia tidak pernah menggeser target serangan. Targetnya kini malah melebar. Kalau sebelumnya rumah ibadah, hotel berlabel Barat, serta prajurit Polri dan fasilitasnya yang dibidik, kini targetnya melebar sampai ke pejabat pemerintah dengan pelaku serangan secara individu. Pengalaman Wiranto pun menjadi contoh kasus pertama tentang upaya pembunuhan terhadap pejabat pemerintah oleh sel-sel teroris di dalam negeri.Pelaku yang menusuk Wiranto hanyalah orang biasa yang hampir pasti tidak ahli untuk pekerjaan keji seperti itu. Sang pelaku hanya diajarkan bertindak nekat atau berjibaku dengan risiko pasti tertangkap, atau bahkan terbunuh. Pimpinan jaringan sel-sel teroris memang sengaja merekrut sosok-sosok dengan kepribadian dan nalar seperti itu. Pribadi yang karena keterbatasan ilmu pengetahuan menjadi sangat mudah untuk dicuci otak dan dicekoki dengan pandangan atau ajaran sesat.Dari hasil operasi penangkapan oleh Densus 88 Antiteror Mabes Polri diketahui bahwa sosok dengan kepribadian yang nyaris sama dengan pelaku serangan terhadap Wiranto bertebaran di mana-mana. Artinya, pimpinan jaringan sel teroris sudah menyiapkan pelaku serangan di sejumlah tempat. Setelah serangan terhadap Wiranto di Pandeglang, Polda Bali menangkap dua terduga teroris yang diketahui sedang menunggu momentum untuk beraksi.Maka, respons pertama yang harus segera ditindaklanjuti adalah memperketat pengamanan terhadap pejabat tinggi pemerintah, serta memperketat pengamanan objek-objek vital. Wiranto menjadi target sel-sel teroris dalam negeri karena mantan panglima ABRI itu dilihat sebagai pejabat negara yang tegas dan konsisten dalam upaya melumpuhkan radikalisme. Wiranto menunjukkan sikap tegas pemerintah saat membubarkan HTI. Rangkaian kerja dan peran Wiranto itu tak pelak membuat kelompok radikal atau jaringan teroris marah.Cukup Wiranto yang menerima pengalaman buruk itu. Pengamanan terhadap pejabat tinggi negara mau tak mau harus diperketat karena pimpinan jaringan sel-sel teroris telah menempatkan pelaku serangan di sejumlah tempat. Terlebih lagi kerja negara untuk melumpuhkan gerakan radikal masih harus dilanjutkan. Untuk menjaga dan merawat takdir keberagama NKRI, negara tidak boleh kalah. Negara bahkan tidak boleh terlihat atau terkesan lemah sekali pun.

Rangkul dan Dialog Fakta mengenai upaya pembunuhan Wiranto dan rangkaian kasus sebelumnya tentang serangan mematikan terhadap prajurit Polri serta kantor atau pos polisi patut dipahami sebagai serangan atau teror terhadap negara oleh kelompok yang ingin mengubah profil NKRI. Kelompok atau komunitas itu bahkan terang-terangan menolak Pancasila sebagai falsafah negara. Mereka ingin memaksakan falsafah lain yang bertentangan dengan Pancasila.Pada beberapa aspek harus diakui bahwa memang ada progres dari upaya kelompok atau komunitas intoleran itu. Dalam tahun-tahun terakhir ini mereka terlihat di mana-mana. Di sekolah, kampus perguruan tinggi, di banyak tempat kerja, dan di banyak institusi negara atau institusi pemerintah. Karena merasa sudah besar dan cukup kuat, mereka kini tidak lagi ingin menutup-nutupi arah dan target perjuangan mereka. Suara mereka bahkan tak jarang terdengar sangat lantang.Mereka pun tak jarang menunjukkan sikap mendukung aksi-aksi oleh kelompok radikal. Dalam kasus upaya pembunuhan Wiranto misalnya, di antara begitu banyak simpati dan keprihatinan yang disuarakan masyarakat, ternyata tidak sedikit juga yang memberi respons negatif kepada Wiranto selaku korban. Sampai-sampai ada perwira TNI yang harus menerima sanksi dari atasan karena istrinya membuat komentar tidak pantas terhadap Wiranto selaku korban.Benar bahwa negara sudah menyikapi kecenderungan ini. Negara membentuk Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Publik pun tahu BPIP sudah bekerja. Di luar BPIP, banyak tokoh masyarakat dan pemuka agama, termasuk pejabat pemerintah, tak henti-hentinya menyerukan perlunya menjaga kerukunan dan budaya toleran. Banyak kegiatan dialog lintas agama dan budaya sudah digelar. Itulah sejumlah pendekatan atau formula yang terus diupayakan untuk mereduksi paham atau pandangan maupun perilaku intoleran.Pada aspek penegakan hukum, sudah banyak pula anggota sel-sel teroris atau kelompok radikal yang dihadapkan pada proses hukum. Terhadap mereka, negara juga menawarkan dan menggelar program deradikalisasi. Sayangnya, pendekatan negara seperti ini justru lebih sering dinilai oleh mereka sebagai bentuk kriminalisasi. Publik merasakan bahwa ragam program dan pendekatan untuk mereduksi radikalisme itu belum membuahkan hasil sebagaimana diharapkan.Kecenderungan saling hina antarkelompok atau antargolongan bahkan makin tinggi intensitasnya. Karena itu, perlu dicari dan dijajaki rumusan program dan model pendekatan lain. Program dan pendekatan baru yang bertujuan menghilangkan saling curiga. Selama ini dirasakan ada kebuntuan karena keengganan berdialog dan saling curiga antara negara dengan komunitas-komunitas itu. Untuk tujuan ini, pemerintah dan parlemen perlu mengambil inisiatif.Agar lebih komprehensif memahami akar permasalahan, pemerintah dan parlemen layak mendengarkan pandangan dan masukan dari lembaga-lembaga agama. Menjadi ideal jika rumusan program dan model pendekatan baru itu dilandasi kemauan baik saling merangkul dalam konteks sesama anak bangsa untuk kemudian berdialog. Jika ada kontinuitas dialog, perilaku intoleran tentunya tidak relevan lagi.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6058 seconds (0.1#10.140)