Menghapus IMB: Senjakala Penataan Ruang

Senin, 23 September 2019 - 05:53 WIB
Menghapus IMB: Senjakala Penataan Ruang
Menghapus IMB: Senjakala Penataan Ruang
A A A
Marselinus Nirwan Luru
Staf Pengajar Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Trisakti

WACANA menghapus izin mendirikan bangunan (IMB) yang diembuskan menteri agraria tata ruang/badan pertanahan nasional (ATR/BPN) menghadirkan rasa pesimistis bagi keberlanjutan penataan ruang wilayah dan kota. IMB yang seharusnya menjadi instrumen pengendalian pemanfaatan ruang malah tertuduh menghambat investasi hingga dianggap layak diamputasi.

Sejatinya IMB mengawal keberlangsungan bangunan, keamanan-kenyamanan pengguna, keselarasan sosial dan lingkungan. Semuanya bermuara pada penataan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Substansi IMB pun dibangun atas konsep tunggal, bersifat utuh, dan tak terpisahkan antara satu dengan lainnya. Memastikan ketenteraman pribadi, keselarasan hidup antarsesama, juga manusia dengan lingkungan alam, yang diperlihatkan melalui status kepemilikan lahan agar tak bermasalah di kemudian hari, standardisasi kelayakan teknis bangunan yang relevan dengan guna bangunan, kesesuaian lokasi, dan intensitas bangunan dengan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota.

Untuk menjamin itu, pendirian bangunan oleh perseorangan atau kelompok mendapat pengawasan sejak tahap perencanaan bangunan. Pemerintah menyediakan rencana tata ruang, tata bangunan dan lingkungan, serta dokumen teknis lain sebagai acuan masyarakat. Mereka yang tertib membangun akan diganjar intensif serta disintensif dan sanksi terhadap pelanggar.

Kiat mulia mengawal keberlanjutan ruang yang aman, nyaman, dan produktif sejatinya tidak dikerdilkan alasan investasi. Penataan ruang sudah barang tentu mendukung pertumbuhan ekonomi melalui alokasi bagian wilayah dan kota yang dianggap potensial.

Keberadaan IMB adalah persyaratan administratif dan teknis untuk memastikan investasi tidak mengancam keberlanjutan ruang bawah/atas tanah beserta isinya. Bukanlah hal sulit hingga terkesan menghambat apabila lokasi dan bangunan yang akan didirikan tidak tersangkut problem mendasar. Izin hanyalah prosedur akhir dari serangkaian upaya administratif-teknis yang sudah dilengkapi terlebih dahulu.

Meniadakan seluruh atau sebagian substansi IMB malah akan meruntuhkan esensi penataan ruang dan bukan mustahil memperburuk keadaan ruang kabupaten/kota. Maraknya alih fungsi lahan berujung penyimpangan dan konsekuensi negatifnya selama ini seharusnya menjadi tonggak memperkuat IMB.

Pemerintah mendata bangunan gedung yang diduga melanggar dokumen IMB diikuti pemrosesan dan sanksi bila terbukti sehingga IMB bukan saja prosedur administratif belaka, melainkan berlaku sebagai penangkal pemanfaatan lahan serampangan yang memicu fenomena pemanasan global, polusi udara, dan penurunan muka tanah.

Alih-alih mewacanakan menghapus IMB, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN seyogianya menggali akar persoalan yang selama ini menghambat investasi sembari menyelesaikan peraturan daerah (perda) tentang rencana detail tata ruang (RDTR) sebagai bagian dari proses IMB, yang baru mencapai 2,2% dari 2500-an RDTR per 2018.

Sebab, realisasi Perda RDTR bukan semata demi kepastian pemanfaatan ruang pengelolaan, peta elektronik tata ruang pun sangat dibutuhkan untuk mendukung Online Single Submission (OSS) yang ditengarai membantu permudah proses perizinan. Dengan demikian, iklim usaha di negeri ini tidak hanya ramah investasi, tetapi juga ramah terhadap penataan ruang.
(shf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3491 seconds (0.1#10.140)