Pennywise dan Perundungan

Sabtu, 21 September 2019 - 08:16 WIB
Pennywise dan Perundungan
Pennywise dan Perundungan
A A A
Devie RahmawatiPeneliti Sosial
SOSOK Pennywise, badut yang dikaitkan dengan tragedi hilangnya anak-anak di Kota Derry dalam film IT Chapter Two, merupakan gambaran sempurna dari "teror" yang beberapa saat ini menghantui anak-anak Indonesia, yaitu kasus bullying (perundungan).
Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada 2018 menunjukkan bahwa kasus kekerasan terhadap anak yang tertinggi ialah aksi perundungan, yakni sebanyak 41 kasus (25,5%). Data UNESCO menyebutkan, satu dari tiga anak dan remaja di dunia adalah korban perundungan, di mana 32% menyasar anak dan remaja laki-laki serta 28% korbannya ialah anak dan remaja putri.
Kasus ini tidak hanya terjadi di negara-negara yang sedang mengalami kesulitan ekonomi atau kekerasan, seperti perang. Data 2010 di Amerika Serikat 160.000 anak absen dari sekolah karena rasa takut terhadap praktik perundungan dan 2,7 juta siswa melaporkan bahwa minimal sekali dalam satu tahun pernah merasakan praktik perundungan terhadap diri mereka.
Dampak dari perundungan ini tidak dapat dianggap remeh. Mengingat, semakin dini usia seseorang terpapar kekerasan bullying , maka peluang seseorang mengalami penderitaan fisik dan psikologi semakin besar. Dampaknya antara lain yakni gangguan makan dan kepribadian, penyalahgunaan narkoba, fobia sosial, kecemasan, kesendirian, depresi, dan perilaku bunuh diri (Vaughn et al, 2010).
Dalam film IT Chapter Two yang berdurasi 3 jam, gangguan-gangguan mental dan sosial tersebut tampak nyata dalam perilaku para tokohnya. Sebut saja Stanley Uris, yang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya, sesaat setelah menerima undangan Mike Hanlon untuk kembali ke masa lalu mereka; Richie Tozier yang mengalami kecanduan alkohol dan berbagai persoalan yang dihadapi oleh tokoh-tokoh lainnya.
Pennywise yang menakutkan menjadi metafora dari aksi-aksi perundungan yang dihadapi oleh anak-anak pada masa kecil. Dampak dari perundungan tersebut juga digambarkan dengan baik dalam film ini, yaitu perasaan inferior, kemarahan, dan rasa malu ketika berinteraksi secara sosial (Platt, 2008).
Perundungan yang dapat berupa serangan fisik ataupun verbal secara terus-menerus dan intensif dapat mendorong korban perundungan akan terus mempercayai bahwa apa yang disampaikan atau dikenakan kepada mereka adalah sebuah kebenaran, yang akhirnya mereka percayai dalam perkembangan hidup mereka (Gleason, Alexander, & Somers, 2000; Ledley et al, 2006).
Dalam adegan puncak, di mana para tokoh berhasil mengalahkan Pennywise, kata kunci keberhasilan mereka ialah, ketika mereka berani menolak masa lalu mereka dengan bangkit dari rasa tidak percaya diri terhadap diri sendiri dan melawan sang badut, representasi kekejaman yang mereka rasakan pada masa kecil.
Sayangnya, kemampuan untuk mengenali kemampuan diri (McLeod, 2008) yang seharusnya mereka miliki di masa lalu, baru muncul saat mereka dewasa. Kondisi ini yang membuat trauma perundungan terus menghantui mereka selama 27 tahun.
Perundungan sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah manusia di muka bumi (era Yunani, Romawi, China, hingga masa kebangkitan Eropa, tidak steril dari kasus-kasus perundungan) (Volk, Camilleri, Dane, and Marini (2012)). Penggunaan istilah perundungan sendiri baru ditemukan pada 1862, yang secara modern mulai menjadi sebuah kajian ilmiah yang sistematis pada awal ‘70-an.
Peristiwa penembakan di Columbine High School pada 1999 yang dilakukan oleh Eric Harris, 18, dan Dylan Klebold, 17, karena didorong keinginan untuk balas dendam, dipicu oleh peristiwa yang mereka berdua alami sebagai korban perundungan selama bertahun-tahun oleh sesama murid sekolah.

Perlu dipahami bahwa perundungan dewasa ini tidak hanya terjadi di sekolah, tetapi di berbagai suasana kehidupan (kantor, ekskul, lingkungan sosial, bahkan di dalam keluarga). Perundungan saat ini sudah melibatkan teknologi, yang segera dapat menghancurkan reputasi seseorang dalam seketika (Okoiye, Anayochi, & Onah, 2015).
Meskipun banyak para pesohor dunia yang mengaku pernah mengalami perundungan, seperti Elon Musk, Justin Timberlake, hingga Rihanna, bukan berarti perundungan dapat menjadi kunci menuju kesuksesan. Sebaliknya, perundungan seperti cyberbullying justru membuat anak dan remaja berpeluang dua kali lebih besar untuk menyakiti dirinya sendiri dan bunuh diri.

Studi ini dilakukan oleh peneliti di Universitas Oxford, Swansea, dan Birmingham terhadap 150.000 orang dari 30 negara terhadap remaja di bawah usia 25 tahun. Film IT Chapter Two ini menjadi penting dalam upaya menengok kasus yang telah menjadi salah satu pandemi kesehatan publik ini. Dalam balutan adegan menegangkan, pesan-pesan tentang upaya mengatasi ketakutan, kecemasan, dan kegelisahan akibat beban masa lalu, menjadi sebuah upaya sosialisasi untuk bisa menjadikan kekuatan berpikir negatif (Knight, 2002), bahwa mereka adalah pecundang (loser), dapat membalikkan situasi, yakni mencapai kejayaan hidup. Mari selamatkan anak-anak kita dari perundungan.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9795 seconds (0.1#10.140)